“Aku masih tidak mengerti maksudmu datang kesini, Zayn.”
“Kau masih tidak percaya? Aku ada urusan di rumah temanku dan kebetulan lokasinya tidak jauh dari sini. Lalu tiba-tiba aku teringat olehmu, jadi aku datang kesini.”
Aku mengulum bibirku masih mencerna kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Terserah. Kau mau minum apa?”
“Tidak, tidak. Tidak perlu repot. Aku tidak akan lama.”
Aku menaikkan kedua bahuku, “Ya sudah.”
“Besok kau ikut?”
“Ya, sudah pasti. Aku cinta semua hal yang berhubungan dengan alam.”
Zayn menoleh kearahku, “Sulit dipercaya.”
“Hah?”
“Tidak. Bagaimana jika besok kita ke sekolah bersama?”
Aku terkejut mendengar ajakan Zayn. Apa tidak salah? Ia mengajakku pergi sekolah bersama? Gila. Bisa-bisa aku menjadi pusat perhatian jika menerima ajakannya. Tapi jika aku tolak, bisa-bisa hidupku akan terus diganggu olehnya. Terlebih teman-temannya.
Zayn berdeham membuyarkan lamunanku, akupun menoleh kearahnya.
“Bagaimana?” tanyanya lagi.
“Baiklah, tapi kau harus menjemputku.”
Zayn tersenyum puas mendengar jawabanku, “Pasti.”
***
“Bawaanmu banyak sekali, sih?”
“Tentu, kudengar dari beberapa murid yang pernah melakukan penelitian ini, bahwa disana kita akan sangat tersiksa.”
Aku menahan tawa melihat raut wajah Zayn yang bergidik ngeri. Hei, ia sedang membantu membawakan tasku ke dalam mobilnya.
“Aku tidak percaya. Hutan itu indah, Zayn.” Jawabku membuat Zayn memutar matanya.
“Siap?” Tanya Zayn ketika selesai memasang sabuk pengaman di kursinya.
“Ya!” Sahutku dan selanjutnya Zayn menyalakan mesin mobilnya lalu melesat menuju sekolah.
Dalam waktu singkat aku dan Zayn sudah tiba di sekolah. Zayn terlihat kewalahan membawa kopernya yang lumayan berat. Bayangkan saja, hanya bermalam sehari tapi ia membawa 1 koper ukuran sedang. Sangat berlebihan.
“Aku harus segera ke dokter mata sepulang dari Manhattan nanti.” Ucap Erin membuatku heran.
“Kenapa? Ada yang salah dengan matamu?”
“Ya. Aku baru saja melihatmu datang bersama Zayn. Kurasa ada yang salah dengan mataku.”
Aku tergelak dan menjitak pelan kepala Erin, “Bodoh.”
“Bagaimana bisa kau datang bersamanya?”
Sebelum menjawab, aku menoleh ke arah Zayn yang tengah duduk bersama Niall, Harry, dan Louis. Aman, ia tidak melihat ke arahku. Aku hanya sekedar memastikan bahwa Zayn tidak tahu bahwa aku dan Erin tengah membicarakannya.
“Jadi kemarin ia datang kerumahku. Katanya rumah temannya itu dekat dengan rumahku. Awalnya aku memang tidak percaya, tapi apa yang bisa kulakukan? Mengusirnya? Tentu tidak mungkin.”
“Tunggu, tunggu. Bagaimana bisa Zayn tahu alamatmu?”
Oh, aku lupa memberi tahu Erin kejadian dimana Zayn menolongku dari preman-preman gila tempo lalu.
“Ya Tuhan, aku lupa memberi tahumu, ya? Beberapa hari yang lalu, Zayn sempat menolongku dari gangguan preman di jalanan sepi dekat rumahku. Karena saat itu ia luka cukup parah, jadi aku mengobatinya dengan membawanya kerumahku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BRAVE
FanfictionA story between a 'brave' girl and an 'annoying' boy who hate each other. But like everyone says, "hate turns into love". Will they feel it too? Check this out! © 2014 Candyzzle.