Cengkeramannya di rambutku semakin kencang bersamaan dengan semakin intensnya embusan napasnya di tengkuk leherku.
Pandanganku mulai kabur. Dengan mata terpejam yang kudengar hanya desahan napas kami.
Awalnya bersahutan kemudian menjadi saling memburu. Suaranya terdengar semakin parau hingga akhirnya terdengar helaan napasnya yang panjang dan berat.
Ini sudah berakhir ... setidaknya untuk kali ini.
Ia sudah kembali berbaring di sampingku, terdengar berusaha mengatur deru napasnya.
Pandangan sekilasku ke arahnya dibalas dengan sebuah senyuman tanda betapa puasnya dengan permainan yang baru kami selesaikan. Kubalas senyumannya sembari berusaha bangkit dari tempat tidur serba putih itu.
"Berikan padaku."
Ia kembali tersenyum kemudian memberikan sebuah plastik berisi cairan itu kepadaku.
"Ini alasannya mengapa aku selalu menganggapmu yang terbaik."
"Aku hanya melakukan apa yang semestinya kulakukan," sahutku sambil melempar bukti permainan kami itu ke dalam tong sampah.
Kuraih pakaianku yang berceceran di seluruh penjuru apartemen ini.
Jam 11 malam.
Semoga saja masih ada angkutan umum yang masih beroperasi.
Sial. Kancing kedua kemeja kotak-kotak yang tengah kucoba kenakan hilang entah kemana.
Ini pasti karena semula ia melakukan semuanya secara terburu-buru.
"Punya peniti?"
Tidak ada jawaban darinya.
Seperti dugaanku ia sudah terlelap masih dengan posisinya semula.
Selalu seperti ini.
Dalam hitungan menit, ia akan tertidur pulas tidak peduli dengan betapa kencangnya suara TV yang masih menyala di ruang tengah.
Kutarik selimut pada sisi tempat tidur yang sempat kutempati kemudian kubalut ke tubuhnya seadanya.
Mengagumkan melihat bagaimana ia bisa tampak begitu tenang saat tertidur seolah tidak ada masalah yang berarti di dunia ini.
Mengapa meski berada di kota yang sama dunia kami bisa sangat berbeda?
Kupakai cepat celana jeansku dan kuraih beberapa lembar seratus ribuan yang sudah ada di meja kecil di samping tempatnya terlelap.
Aku harus segera meninggalkan apartemen bernomor 1109 ini.
***
Malam ini mungkin nasibku sedang baik.
Aku berhasil mendapatkan angkutan umum yang biasanya sudah jarang sekali beroperasi pada waktu menjelang pagi seperti ini.
Hanya ada sepasang muda mudi yang duduk di pojok pada bagian bangku untuk 6 orang dan hanya aku yang duduk di ujung bangku untuk 4 orang pada sisi yang berlawanan.
Awalnya aku selalu was-was saat harus pulang menjelang petang. Nyatanya, kota ini tidak pernah tidur dan pada malam hari pun tidak jarang masih banyak orang berlalu lalang di Jalanan.
Lagipula apa yang harus ku takutkan kalau pada kenyataannya aku juga bukanlah wanita baik-baik.
Keadaan sudah sunyi senyap pada rumah-rumah yang kulewati.
Kudekap tas ranselku untuk menutupi kemejaku yang tidak terkancing sempurna.
Di penghujung jalan, mulai terdengar suara batuk-batuk yang semakin lama terdengar semakin jelas saat aku memasukkan kunci pintu.
Setelah meletakkan tasku secara asal di sofa ruang depan, kusibak kain yang menggantikan fungsi pintu itu.
Bisa kulihat ibu tengah mengusap-usap lembut dadanya berusaha menenangkan batuknya yang tidak berkesudahan.
Ia menyadari kedatanganku.
"Baru pulang, Yu? Jam berapa ini?"
Aku menghampirinya kemudian meraih segelas air putih yang ada di meja kecil di samping tempat tidurnya.
"Minum dulu, Bu. Besok kita periksa lagi ya. Bilang ke dokter, obatnya kurang mempan."
"Obatnya mempan kok, Yu. Cuma kalau malam saja kadang batuknya susah berhenti. Kamu sudah makan?"
Aku mengangguk.
Ia kembali membelai ujung kepalaku sambil tersenyum.
"Kasihan anak Ibu. Masih muda sudah harus kerja sampai malam. Kuliah kamu bagaimana?"
"Baik Bu. Tenang saja. Ayu pasti lulus tahun ini."
Kali ini ia yang mengangguk sambil tersenyum.
"Loh, baju kamu kenapa? kancingnya kemana?"
Terkejut dengan pertanyaannya, kucengkram asal bagian atas kemejaku.
"Tadi lepas bu kecantol di bus. Nanti Ayu jahit lagi."
"Ibu bisa bantu kamu jahit."
Tanpa kusadari aku menggeleng hebat menolak tawarannya.
Tidak akan kubiarkan ibuku menanggung perbuatan tidak pantasku.
Tidak meski hanya dengan menjahit kembali kancing yang lepas ini.
"Ibu, tidur lagi saja. Besok kita ngobrol lagi. Ayu juga mau tidur."
Ia terlihat hendak membantah namun kemudian mengurungkan niatannya. Tanpa banyak bicara, ia kembali merebahkan tubuhnya.
Malam ini satu kebohongan kembali terucap. Entah berapa lagi kebohongan yang harus kuucapkan sampai semua ini berakhir.
-Bersambung-
Terima kasih sudah membaca.
----part2 selanjutnya disetting private karena isu mirror web, untuk membaca silahkan follow & referesh/log out dan log in lagi---
KAMU SEDANG MEMBACA
Sleep With Me Tonight [SUDAH TERBIT]
RomanceMereka bilang hubungan di atas tempat tidur dan cinta itu dua yang berbeda. Katanya lagi hubungan intim bisa dilakukan dengan ataupun tanpa cinta. Dengan cinta? Bullshit. Cinta itu hanya ada di cerita dongeng belaka. Setidaknya itu yang kupercaya sa...