Pertemuan

21 1 0
                                    

Mimpi itu lagi,

Napasku memburu, keringat bercucuran dari dahi dan bahkan air mata yang sedang tidak ingin aku keluarkan bisa dengan mudah mendobrak pertahanan kedua kelopak mataku.

“Bagaimana mungkin, ini tak pernah nyata bukan?”

“Jangan pernah mengira-ngira apapun disini. Karena, yang mungkin kau anggap tiada menjadi ada. Dan yang selalu kau anggap khayalan adalah kenyataan yang sesungguh nya.”

“Jangan bergurau,ini hanya lelucon. Benar-benar tidak lucu.”

“Aku tak pernah bercanda dengan siapapun, apalagi dengan gadis cilik seperti mu.”

“Pergi!, aku tak akan pernah percaya dengan semua ini! ini hanya mimpi! ini mimpi! Bangun, aku harus segera bangun. ”

“Cepatlah kemari, mendekat padaku, kau harus kembali. Disini. Bersamaku. SE – LA – MA –NYA.”

“Siapapun. Aku mohon, tolong aku, tolong aku.”

Aku mengingat nya kembali, mimpi buruk itu yang ternyata datang berulang kali. 

Aku tidak tau apa maksud semua ini, mengapa dia yang bahkan aku tidak tau siapa nama nya dan entah seperti apa wujudnya, selalu menghantui.

Sekarang, aku tengah berada di kamarku. Area pribadiku.
Dan beberapa menit yang lalu ibu baru saja berada disini. Pelukannya menenangkan, aku sangat beruntung bisa terlahir dari rahimnya, rahim seseorang yang penuh kasih dan sayang.Tapi, entah mengapa aku bisa dengan tega menanyakan satu kalimat yang mungkin menyakitkan bagi siapapun yang bergelar ibu di dunia ini.

“Ibu, aku siapa? aku siapa bu? apakah ibu bener-benar orang tua kandung ku?.”

Ibu terdiam beberapa saat, “kenapa kau menanyakan hal tersebut?”

Aku semakin terisak, mencoba menggapai dan memeluknya.

“Kau nara, tentu saja. Nara anak ibu.”

“Nara takut bu, sungguh. -DIA mengajak anne kembali bu. Nara harus kembali kemana bu? dan siapa dia?”

“Sudahlah na, itu hanya mimpi. Mimpi itu sebuah bunga tidur, bukankah kau pernah bilang, bahwa kau tak akan pernah percaya tentang gambaran apapun yang kau dapatkan dari dalam mimpimu”

“Tapi, itu bukan mimpi bu. Itu nyata, itu sunguh nyata.”

Ibu hanya mengelus dan mencoba menenangkanku.

“Cepatlah bergegas, kau akan benar – benar terlambat nanti.”

Dan sekarang, aku menyesal telah menyuarakan kalimat seperti itu.

Aku takut ibu sakit, sakit yang menggores luka tanpa suara, hanya ada titik air mata yang ia sembunyikan dari kepedulian semesta.

Karena mungkin hakikat orang tua memang seperti itu, berusaha tegar walaupun ternyata mereka tidak pernah baik-baik saja.

Dan tanpa berkompromi kembali, sifat malasku keluar saat ibu menyuruhku untuk segera bergegas barusan. Setelah melewati perdebatan yang alot, akhir nya ibu mengalah dan meninggalku sendirian di sini, di kamarku. Karena masih banyak pekerjaan yang belum ibu selesaikan di bawah. Dan tidak jadi untuk menyuruh ku berangkat ke sekolah.

Aku kembali termenung berusaha kembali mengingat-ingat semuanya.

Mimpi itu tidak pernah selesai, aku juga tidak yakin jika mimpi itu terurut. Karena memori-memori yang masih terbayang di kepalaku tidak bisa di jadikan satu cerita utuh, ini semua membingungkan.

Saat aku tengah berbaring tiba-tiba saja suara yang teramat familier menggema di seluruh bagian kamarku.

Aku berusaha meyakinkan diriku jika itu hanya ilusi semata. Namun, semakin aku berusaha semakin suara itu terdengar jelas.

Mixture HairsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang