Bag I: Rumah Tanpa Atap

71 1 0
                                    

Ini minggu ketiga semenjak pernikahan saya dengan Jac. Sebelum menikah, saya harus memenuhi beberapa persyaratan untuk menikahi Jac. Di antaranya adalah membiarkannya melanjutkan pendidikan. Sebagai laki-laki pada umumnya, mengikis ego bukanlah hal yang mudah. Tapi, untuk yang satu ini, saya enggan untuk peduli. Toh, perasaan saya kepada Jac juga belum kunjung tumbuh.

Saya menarik selimut yang membungkus tubuhnya, "Bangun, Jac."

"Ish, apaan sih om onta, ganggu bobo cantik Jac aja deh." Ucapnya seraya menarik kembali selimut tersebut.

"Memangnya kamu mau terlambat?" Tangan saya menarik tirai agar cahaya dari jendela masuk, "Sudah siang."

Saya menarik tangannya, "Bangun, Jacqueline."

Tangannya lepas dari genggaman saya, justru sekarang badannya kembali rebahan dengan malas.

"JACQUELINE FARADILLA."

Sungguh, saya membenci kegiatan ini. Terlebih lagi dengan ikatan yang saya miliki dengan gadis ini. Entah kenapa saya bisa terjebak dalam budaya kolot ini. Parahnya, ayah saya setuju pula untuk menjodohkan saya dengan gadis semuda ini. Jujur, saya tidak tega untuk mengekang gadis yang masih membutuhkan kebebasannya. Tapi mungkin ini sudah menjadi balasan bagi saya yang terlalu sibuk dengan kerja, mau tidak mau saya harus bersikap tegas seperti seorang suami lainnya.

"Om onta, Jac itu ngantuk, kemarin abis foya-foya sama temen-temen. Ngertiin dikit kek."

"Bangun, atau saya mandiin kamu."

Tapi sumpah, saya tidak tertarik dengan gadis ini, saya tidak memiliki pilihan lain selain mengancamnya. Kalau dia alfa sehari terlebih karena foya-foya, bisa-bisa saya dimarahi ayahnya.

"Iya Om Onta yang nyebelin. Jacqueline Faradilla bangun dari tidurnya karena abis digangguin sama kuda gurun."

Saya menghela nafas panjang, Jac bangun dari tidurnya, dia menyiapkan diri untuk berangkat, saya yang menyiapkan sarapan, Jac yang menghabiskan sebagian banyak sarapannya. "Enak?"

"Biasa aja."

"Saya gak bisa nganter kamu, kamu tau kan?"

"Tau, udah santai aja. Sekarang udah ada ojek online."

"Ya udah, bagus, saya mau mandi."

Jac tidak menggubris ucapan saya lalu pergi tanpa berpamitan. Saya juga tidak menengok kebelakang untuk memerhatikan. Untuk apa memangnya? Kurang kerjaan sekali.

Saya pergi pagi hari ini karena ada kepentingan bisnis, menemui teman saya yang berminat bergabung dalam jaringan usaha ini.

Di O'sean Seafood Brunch ya, Ta.

Saya mengendarai mobil untuk berangkat kesana, mungkin hanya butuh sekitar 20-25 menit untuk sampai karena jarak dari restoran ke rumah saya tidaklah terlalu jauh, tapi baru kali ini saya kemari.

Saya memarkirkan mobil saya tepat di depan restoran, ternyata teman saya pun duduknya tepat dekat kaca depan. Saya keluar dari mobil bergegas kedalam, teman saya melambaikan tangannya, saya hanya tersenyum pendek.

Dia langsung berdiri menyapa saya, namanya Rorugo, tapi saya memanggilnya Rugo. "Anta, sohib karib saya! Apa kabar Anta? Silahkan duduk, duduk. Duduk dulu Anta."

"Kesini sendiri?" Rugo menatap saya, mempertanyakan hal yang ia sudah tahu jawabannya.

Saya menjawab dengan malas sembari menghela nafas, "sama mobil, Rugo."

Rugo hanya terkekeh, "saya kesini sama calon tunangan, kapan nyusul Anta? Jangan lama-lama."

Pertanyaan terkutuk itu muncul lagi, tapi setidaknya dia tidak tahu nasib terkutuk saya yang telah menikahi gadis 16 tahun.

Vice Versa!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang