Kinara melirik jam di dinding kamar. Sudah lewat pukul 04.00. Kenapa suara mobil suaminya belum juga kedengaran ke luar garasi ya? Kinara melepaskan mulut Afika dari dadanya. Pelan Kinara menepuk-nepuk bongkong Afika agar kembali tertidur. Setelah Afika kembali terlihat nyenyak, Kinara pun bangkit dari tempat tidur. Tergesa, Kinara menuruni anak tangga. Tidak biasanya, Arkan, suaminya itu tidak langsung berangkat jika telah pamit dengannya di kamar.
Arkan kerja di luar kota. Setiap hari Senin, sebelum azan subuh, Arkan berangkat menuju kota tempat ia bertugas. Jumat malam, Arkan pulang ke rumah. Sudah hampir satu setengah tahun mereka menjalani kehidupan seperti ini. Kinara pernah meminta pada Arkan agar mereka semua ikut saja tinggal di kota yang sama dengan suaminya itu. Tetapi Arkan menolak dengan alasan kalau ia belum tentu lama di satu kota. Pekerjaannya membuat ia harus pindah dari satu kota ke kota lainnya. Jika nanti tempat kerjanya tidak bisa dijangkau lagi dengan tiga atau empat jam perjalanan, barulah Arkan akan mebawa mereka semua ikut dengannya.
Kinara menuju ruang tamu dan melongok ke halaman. Pintu pagar sepertinya masih pada posisi yang sama. Belum ada tanda-tanda pagar telah dibuka. Kinara melongok ke garasi, mobil suaminya masih terlihat parkir di sana. Wanita 33 tahun itu mengernyitkan dahi merasa heran. Kemana suaminya? Kinara mengedarkan pandangannya ke dapur, ruang keluarga. Semua terlihat sepi dalam temaram cahaya lampu. Kinara berjalan menuju kamar tamu. Sesampainya di depan pintu, wanita berparas cantik itu memutar gagang pintu. Tetapi, pintu terkunci. Kinara semakin heran, tidak ada yang tidur di ruang tamu, kenapa pintunya bisa terkunci dari dalam?
Kinara menempelkan telinganya ke daun pintu. Terdengar suara-suara aneh dari dalam kamar. Tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasarannya, Kinara menggedor pintu kamar sekuat tenaga. Beberapa detik menunggu, pintu terbuka dan sosok gagah suaminya berdiri di hadapan Kinara dengan pakaian yang awut-awutan. Wajah laki-laki itu terlihat merah. Dada Kinara bergemuruh. Nyalang mata Kinara menyapu isi kamar, terlihat juga seprai yang kusut dan sudah tak berbentuk. Kinara melangkah masuk dengan menyentakkan tangan Arkan yang mencoba menghalangi tubuhnya. Kamar terlihat kosong. Kinara menuju pintu kamar mandi. Wanita bertubuh semampai itu memutar gagang pintu. Lagi-lagi terkunci. Dengan sekali dorongan kuat, pintu kamar mandi itu terbuka, karena memang kuncinya rusak. Hanya sebuah pengait kecil yang menjadi penahannya. Sehingga dengan gampang Kinara bisa membukanya dari luar.
Terperangah Kinara melihat pemandangan di depannya. Imas, gadis dua puluh tahun itu sedang berdiri di sudut kamar mandi dengan daster yang juga sudah tidak berbentuk. Gadis manis itu menatap Kinara dengan tatapan menghiba. Kinara terhuyung ke belakang. Serasa ada ribuan belati yang menusuk-nusuk jantungnya.
"Apa yang telah kalian lakukan, Mas?" Kinara menoleh pada Arkan yang masih berdiri mematung di samping pintu kamar.
"Aku ..."
"Pergi! Pergi kalian!" Kinanti berteriak histeris.
"Kinara, dengarkan dulu penjelasanku." Tiba-tiba Arkan mengejar Kinara dan bersimpuh di kaki istrinya itu.
"Pergi kalian sebelum aku berubah pikiran!" Kinara menarik kakinya sehingga Arkan terhuyung ke depan. Arkan terduduk di lantai. Kinara menuju meja rias di kamar itu dan membuka lacinya. Kinara mengambil gunting dan kembali berjalan menuju kamar mandi.
"Pergilah sebelum aku menjadi pembunuh." Kinanti mengacungkan gunting di depannya pada gadis yang masih berdiri di sudut kamar mandi itu. Tubuh gadis berkulit putih bersih itu bergetar, air mata membanjiri kedua pipinya. Dengan kaki gemetar, ia keluar dari kamar mandi. Kinara mengikuti langkah gadis itu dari belakang. Tak ada air mata yang tumpah. Ternyata jika rasa sakit yang menghujam begitu dasyat, air matapun tak mampu untuk keluar.
"Kinara, aku mohon, lepaskan gunting itu." Arkan mengejar Kinara dan mencoba meraih gunting di tangan wanita cantik itu. Kinara tak mengacuhkan ucapan laki-laki yang amat dicintainya itu. Ya .. setidaknya beberapa menit yang lalu, laki-laki ini menjadi segalanya bagi Kinara. Dengan mata lurus menatap punggung gadis di depannya ini, Kinara terus mengikuti langkah gadis itu. Ada bisikan halus yang seperti menarik tangan Kinara agar menusukkan gunting itu ke punggung gadis di depannya ini. Tetapi bersamaan dengan itu, suara muratal dari musala perumahan terdengar. Bacaan surah Ar Rahman dari seorang hafiz terdengar mendayu-dayu. Kinara beristighfar berulang kali.
"Jangan membawa apapun jika tidak ingin tubuhmu tercabik-cabik oleh gunting di tanganku ini." Suara Kinara terdengar dingin dan sadis. Imas yang baru akan masuk kamarnya bergidik. Gadis itu pun kembali memutar langkahnya menuju ruang tamu. Ia menyeret kakinya yang terasa berat. Sampai di pintu depan, berulang kali ia mencoba membuka kunci pintu. Tetapi gadis itu tidak juga berhasil membuka pintu. Baru lah ketika azan subuh berkumandang, pintu bercat putih di depannya bisa dibukanya. Tanpa menoleh lagi pada majikannya, Imas melangkah ke luar rumah, menuju halaman dan ke luar pagar. Tubuhnya hanya berbalut selembar daster tipis.
Arkan terlihat mematung di ruang keluarga melihat pemandangan di depannya. Kinara berbalik dan matanya menangkap sosok laki-laki terkasihnya itu sedang menatap juga padanya. Rasanya ingin sekali Kinara menancapkan gunting di tangannya ini tepat ke dada laki-laki di depannya ini. Tetapi suara azan kembali menarik akal sehat Kinara. Kinara melemparkan gunting di tangannya ke sofa ruang tamu. lalu dengan tubuh tegak, Kinara berjalan melewati laki-laki terbaiknya itu, setidaknya beberapa menit yang lalu, dia masih yang terbaik untuk Kinara.
"Kinara." Terdengar suara Arkan memanggil namanya dengan nada memelas. Kinara berhenti di anak tangga pertama.
"Pergilah! Beri aku waktu untuk mencoba memahami bahwa semua ini nyata." Kinara berkata dengan suara datar. Tak ada air mata. Arkan membeku di tempatnya berdiri.
Perlahan Kinara menaiki anak tangga. Masuk ke kamarnya. Fathan dan Aihara masih terlihat lelap dalam tidurnya. Menapat wajah-wajah polos kedua anaknya, Kinara tersenyum. Lalu sedetik kemudian tubuh wanita itu luruh ke lantai. Kinara menangis serasa memukul lantai dengan tangannya.
"Tuhan, katakan kalau ini hanya mimpi." Kinara berteriak di antara isak tangisnya. Lama Kinara duduk dalam tangis pedihnya.
Bersambung ....
YOU ARE READING
Cinta Tidak Pernah Salah
RomanceKinara mendapati suaminya, Arkan sedang berdua dengan Imas (ART mereka) di kamar tamu. Alas kasur yang biasanya selalu rapi terlihat acak-acakkan. Terperangah Kinara melihat pemandangan di depannya. Suaminya berdiri di samping tempat tidur dengan wa...