Ani dan Genta

29 4 10
                                    

Di bawah rayu senja yang sedang pamer akan sinarnya yang begitu jingga. Di bawah lampu bertenaga cahaya matahari yang lambat laun bercahaya. Dengan kicauan sekawanan burung seakan ingin tahu apa yang Sang lelaki sedang pikirkan. Sedang, Sang lelaki sibuk merangkai kata-kata di kepalanya untuk diucapkan. Si perempuan berbaju coklat tua sibuk memainkan kukunya, menunggu Sang lelaki memecah keheningan.
"aku mencintaimu, Ani." Ucap lelaki itu setelah sekian lama merangkai kalimat. Berakhir dengan kalimat sederhana itu yang sanggup tutuknya tuturkan.

Kini pipi keduanya merona.

Ani—Si perempuan berbaju coklat tua— hanya terus bermain-main dengan jarinya, tanpa menganggap benar apa yang baru saja Sang lelaki lontarkan kepadanya. Tetapi, jantungnya tidak dapat berbohong. Kalimat dari Sang lelaki berhasil mengoyak debarnya. Mengambil alih seluruh pikirannya. Apakah Ia bercanda?

"Apakah Kamu mendengarku?" Sang lelaki meragu diikuti degupan dari dadanya yang semakin cepat. Memastikan apakah kicauan sekelompok burung tidak menghalangi suaranya. "Ya, Saya mendengarmu, Genta." Jawab Ani seraya terus menunduk. Menghindari tatapan Genta—Sang lelaki—yang barangkali mencuri semua senyawa udara dari paru-parunya. "Apakah Kamu bersedia menjadi penyempurna hidupku?"

"Saya masih jauh dari kata baik sebagai penyempurna hidupmu, Genta." Ani seperti ikut meragu, . "Apakah Kamu bersedia menggantungkan hidupmu kepadaku?"

"Aku tidak cantik, Genta." Ani memejam takut karena jawabannya sama sekali tidak masuk akal. Bukan itu jawaban yang Genta inginkan. Genta rasa, Ani sangat cantik. Apalagi di saat Ani tersenyum malu. Bahkan saat air mata turun dari pelupuk matanya, Ani tetap cantik. Maka dengan sabar, Genta kembali bertanya, "Apakah Kamu bersedia menua bersamaku? Berada di sisi Ku bahkan di saat-saat terburukku?" Ani diam.

"Apakah Kamu bersedia menjadi penyempurna Imanku? Apakah Kamu bersedia menjadi Istriku?"

Butiran air turun membuat sungai di tepian pipi Ani. Memantulkan cahaya maha jingga. Semakin merahlah pipinya. Kehangatan rasa bahagia menyelimuti dirinya. Ani menghapus sungai kecil di pipinya.  Bersama dengan tenggelamnya Sang raja sinar, Ani menatap mata elang Genta, kali ini tanpa gentar. "Hari ini, Dengan baskara yang hendak bersembunyi menjadi saksi. Ani bersedia menjadi penyempurna hidup dan Iman Genta. Ani bersedia membagi keluh-kesah tentang pahit-manisnya hidup bersama Genta. Ani bersedia menua bersama Genta.

"Ani bersedia menjadi istri Genta."

Lengkungan bulan sabit tercetak di bibir Genta dan Ani. Lampu taman yang tadinya redup menjadi terang. Menerangi perasaan dua sejoli yang baru saja mengikat janji. Melambungkan kama. Menyenandungkan asmara.

Genta merengkuh hangat Ani yang merasa nyaman berada di pelukan lelaki yang diam-diam Ia dambakan. Genta menjatuhkan bibirnya pada kening perempuan dalam dekapannya. Lama. Sembari Batinnya terus mengucap syukur kepada Tuhan karena telah menciptakan dan memertemukan Genta dengan Ani.

🔆🔆🔆

Tahun demi tahun berlalu. Waktu terus memakan batang usia mereka berdua. Hingga mereka berdua duduk di bangku taman rumah sakit ini lagi. Di bawah lampu taman bertenaga matahari yang siap menerangi malam. Di kala senja juga memamerkan warna jingganya. Genta dan Ani terduduk saling diam seperti ketika Genta meminta Ani untuk bersedia menjadi pendamping hidupnya.

"Genta, sudahkah Saya menjadi penyempurna hidup dan imanmu?" Tanya Ani seraya menyandarkan kepalanya pada pundak Genta. Dengan penuh rasa bangga Genta menjawab, "sudah, Ani."

"Genta, sudahkah Saya membagi keluh-kesah Saya kepadamu?" Genta bersusah payah menahan air matanya, "sudah, Ani."

"Genta, sudahkah Saya menjadi istri yang baik?" Kali ini Ani terdengar ngos-ngosan. "Tanpa Kamu bertanya, Kamu adalah istri terbaik dan terhebat, Ani." Sembari mengangguk.

"Terima kasih, Genta," jeda yang begitu lama.

"Saya mencintaimu." Ucap Ani sambil mengeratkan genggaman tangannya dengan Genta. Air turun deras dari mata Genta ketika tak lama genggaman itu tak sekuat sebelumnya. Genta mencium puncak kepala Ani dengan penuh cinta. Temaram yang menjadi spektator pun menggelap jua. Senja beranjak setelah memberi jejak indah pada hari Genta. Terima kasih, Ani.

"Aku juga mencintaimu, Ani."

Ani dan GentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang