Alpha

5 3 0
                                    

Di dunia ini ada dua aturan absolut tak tertulis dalam undang-undang yang harus kalian ketahui. Terutama bagi para kaum berjakun di penjuru dunia ini maupun di dimensi lain—itu pun jika kehidupan dimensi lain benar—benar ada dan bukan hanya bagian dari salah satu karangan cerita fiksi penuh imajinasi.

Pertama, perempuan itu selalu benar.

Kedua, jika perempuan melakukan kesalahan, kau bisa kembali kepada aturan pertama.

Dan kesimpulan yang bisa dipetik dari aturan mutlak tersebut bahwa kalian tidak bisa menyalahkan seorang perempuan sekalipun dia membuat kesalahan fatal.

Menyalahkan perempuan sama saja dengan memperpendek umur. Berdebat dengan mereka pun tidak akan ada habisnya. Perempuan itu sangat pandai berargumen untuk membela diri sendiri. Lebih baik mengalah jika kalian merasa diri kalian adalah gentleman.

Mengalah berarti kau seorang pemenang, bro!

Aku selalu memegang teguh pada aturan tersebut-itu juga berkat ayah yang senantiasa mengingatkanku untuk berbuat baik pada perempuan juga tidak membuat mereka sedih, menangis, atau marah. Tapi itu juga bukan berarti aku adalah sosok yang ramah dan murah senyum, justru sebaliknya.

Aku sedingin es. Itulah anggapan orang-orang yang melihatku. But, whatever, aku tidak peduli

Ngomong-ngomong, ada satu perempuan yang bertolak belakang dengan aturan mutlak yang tidak tertulis itu. Perempuan itu adalah adik kelasku semasa SMA, satu-satunya perempuan yang kukenal dengan prinsip yang melenceng dari aturan absolut yang aku selalu ingat sejak kecil.

Perempuan itu tidak segan mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya, tanpa mencoba melakukan argumen pembelaan diri yang nantinya bisa menjerumus ke hal fatal yaitu saat mengalirnya air mata mereka ataupun seruan kasar yang tidak seharusnya diucapkan oleh seorang perempuan.

"Kalau salah ya salah aja, percuma membela diri."

Itulah kata-kata yang diucapkan olehnya, hingga selalu terngiang di kepalaku. Saat itu aku berpikir seandainya semua perempuan di seluruh dunia satu pemikiran dengannya, mungkin kaum lelaki tidak perlu berurusan dengan dua aturan mutlak terlampau merepotkan itu.

Sayangnya tiba-tiba saja ia hilang bak ditelan bumi. Desas-desus yang beredar kala itu mengatakan bahwa dia hamil di luar nikah lalu dia drop out dari sekolah, bagiku rasanya terdengar tidak mungkin. Ya, namanya saja kabar burung, pastinya belum bisa dipercaya seratus persen.

Yang kutahu ia adalah perempuan baik dengan lingkungan pergaulan yang baik juga. Akan terdengar lebih masuk akal jika dia menghilang karena harus pindah sekolah ke tempat yang lebih baik.

Tak terasa sudah tujuh tahun terlewati setelah itu, umurku saja kini sudah mencapai angka 24. Umur yang tidak lagi bisa dikategorikan sebagai remaja, tapi aku tidak peduli selama aku sudah punya pekerjaan tetap. Terdengar lebih baik daripada memiliki status sebagai pengangguran.

Memangnya mau dikemanakan gelar sarjana yang sudah susah payah kudapatkan?

Persetan dengan diriku yang masih single. Yang penting tujuanku untuk meraih gelar sarjana dan mendapat pekerjaan layak terwujud berkat usaha dan kesabaranku.

"Weh, bengong aja kamu. Awas kerasukan roh penghuni rumah sakit, baru tahu rasa."

Aku terhenyak dari acara lamunanku serta nostalgia dengan sosok adik kelasku semasa SMA—terima kasih berkat lelaki pendek yang bekerja sebagai dokter spesialis saraf di hadapanku ini yang sukses membuyarkan lamunanku. Sam, namanya.

"Kerjaanmu nggak perlu dipikirin sampai stres gitu, enjoy aja." celetuk Sam lagi sembari mendudukan dirinya di bangku kafetaria rumah sakit yang berhadapan denganku.

Enjoy endasmu peyang, batinku dalam hati.

Rasanya aku tergoda untuk melempar kulit jeruk yang sedang kukupas ini ke wajah si dokter saraf yang kini tersenyum lebar tak berdosa. Sok tahu sekali. Tapi karena aku sedang berbaik hati, aku menahan untuk tidak melemparkan kulit jeruk meski rasanya kulit jeruk ini seakan berbicara padaku agar dilemparkan ke wajah manusia yang tengah berdiri di hadapanku ini sekaligus memberi sedikit pelajaran kepada lelaki menyebalkan itu.

"Iya, dah." responku singkat pada akhirnya.

Kukira lelaki di hadapanku ini akan diam setelah kubalas dengan kalimat singkat. Justru sebaliknya, ia kembali berbicara "Eh, iya. Aku dengar gosip dari perawat, katanya ada dokter baru yang datang hari ini. Perempuan loh."

"Lalu?" Aku hanya mengangkat sebelah alis.

"Dia dokter kardiologi juga sama sepertimu."

Aku hanya membalas seadanya, "Oh."

Sam mencebik, ia menunjukkan raut wajah tidak sukanya karena respon singkat tanpa minat dariku. Memangnya aku harus merespon seperti apa? Apakah aku harus histeris dan berteriak kegirangan bak anak kecil yang baru saja diberikan sebuah balon?

"Btw, Si Einstein kabarnya gimana ya?" gumam Sam yang mendadak mengalihkan topik pembicaraan.

Aku langsung tertegun. Einstein adalah julukan untuk adik kelasku—si perempuan yang tidak berprinsip kepada dua aturan mutlak untuk lelaki. Well, julukan yang cukup terdengar berlebihan. Tapi itu faktanya, ia memang memiliki otak yang genius. Untung ukuran seorang perempuan, dia bahkan lebih mendahulukan logika dibanding emosi. Kebanyakan perempuan mengedepankan emosi di banding dengan logika, tapi ia justru sebaliknya.

"Nggak tahu." sahutku berusaha cuek.

Entah kenapa Sam malah terkekeh, "Udah lama banget ya, jadi berasa tua nih." celetuk Sam. Kau memang sudah tua, dasar tidak tahu diri! Rasanya besok aku harus membawa cermin dan kutunjukkan kepada Sam bahwa dirinya memang sudah tua.

Aku pun merotasikan kedua mataku begitu mendengar penuturan berlebihan seorang Sam. Wajar saja, Sam itu salah satu dari kaum penganut aliran majas hiperbola. "Kamu sebenarnya mau ngomong apaan, Sam?" tanyaku yang memang tak suka berbelit-belit atau topik pembicaraan basa-basi, lebih baik langsung to the point saja. Dan aku tahu kalau Sam ada maksud tertentu tiba-tiba menemuiku seperti ini.

Tadinya aku berniat benar-benar melemparkan kulit jeruk yang masih ada di genggamanku ini jika Sam hanya ingin mempermainkanku saja atau barangkali menggodaku dengan menyebutkan si gadis Einstein, "Nggak ada kok, cuma mau bilang aja kalau dokter baru itu nunggu di ruanganmu sedari tadi."

"Ck," aku mendecak sebal lalu bangkit dan melangkahkan kakiku menjauhi kafetaria untuk menuju ruanganku dimana si dokter baru itu menungguku.

Aku ketua dari para dokter disini sekaligus satu-satunya dokter kardiologi di rumah sakit kecil yang berada di perbatasan dua negara yang sedang dalam konflik ini. Kira-kira sudah tiga tahun aku mengabdi di tempat penuh bahaya dan teror yang mengancam nyawa ini. Dan sekedar informasi kecil, tempat ini bagaikan asrama lelaki. Mulai dari perawat, dokter, dan tenaga medis lainnya adalah kaum laki-laki. Jadi aku mempercepat langkahku guna mengetahui perempuan bodoh seperti apa yang rela mempertaruhkan nyawanya dengan bekerja di tempat yang setiap harinya bisa terdengar suara tembakan peluru atau ledakan dari bom. Barangkali saja dengan beberapa cerita menakutkan dariku, perempuan itu mengurungkan niatnya untuk bekerja disini dan memutuskan untuk pindah ke rumah sakit yang lebih aman untuk perempuan sepertinya.

Begitu aku hampir sampai di ruanganku, seseorang perempuan keluar dari ruanganku. Aku stagnan begitu ia melihat ke arahku dan kami melakukan kontak mata untuk beberapa saat. Aku kemudian tersenyum saat mengetahui rupa si dokter baru itu, aku juga mengurungkan niatku untuk mendoktrinnya agar keluar dari rumah sakit ini. Percuma saja mendoktrinnya, karena aku tahu tidak akan berhasil dan malah membuang-buang tenagaku saja.

Perempuan bodoh yang rela mengorbankan hidup dan matinya di tempat berbahaya ini rupanya adalah orang yang kukenal. Bahkan baru saja beberapa saat yang lalu aku memikirkannya.

Si Gadis Einstein.

Gadis Einstein itu kemudian tersenyum kepadaku, "Lama tidak berjumpa, Kak." []

SaoirseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang