(12) - Melepas Topeng

29 3 0
                                    

"Lagi?"

Sandi tidak habis pikir dengan kehadiran Wara di depan rumahnya. Ini adalah hari ketiga Wara datang berturut-turut ke rumahnya sejak cowok itu meminta maaf padanya.

Memang, sejak saat itu Sandi mulai terbiasa dengan kehadiran Wara yang sebenarnya datang ke rumahnya hanya untuk sekadar duduk di ruang tamu atau menggambar di teras depan. Tapi kalau Wara datang setiap hari seperti ini, lama-lama Sandi jengah juga. Sandi masih menebak-nebak kenapa Wara rutin datang padahal Sandi sudah memaafkannya jika hal itu yang menjadi alasan Wara.

Wara hanya menanggapi dengan senyum tipis andalannya dan tanpa dipersilakan ia duduk di kursi teras. Hal itu membuat Sandi kembali berujar, "lo nggak lagi ngerencanain sesuatu kan? Gue udah maafin lo, kalo lo lupa."

"Rumah lo sepi, cocok buat gue," jawab Wara seadanya namun tersirat.

Sandi mengendus sebal. "Kuburan juga sepi, lebih cocok buat lo."

Wara terkekeh pelan, sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya yang penuh kekakuan. "Kenapa lo sinisnya cuma sama gue?"

"Lo udah tau gue kayak gimana, buat apa gue pura-pura terlihat sok manis?"

Karena memakai topeng sebagus apapun, Wara mampu melihat ke dalam wajah aslinya. Lebih baik Sandi melepas topengnya sekalian, tidak ada gunanya berpura-pura di depan Wara.

"Gue nggak tau lo sepenuhnya, tapi dengan ekspresi lo yang kayak gini lebih keliatan manusiawi. Lebih nunjukin kalo lo bisa marah, tersinggung, atau kesal. Bukan tertawa terus tapi aslinya pingin berontak." Wara menatap Sandi tepat di mata. Tatapan yang terlalu santai namun penuh ketegasan.

Sandi memilih memutuskan tatapan mereka dan ikut duduk di kursi sebelah Wara. "Berarti lo yang belum keliatan manusiawi," timpal Sandi dengan mata yang ia biarkan memandang lurus ke depan.

"Emang," sahut Wara. Secara bersamaan keduanya saling menoleh hingga tatapan mata mereka kembali bertemu. "Tapi gue cukup banyak berbicara sama lo. Mungkin nggak akan lama lagi topeng gue bakal lepas."

"Gue cuma tau kita sama-sama lagi sandiwara, untuk alasannya karena apa gue nggak tau, begitupun elo. Rasanya bakal awkward aja kalo kita berbagi cerita, iya kan?" ujar Sandi ketika keduanya terdiam cukup lama.

Padahal, sebenarnya Sandi butuh seseorang untuk menjadi tempatnya berkeluh kesah, menceritakan segalanya yang bersarang di hatinya. Sandi punya Tantenya yang menawarkan itu, tetapi Sandi tak ingin menambah beban sahabat Mamanya itu lebih banyak lagi.

"Gimana kalo enggak?"

Sandi cukup terkejut mendengar itu. "War... Jangan menawarkan apapun ke gue, karna gue udah lama berhenti berharap sama seseorang, meskipun gue terobsesi punya banyak teman."

"Gue nggak minta lo berharap banyak sama gue, San, gue nggak bisa menghapus luka lo karena gue pun menyimpan luka yang sama. Gue cuma bersedia menjadi tempat lo bercerita, seenggaknya lo nggak merasa sendirian."

Apa boleh Sandi menyetujui? Sandi sungguh menginginkan itu, sebab sepahit apapun mulut Wara, Sandi bisa melihat ada kesungguhan dari matanya.

"Feedback apa yang bisa gue kasih ke elo?" tanya Sandi akhirnya sebelum mengiyakan ataupun menolak.

Wara terkekeh, kali ini lebih lebar dari biasanya. "San, dalam sebuah hubungan, entah itu pertemanan ataupun lainnya, nggak harus selalu ada timbal balik. Ketika lo menerima, lo nggak harus memberi sama banyaknya, begitupun sebaliknya. Hubungan timbal balik kadang buat lo berekspetasi tinggi dengan orang lain, dan potensi lo kecewa pun akan sama tingginya," ucap Wara panjang lebar tanpa terkesan menggurui, sedangkan lagi-lagi Sandi seperti tertohok. "Anggaplah ini langkah awal gue untuk menjadi lebih manusiawi."

Sandi sebenarnya merasa malu, Wara selalu mengatakan hal yang begitu pas untuk menyadarkannya. Kemarin-kemarin, Sandi selalu berpikir kalau Wara seakan menyindirnya, tapi sebenarnya Wara hanya berbicara apa adanya. Ya... Meskipun cowok itu harus belajar menjaga lisan, karena tidak ada yang tau bagaimana perasaan orang lain, seperti beberapa waktu lalu ketika Wara menyebutnya munafik.

"Akhirnya gue tau, lo bisa sebijak ini." Sandi menyahuti dengan senyuman lebarnya. "Thanks ya."

"Semua orang bakalan bijak ketika melihat masalah orang lain, tapi nggak pernah bisa bijak ketika menghadapi masalahnya sendiri, right?"

Sandi tertawa dan mengangguk membenarkan. Tawa yang akan terlihat tulus jika itu bersama Wara.

***

"Gue bakalan ngundurin diri jadi ketua OSIS," ungkap Sandi ketika keduanya selesai makan. Ketika Wara datang ke rumah Sandi, Wara benar-benar ada di sana dari pagi hingga sore sampai Tante Diva pulang. Bisa dibilang, Wara seperti menganggap kalau rumah Sandi adalah rumah keduanya.

Wara menghentikan gerakannya yang hendak mengambil gelas. "Kenapa?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat.

Sandi menghela napas. "OSIS udah hancur gara-gara gue. Tujuan gue masuk OSIS pun udah salah dari awal, gue nggak bisa jadi ketua, selama ini gue cuma berusaha memenuhi keinginan gue dan semua obsesi gue. It's wrong, absolutely wrong. Organisasi bukan tempat untuk memenuhi tujuan perorangan tapi tujuan kelompok."

"Lo siap dengan komentar orang-orang yang mungkin aja bakalan bilang kalo lo orang yang pengecut yang lepas tanggung jawab?"

Gadis itu menggeleng. "Enggak. Tapi gue lebih nggak siap kalo tetap di posisi itu dan merugikan banyak pihak. Lagian gue tau Pandu orang yang cocok di posisi itu, War. Dan ketika seseorang berhenti di tengah jalan bukan berarti orang itu pengecut kan? Bisa aja karena salah jalan dan memilih diam sebentar untuk memikirkan jalan lainnya."

"Akhirnya gue tau, lo bisa sebijak ini." Wara mengulang kalimat yang dilontarkannya Sandi beberapa jam yang lalu. Sandi langsung melempar buah anggur yang ada di dekatnya ke arah Wara.

"Ini namanya menghibur diri, War. To be honest, awalnya gue rada berat ninggalin OSIS karena itu salah satu bagian dari planning gue supaya orang-orang tau kalo gue ada. Miris banget ya, War? Secara sadar gue berlaku sebagai pengemis perhatian orang-orang. Tapi... Semuanya malah jadi Boomerang buat gue sendiri." Sandi tersenyum tipis. Ia langsung meraih gelas untuk menenggak habis minumnya.

"Tapi seenggaknya lo survive, ketika lo jatuh, lo cari cara buat bangkit. Mau salah atau enggak, dipikiran lo terbesit untuk cari jalan keluar. Bukan cuma diam dan terpuruk... Kayak gue. But, this isn't the time for me to feel sad, because it's time for you to tell me anything. Sekarang lo punya tempat buat numpahin semuanya, itu gue." Wara tersenyum tulus. Seperti teman yang peduli, seperti kakak yang pengertian, serta seperti manusia yang memanusiakan manusia. Ketika berkata seperti itu, Wara tidak terlihat seperti orang yang sedang terluka. Artinya, Wara masih belum sepenuhnya membuka topengnya.

"Kenapa, War?"

"Apanya?"

"Kenapa lo ngelakuin ini semua?"

Jeda beberapa detik.

"Karena lo mau bangkit. Dan gue ingin melakukan hal yang sama."

Sejak hari itu, topeng keduanya perlahan terlepas. Namun belum dengan lukanya.

***

Selasa,
11 Juni 2019

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SANDIWARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang