[lets not]

1K 146 15
                                    

Jeno duduk dengan diam. Bibirnya mengulas senyum kecil, berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meski di dalam sana, hatinya berkecamuk.

Begitu juga dengan lelaki yang duduk di depannya, tautan tangan di atas meja menunjukkan jika ia gelisah. Namun, rasa itu berusaha diredam dengan lengkungan samar yang terasa menyakitkan.

Jeno mengulurkan tangan, mengenggam jemari yang masih bertaut dengan erat. Menatap matanya yang meredup sayu, dia kembali berusaha tersenyum, setidaknya ada kenangan indah yang akan terekam memori saat mereka berpisah nanti.

"Ingin pindah ke sebelahku?"

Pemuda berambut pink menggeleng. Tapi Jeno tidak mengindahkan, justru dia yang berpindah, duduk di samping lelaki itu dan menariknya dalam pelukan.

Dia bisa merasakan tubuh Jaemin bergetar, menahan luapan perasaan yang menganggu batinnya. Genggaman di bahu Jaemin mengerat, seiring lagu yang mulai terputar di depan sana.

Jeno menyamping, menatap figur wajah Jaemin yang begitu indah. Matanya yang teduh, hidungnya yang mungil juga bibirnya yang tipis. Dia mengulurkan tangan, mengelus pipi yang merona, entah karena menahan tangis atau karena jantung yang memompa darah terlalu cepat.

Jaemin tidak menepis, dia justru memejamkan mata dan balas mengenggam jemari Jeno di pipinya yang kini berair.

Dia hanya terdiam saat pemuda itu menariknya dalam pelukan yang menyesakkan, kepalanya terkulai di bahu Jeno, membiarkan titik air membasahi baju yang dipakai olehnya.

"Jangan menangis,"

Kalimat itu justru semakin membuat air matanya menderas, tangannya balik mendekap punggung Jeno yang terasa begitu pas dengan tubuhnya, begitu erat sampai Jeno bisa merasakan detak jantung Jaemin yang begitu kencang.

"Jeno ..." bisiknya parau.

Jeno tersenyum sendu, bibirnya mencium pelipis Jaemin dengan lembut, "Jangan menangis, sayang," katanya pelan.

Jaemin tidak peduli, tangannya merangkum wajah Jeno yang masih tersenyum simpul, mendaratkan sebuah ciuman di bibir pemuda itu yang dibalas dengan halus.

"Maaf ..." cicitnya.

"Shhsss, jangan meminta maaf, oke? Nikmati hari ini dengan bahagia, Nana."

Jaemin terisak, kembali memeluk Jeno dengan erat, "Aku ... benar-benar minta maaf," katanya, di antara lekukan leher Jeno.

Jeno mengelus punggungnya yang rapuh, berbisik pelan, meyakinkan bahwa ini bukan kesalahan pemuda manis yang sudah bersamanya sejak enam tahun yang lalu.

"Nana, kau mau berjanji padaku?" tanyanya saat Jaemin sudah sedikit tenang.

"Apa?"

Jeno memisahkan tubuh mereka, memegang kedua bahu Jaemin dan menatap matanya dengan teduh.

"Pertama, kau harus bahagia. Bisa?"

Jaemin diam lalu mengangguk.

"Bagus," sebuah ciuman di keningnya jadi hadiah.

"Kedua, jangan pernah menangis lagi, ya?"

Kali ini diamnya lebih lama, Jeno mengecup kedua mata sembab itu saat Jaemin mengangguk kecil.

"Ketiga," Jaemin menunduk, tidak sanggup membalas tatapan Jeno yang semakin menyiratkan kepedihan mendalam.

"Lihat aku," dagunya terangkat, berhadapan dengan wajah sempurna milik Lee Jeno yang kini mati-matian menahan tangisnya.

"Ketiga, terakhir, cintai Mark-hyung, kalian berdua pantas bersama."

Ciuman terakhir di bibirnya begitu menusuk, ada getar frustrasi bercampur kepedihan dan kesakitan tersalurkan di sana. Mata Jaemin terpejam erat, tangannya meremas bagian depan baju Jeno yang kusut.

Dia mengerang saat Jeno menarik diri. Matanya mengerjap, terlebih saat pemuda itu mengelus rambutnya dengan lembut.

"Kita selesai di sini. Selamat atas pertunanganmu, kau tahu Nana, aku sangat mencintaimu."

Jeno bangkit dan pergi, tanpa sempat dia cegah atau dia tahan.

Jaemin mencengkeram dadanya, menahan perih yang tiba-tiba hinggap. Mark, yang sedari tadi memerhatikan di sudut ruangan beranjak, menarik tunangannya dalam dekapan erat.

"Jangan menangis, Jaemin-ah."

***

Haiiii were back ><

ada yg bisa nebak ini siapaa?

poubelleWhere stories live. Discover now