JJ. MFRTN: PROLOGUE

251 63 51
                                    

Di usianya yang masih 15 tahun, Jean menerima nasib buruknya. Takdir yang membawa Jean sampai kepada titik terendahnya saat ini. Jean harus memikul beban berat yang diberikan dunia pada pundaknya sendirian.

Jeanka Marshen, adalah nama gadis yang harus menghadapi beratnya dunia ini sebagai seorang gadis malang yang nasibnya kurang beruntung. Entah apa yang dilakukan Jean pada masa lalu yang menyebabkan gadis itu menimpa nasib buruk yang berjalan menghampirinya terus menerus.

Hari itu, saat di mana Ibu kandung Jean meninggalkan dirinya dengan adik laki-lakinya di dunia ini. Ibu mereka meninggal karena penyakit yang sudah lama dideritanya. Penyakit mematikan yang harus disembuhkan dengan uang. Tapi, Jean tidak bisa menyebuhkan Ibunya. Karena Jean tidak punya uang.

Segunduk tanah basah yang menjadi pandangan Jean membuatnya tidak memperdulikan beberapa orang yang sedang menatapnya. Entah itu dengan tatapan iba, benci, menyedihkan, atau ... ketidaksudian mereka.

Jean menyadari semuanya. Walau matanya terpaku kepada gundukan tanah itu, Jean menyadari semua gerak-gerik orang yang berada di pemakaman ini.

Adiknya yang masih berusia 13 tahun memegangi ujung baju yang dipakai Jean. Adik lelaki yang bernama Joandra Marshen menatap kakaknya dengan air mata yang masih turun deras dari mata kecilnya itu.

Kakak beradik itu sedang terpukul saat ini. Hati mereka terluka, fisik mereka melemah karena menangisi Ibunya yang sudah tiada. Bahkan, wajah mereka terlihat lebih sayu dari biasanya.

Joan bahkan belum makan sejak Ibunya dinyatakan meninggal. Joan tidak ingin merepotkan kakaknya yang hatinya sedang tersayat.

Nafas Jean menghembus begitu saja tercampur dengan udara dingin di sini. Gadis itu menunduk dan menoleh ke arah Joan yang masih saja menangis kecil. Jean menurunkan badannya, posisi berjongkok sedang ia lakukan sekarang.

Mata Joan dan Jean bertemu. Keduanya menyiratkan netra yang sangat menyedihkan dan menyesakkan. Hanya mereka berdua yang mengetahui satu sama lain, bukan orang lain.

"Joan, kita harus pulang," ujar Jean pelan sambil mengelus rambut Joan yang sudah basah karena terkena hujan tadi.

Joan menggeleng lemah, "Aku mau sama Ibu." Joan kembali terisak. Mencoba untuk meyakinkan kakaknya untuk tidak pulang sekarang.

"Joan," panggil Jean. "Kita pulang, ya? Kamu harus mandi. Joan 'kan tadi habis kena hujan."

Joan tetap menggeleng. Tangan mungilnya bergerak untuk memegang lengan kakaknya itu. "Joan takut ... Joan takut orang itu datang. Karena Ibu sudah enggak ada sama kita. Joan ... takut."

"Joan, orang itu enggak akan berani datang ke rumah kita," jawab Jean mencoba untuk membujuk adiknya yang semakin terisak itu. "Kalo emang dia datang, kakak yang akan ngelindungin Joan. Joan percaya 'kan sama kakak?"

***

Joan sudah dimandikan, sudah memakai pakaiannya yang nyaman itu. Walau bukan pakaian yang bagus, tapi yang Joan pikirkan adalah kenyamanan saat menggunakannya.

Joan memutar-mutarkan badannya, membuat Jean membuka matanya lebar-lebar. "Wah, Jo, ganteng!" puji Jean kepada adiknya dengan memberikan acungan jempol.

Senyuman dengan gigi yang ditampilkan muncul di bibir Joan, dia senang karena mendapat pujian dari Sang Kakak.

Saat melihat senyuman Joan, Jean pun tersadar. Dirinya harus segera memasak nasi untuk makan malam mereka. Jean langsung bergegas pergi ke arah dapur.

JJ: MISFORTUNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang