Tanpa mengetuk pintu dan melayangkan salam, Disa segera masuk ke dalam rumah. Celingak celinguk memerhatikan setiap sudut ruang tamu, mencari satu sosok yang membuatnya histeria kala petang itu. Ruang tamu dan keluarga sudah diperiksa, tidak ada sedikit pun batang hidung Ran di sana. Disa berharap bocah itu sudah terhempas pergi. Tiba-tiba hidungnya menghirup aroma tumisan dari dalam dapur.Mama pasti lagi masak.
“Mah!” ucap Disa sembari menepuk pundak Mama.
“Ih kamu bikin kaget aja.”
“Anak itu udah pulang, kan?” Tanya Disa.
“Ohiya. Duh Mama lupa, kan jadinya. Tuh Ghibran lagi di kebun sama Papa.”
WHATTT??!!!!!!!!!!!
Wadddefak!!!
Tak habis pikir, apa saja yang sudah dilakukan Ran kepada keluarganya hingga otak Mama bisa segera menyimpan memori namanya begitu saja. Secepat kilat Disa pergi ke kebun belakang. Jarak menuju kebun sebenarnya tidak begitu dekat, sekitar tiga puluh meter dari belakang rumah.
Papa sengaja membuatnya demikian sebab ia ingin menciptakan kebun pibadi yang jauh dari jangkauan banyak orang. Bukan kebun bunga, tapi kebun sayur mayur hijau segar. Ada bayam, kacang panjang, buncis dan terong. Setiap hari sebelum ke toko, Papa pasti menyempatkan diri untuk menjenguk kebun kesayangannya bahkan hanya untuk sekedar melihat dan mengamati sebentar.
Kebun bagi Papa seperti anak kedua sekaligus obat rasa rindu dengan kampung halamannya di Bukit Tinggi Sumatera Barat. Disa terkadang cemburu jika Papa lebih memilih bercumbu dengan tanaman-tanaman hijau itu daripada membantunya mencari ilustrasi ilmiah dalam buku. Pantas saja Disa begitu enggan menginjakkan kaki di sana. Tidak untuk kali ini.
“Pa!” teriak Disa.
“Hai, Nak.” Papa melambaikan tangan. Matanya menemukan sosok lain di samping Papa, membuat Disa semakin gerah melihatnya.
Disa berjalan, menjemput tangan dan mencium pipi Papa.”Papa kok udah pulang. Tanah Abang emangnya gak macet?”
“Papa tadi nyobain MRT. Wah enaknyo, cepat kali sampai Lebak Bulusnya. Papa jadi ketagihan.”
“Loh, terus mobil Papa?”
“Papa titipkan ke Uda Ujang. Soalnya papa males nyetir.”
“Hmm gitu. Papa pasti capek, kan. Ngapain ngebun jelang Magrib gini.”
“Mumpung ada Ghibran, dia bantu papa gemburkan tanah. Tuh.” Papa menunjukkan wujud tanah yang telah digembur oleh Ran. Sepertinya ia berbakat jadi tukang kebun daripada pemimpin OSIS. Disa tetap tak mengerti perbedaan tanah yang gembur atau tidak, ia hanya mengerti perasaannya kali ini semakin semraut karena hadirnya Ran dalam rumahnya, bahkan kini menghantui Mama dan Papa.
“Hai, Mbak,” sapa Ran.
“Hai.” Disa tampak jutek. “Ada perlu apa ke sini?”
“Eh ya sudah, ngobrolnya di dalam saja. Lihat tuh, celana Ghibran kotor. Habis ini kamu mandi, salat dan makan malam.Papa punya banyak baju celana yang seukuran kamu.” ucap Papa.
“Loh Pah” Disa semakin bingung.
“Gak usah, Om. Saya cuma mau ngasih berkas penelitian ke Mbak Disa,” tukas Ran.
“Jangan sungkan, kan saya yang ajak kamu ke kebun. Ayo!”
Ran menyerah dan Disa mencoba menetralisir kegundahan hatinya. Sial! Benar-benar sial.
***
“Enak?”
“Oh, enak Tante. Ini pake bumbu rendang, ya?” tanya Ran sambil mengunyah daging di mulutnya.
“Hahaha. Ini namanya Asam Padeh Daging. Memang sedikit mirip dengan rendang, tapi salah satu bahannya menggunakan asam kandis,” jelas Papa. “Pedas?”
“He iya pedas, Om.”
“Papanya Disa memang suka sekali pedas,” imbuh Mama.
“Nih!” Papa menaruh sesuatu ke piring Ran. “Ini namanya Sala Lauak, coba kamu makan.”
Ran segera memasukkan makanan itu ke mulutnya. Bentuknya bulat seperti bakso namun dilumuri tepung terigu dan kocokan telur sehingga lapisannya lebih renyah.
“Emmm, ini empek-empek?” tanya Ran.
“Hahaha. Bukan. Kalau empek-empek, ikannya dimasak atau direbus, kalau ini ikannya dibakar dulu dalam daun pisang terus dicampur adonan tepung lalu digoreng,” jelas Papa. “Ini semua masakan khas Sumatera Barat.”
“Wah, jadi Om Tante orang Minang?”
“Tante Batak, Om Minang. Tante bertahun-tahun belajar masakan Minang demi Papanya Disa,” jawab Mama.
“Kalau Ran, orang mana?” tanya Papa.
“Saya orang Sunda-Manado, Om, Tante.”
“Wah, perpaduan yang menarik itu. Sama kayak Om dan Tante, hahaha.” Papa tampak senang sekali. ”Makanlah yang banyak, tambah lagi nasinya. Mungkin, kalau Mamanya Disa tidak keguguran, adik Disa sudah seumuran kamu, Ran.”
“EKHEM…!!”
Suara Disa memecah keseruan obrolan tiga manusia di depannya. Klentang klentung, suara sendok dan garpu Disa tampak saling beradu. Situasi yang benar-benar menunjukkan kalau Disa sedang diserang rasa kesal.
“Ohiya, jadi dimana kalian bisa saling kenal?” tanya Papa.
“DI BUSWAY, OM!” - “DI SEKOLAH, PAH!”
“Jadi, dimana?”
“Di sekolah, Pah,” jawab Disa.
“Ohyaya. Sering-sering lah main ke sini, Ran. Kita bisa berkebun lagi nanti,”
“Ekhm, Disa sudah selesai nih,” ucap Disa masam. “Ohya Ran, kamu mau ngasih berkas penelitian, kan? Saya tunggu di ruang tamu, ya.”
Disa segera mengakhiri makan malamnya nya sebab tak sanggup berlama-lama larut dalam obrolan bak keluarga cemara. Nafsu makan hilang begitu saja. Meskipun Papa dan Mama tampak tak senang dengan sikapnya saat itu, tak sopan katanya. Perlakukan tamu seperti Raja menjadi salah satu ajaran dalam keluarga. Kalau Rajanya ternyata bocah ingusan nan mengesalkan seperti Ran, Disa lebih baik melayangkan pedang agar sang Raja segera pergi dari persemayaman.
Disa menunggu di ruang tamu. Matanya tampak lelah dan berkali-kali mulutnya menguap karna kantuk. Ia telah pergi , tapi obrolan di meja makan tampaknya masih begitu asik. Hal langka yang Disa alami sepanjang kebersamaan menikmati makan malam bersama keluarga dalam hidupnya. Memiliki anak tunggal satu-satunya, tentu membuat Papa dan Mama merasa kesepian. Apa mungkin, kini mereka bertiga sedang membincang perihal adopsi anak angkat? Oh tidak tidak.
“Mbak” Ran muncul dan duduk berhadapan dengan Disa.
“Seru ya ngobrolnya? Terima kasih lho, sudah berhasil rebut perhatian Mama dan Papa,” ucap Disa sinis.
“Sudah mau jam delapan, pulang gih. Taruh aja berkasnya di meja, saya juga udah ngantuk.”
“Em, sebenarnya saya ke sini cuma mau minta izin sesuatu, Mbak.”
“Minta izin apa? Izin jadi anak angkat Papa Mama?” ketus Disa.
Ran nepok jidat.”Bukan, Mbak. Saya serius.”
“Oke. Terus izin apa?”
“SAYA MINTA IZIN UNTUK MENCINTAI MBAK DISA.”
..............................................
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated
Teen Fiction#276 in teen fiction (21-04-18) Disa, gadis 25 tahun yang hampir terpuruk akibat desakan kedua orang tua untuk segera menikah. Konfliknya semakin rumit saat ia jatuh cinta dengan laki-laki remaja belasan tahun, Ran.Ia yakin cerita cintanya salah. Ke...