LEBARAN KESEPULUH

26 0 0
                                    

Ini lebaran kesepuluh tanpa mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini lebaran kesepuluh tanpa mereka. Aku duduk di kursi teras rumahku. Pikiranku melayang jauh menembus waktu. Aku ingin pulang. Aku rindu rumah. Rindu bolu buatan mama. Rindu suara motor Supra Fit jadul milik Papa. Rindu pada gitar dan bau apek kusutnya kamarku.

Arrgggghhh! Tapi aku tak bisa kembali. Aku sudah berjanji. Sekeras apapun memaafkan, dendam masih terbakar di dadaku. Sial! Ini semua gara-gara bajingan itu. Dia harus diberi pelajaran! Pikiranku masih jauh melayang di 15 tahun yang lalu.

Semua ini bermula setelah kematian Kakek dan Nenek yang begitu mendadak bahkan aku tak sempat menunjukkan toga sarjanaku di depannya. Aku sangat terpukul. Di saat semua orang sibuk memperebutkan warisan, justru aku menangis di pojokan.

"Ini tidak adil! Seharusnya rumah itu milikku!" protes Edi, adik mama yang paling muda.

"Enak saja kau! Itu milik kakakmu!" sahut Hendrik, adik mama yang paling tua.

"Drik, Ed, cukup! Kenapa sih kalian ribut terus. Lagian rumah seluas ini sanggup kau urus sendiri, hah?! Sudahlah, pokoknya rumah ini milik bersama, titik!" tegas Mamaku.

"Yasudah. Tapi kebun di utara jadi milikku." balas Hendrik.

"Enak saja. Itu milikku. Setiap hari aku yang urus." balas Edi.

"Aku lebih berhak! Aku punya tanggungan anak istri, sedangkan kau belum kawin!" Hendrik menghardik.

"Ya itu masalahmu!" Edi tak mau kalah.

"Hei.. Diam!" Mama mencoba melerai kedua pamanku.

"Kalian jangan kayak anak kecil! Warisan itu akan kakak bagi rata. Pokoknya rumah dan kebun itu milik bersama! Itu semua juga untuk anak-anak kalian! Kakak tidak akan mengambil sepeserpun!" teriak Mamaku.
Kedua pamanku terdiam. Tak ada yang berani membantah keputusan mama. Mereka pun membubarkan diri dengan sendirinya.

Rumah peninggalan nenek memang sangat besar dengan kebun yang sangat luas, 11 hektar. Kau bayangkan sendiri seperti apa luasnya. Rumah nenek memiliki tiga kamar dimana dua diantaranya diisi oleh paman beserta istrinya. Sedangkan aku, mama dan papa, kami memiliki rumah sendiri yang bersebrangan dengan rumah itu. Kebun yang luas itu dibagi menjadi tiga petak. Satu petak empat hektare untuk mama. Empat hektare lainnya untuk Hendrik yang sudah menikah dan Edi juga kebagian 3 hektare.

"Mas, mau makan dulu atau langsung ke makam?" Aku terkejut. Anjani membuyarkan lamunanku pagi itu.
"Makan dulu deh, Beb." balasku sambil tersenyum.

"Yasudah, itu opornya keburu dingin." Aku dan istriku tercinta, masuk ke dalam rumah menuju meja makan. Setibanya di sana, Anjani sudah menyiapkan semuanya. Aku hanya bisa duduk dan melamun.

"Mas!" sahut Anjani, "Ayo dimakan opornya. Jangan dilihatin terus!"

Aku mengangguk dan mencicipi opor itu. Enak, namun sedikit asin. Persis seperti masakan mama 10 tahun yang lalu. Aku rindu.

"Mas, ada apa?" tanya Anjani, "Akhir-akhir ini kamu sering melamun."

Aku terdiam. "Mas sakit?" tanyanya lagi.

Aku menarik nafas panjang. "Gak apa-apa. Aku hanya rindu rumah."

Anjani tertegun dan menatapku lekat-lekat.
"Kenapa sekarang gak pergi kesana saja." Aku menatapnya hingga pandangan kita berhadapan. Lalu aku membuang wajahku.

"Aku gak bisa."

"Kenapa? Bukankah ini momen yang tepat untuk silaturahim?"

Aku terdiam. Bergulat dengan pikiranku sendiri. Aku tak bisa ke sana. Aku sudah berjanji. Mau taruh dimana mukaku. Bisa bisa aku malah dicaci dan dihina.

"Mas..." rayu Anjani, "Ayolah. Aku yakin ibu akan bahagia mendengar kabar akan menimang cucu."

"Apa?" Aku terkejut.

"Aku hamil, Mas" ucap Anjani nada bahagia dan tersenyum manis.

"Serius? Akhirnya...." Aku tak bisa menahan rasa bahagiaku, "Ya Allah, terima kasih!" Aku terus berkata seperti itu sambil mencium perut istriku.

"Akhirnya aku menjadi akan seorang ayah. Aku janji akan menjadi ayah yang bertanggung jawab dan suami yang terbaik untukmu." Kukecup kening istriku. Aku tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, kecuali saat mama dan papa pertama kali mengajakku ke pantai.

"Dari awal aku sudah yakin padamu, Mas." ucapnya sambil tersenyum, "Dan aku rasa berita bahagia ini juga berhak didengar mereka, Mas." Aku mulai dilema. Aku tidak mungkin pergi ke sana. Tapi mau sampai kapan aku kabur seperti ini. Terkadang aku harus berani. Aku akan tunjukkan pada mereka bahwa aku bisa hidup sukses dengan caraku sendiri.

"Baiklah." Aku menghirup nafas panjang, "Mungkin sebaiknya aku panaskan mobil dulu." balasku sambil berjalan menuju garasi mobil. Anjani hanya tersenyum.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepotong Bolu dan Secangkir Rindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang