Sepoi angin menggiring embun malam yang merenda hingga ke rerumputan yang sedikit menghijau di sampingku. Basahpun menyinggahi tempat duduk sepeda motorku. Keadaan sekitar bundaran Tirosa kian lengang di balik malam yang makin sendu.
Sudah hampir tiga jam aku berkutat sambil memantau keadaan sekitar. Beberapa detik yang lalu, sekawanan anak muda berkeliling sambil bernyanyi girang di atas sepeda motor. Tak ada hal lain yang dilakukan selain berputar-putar. Sesekali tertawa ketar-ketir.
Pukul 00.15, aku memilih pulang melewati arah biasa. Liliba-Lasiana, walau keadaan terlihat sepi dari kendaraan beroda empat pun beroda dua. Di sisi Timur, aku berhenti sejenak di bawah rimbunan pohon cemara. Daun-daun cemara yang gugur satu-satu pasrah pada angin tanpa suara.
Tak jauh dari arahku, seorang penjaja kopi keliling sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang pelanggan. Perlahan-lahan keadaan mulai sepi ketika mereka saling berpamitan dengan arah yang berlainan. Sementara aku harus mengambil arah melewati jembatan yang bagai terowongan panjang tanpa lampu kiri-kanan.
Perlahan aku beranjak pergi. Di tengah jembatan, ada yang menarik perhatianku dari arah berseberangan. Di sisi sebelah kanan, sudut mataku menangkap suatu sosok tepat di belakang sebuah mobil warna hitam yang kebetulan datang dari arah berlawanan. Sambil memperlambat laju sepeda motor, tiga kali kutolehkan wajah hanya untuk mendapatkan kepastian.Tak ada yang berubah. Dari bentuk tubuh dan tanda-tanda fisik, sosok seorang wanita sedang berpaling ke lain arah. Sepanjang jalan otakku diusik banyak tanya tak terkira hingga dingin tak lagi berpengaruh.
Siapa dia? Mungkin pejalan kaki tetapi mengapa? Malam-malam, bahkan seorang diri saja? Di situ untuk apa? Jangan-jangan dia...
Ah, tapi itu hanya kata orang-orang tentang mereka yang ingin mengakhiri hidupnya di tempat ini.
Mungkin aku sedang berhalusinasi.
Tapi, bila benar seperti yang pernah kudengar, mungkinkah dia harus mati? Bukankah awal dan akhir hidup hanya di tangan Yang Ilahi? Lalu, mengapa orang-orang tidak berpengharapan itu begitu mudah memilih mati? Bukankah itu membuat masalah hidup dan mati tak akan pernah selesai?
Di salah satu rambu lalu lintas yang menunjukkan diperbolehkan berbalik arah, aku menepi dan berbalik. Rerumputan yang mulai mengering di sisi jalan tak berkutik. Seolah tiada angin yang menggelitik.
Dari jauh, sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Syukur karena aku bisa membuntuti untuk memastikan sosok itu bila ada cahaya yang lebih terang. Setidaknya bila ada yang ingin mengakhiri hidupnya, ada yang menolong. Sayang. Tiada suatu apapun di situ, kosong.
Hingga ke ujung jembatan dan aku harus kembali lagi dari arah yang sama. Rembulan telah meredup dan terang hanya dari lampu sepeda motor dengan sedikit cahaya. Satu dari sepeda motorku dan yang lain dari sebuah sepeda motor berpenumpang dua orang dari arah yang sama.
Tiba-tiba seorang lelaki berjalan cepat berbusana celana jeans, baju kaos lengan panjang warna belang-belang. Lewat tepat di sisi kiriku dari arah berlawanan menuju ke ujung.
Aku memilih tak menoleh lagi. Debar jantungku tiba-tiba berubah irama kali ini. Di ujung jembatan, kuputuskan mengakhiri semua ini dari pangkal memori otak kanan dan kiri.
Beberapa daun kering berkejaran dihembus angin di jalanan. Di sisi kiri terbentang hamparan hitam dan karang-karang yang telah dilumut api entah sejak kapan. Dingin.
Kukendalikan diri untuk tak lagi memboncengi pikiranku dengan kisah yang baru saja aku alami. Mungkin sekadar halusinasi. Aku tak ingin memperpanjang lembaran mimpi burukku untuk malam ini. Jarak yang harus kutempuh masih panjang, sepi. Aroma kemarau dan dingin begitu akrab sepanjang jalan yang kulewati.
Kupang, 17 Juni 2019 (00.15-00.55)
KAMU SEDANG MEMBACA
WAJAH KEMARAU
Non-FictionKemarau merupakan musim yang tak tertempis di daratan Timor. Di musim ini, daun-daun akan mulai berjatuhan ditiup angin. Perlahan, rontok dan habis hingga gersang meraja. Debit air mulai berkurang, tanah berbongkah di sana sini. Siapapun akan rindu...