Di Bawah Payungan Senja (05)

2 0 0
                                    

Aku memilih berjalan ke arah Barat setibanya di Pantai Lasiana. Melewati segerombolan anak muda yang sedang asyik mengejar bola. Jauh ke depan, di atas sebuah tanggul, sepasang kekasih sedang memadu asmara. Mungkin rindu dan cinta sedang menyatu dalam satu rasa, ceria. Melewati muara, aku berhenti sejenak ketika liukan air memantulkan semburat senja. Indahnya.

Pasang surut telah meninggalkan karang-karang kokoh yang tetap tegar berdiri. Aku terus berjalan hingga ke tikungan yang menghubungkan air laut dan air tawar, aku berdiri. Beberapa meter di sisi sebelah Timur, seorang nelayan sedang sibuk memaku sampan kecil yang mungkin butuh dibenahi. Tak jauh dari situ, sepasang kekasih yang lain melepas tawa seolah tempat itu adalah dunia mereka sendiri.

Di garis pantai yang tampak masih basah, aku memilih duduk di atas pasir. Beralaskan sandal jepit di kepala, kubiarkan tubuhku di atas pasir tanpa takut kotor. Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya beberapa kali sambil menikmati aura senja di langit Barat yang makin jelas tergambar.

Sepoi angin menggelindingkan daun-daun karing yang begitu garing. Langit makin memerah tanpa mendung. Makin jelas di beberapa titik para penikmat senja yang lalu-lalang. Ada yang sendiri sepertiku, ada yang berkelompok dan ada yang berpasang-pasang.

Semua mereka, termasuk aku, mempunyai cara tersendiri untuk melepas lelah. Bekerja seharian, membiarkan diri beristirahat sejenak, merilekskan otak beberapa detik mungkin tak terlalu penting tetapi butuh. Setidaknya, ketika menjejaki malam, hati dan pikiran kembali utuh.

Setelah belasan menit berlalu, imajinasiku mulai bermain-main. Aku bangkit dan duduk dengan gawai di tangan. Jemari-jemariku mulai beraksi di layar dengan setingan camera tetapi bukan canon. Perlahan, mengabadikan guratan senja di atas pantulan air dalam sebuah genangan. Lalu, muncul sebuah bayangan untuk menghubungkan sebuah garis pantai dari empat garis lurus yang berlainan. Dan terjadilah demikian.

Mungkin ini suatu kebetulan. Namun, barangkali ini salah satu cara terbaik mengakrabi kesendirian tanpa mengutuki kesepian. Berharap ada yang menemani, merupakan angan yang belum tentu berpangkal pada kenyataan. Sendiri adalah pilihan tanpa paksaan dan kebencian. Tak ada yang akan terus membuntuti penuh kecemburuan.

Perlahan namun pasti, mentari mulai menghilang. Siluet terlihat begitu jelas di sana-sini dalam rasa yang tak terbilang. Beberapa daun kering melayang-layang. Di sebuah sudut, api menjilat-jilat ilalang. Disoraki bocah-bocah dengan girang. Mungkin mereka sedang menikmati hangat berbau asap yang sebentar lagi hilang.

Gelap mulai jatuh di bibir pantai. Aku beranjak pulang tanpa sesal yang menghantui. Setiap kita mempunyai cara tersendiri menciptakan bahagia yang harus dinikmati. Mengapa orang lebih memilih bertahan pada luka bila itu hanya akan mempersempit jalan hidup yang sedang dilalui?

Kupang, 18 Juni 2019 (Senja)

WAJAH KEMARAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang