Collapsed (2/2)

5.5K 633 69
                                    

Irene mendecak saat kakinya memasuki apartemen Taeyong. Baju-baju berserakan di lantai. Kaleng minuman, cup mie instan, dan beberapa camilan juga tercecer di mana-mana.

"Wow! Sayang, apa barusan ada gempa?" sarkas Suho yang sudah berada di belakang Irene. Menimang anak laki-laki mereka yang usianya belum genap satu tahun.

Fokus Irene jatuh pada layar televisi yang memutar sebuah video. Dia sangat hafal dengan pemandangan ini. Pemandangan yang mengiris perasaan. Adiknya yang menonton berulang-ulang video Minji ketika bernyanyi di acara pentas taman kanak-kanak sampai tertidur.

Suho mengelus pundak Irene yang menatap sendu ke arah Taeyong. "Kita harus bergegas."

Irene mengangguk dan mematikan video itu. Kemudian mendekati Taeyong. Bau alkohol begitu kuat menguar dari tubuh Taeyong. Nampak jejak air mata mengering di pipi laki-laki itu. Wajahnya terlihat pucat dengan kantung mata menghitam dan bibir yang memutih. Adiknya seperti pecandu obat-obatan. Tidak, Irene tahu Taeyong tidak akan pernah menjadikan obat terlarang sebagai pilihan untuk melupakan masalah.

"Taeyong, bangun." Dia mengguncang ringan tubuh itu.

Taeyong menggeliat dan langsung membuka mata. Memang mudah Taeyong terbangun mengingat pekerjaan mengharuskannya selalu dalam kondisi siaga. Tidurnya pasti tidak pernah nyenyak. Sekarang Taeyong sedang dalam masa skorsing dua tahun setelah Kapal Gyongi tenggelam. Mungkin waktu ini akan ia manfaatkan untuk bermalas-malasan.

"Hm .... Pukul berapa ini? Kalian berangkat sekarang?" tanya Taeyong dengan suara parau. Ia terduduk, menatap bergantian Suho dan Irene.

"Pukul 5 pagi. Sengaja, jalanan pasti sangat ramai di hari libur begini. Kami tidak ingin terjebak macet," jawab Suho.

"Kamu yakin tidak ikut? Ayah, Ibu, Nenek, Bibi, semuanya ikut berlibur." Irene tersenyum menyentuh tangan Taeyong. "Pasti menyenangkan. Bibi bilang dia menyewa hotel paling mahal di Jeju, lengkap dengan fasilitas yang mewah!"

Taeyong terkekeh, tangannya terangkat mengacak rambut Irene. "Memangnya aku anak kecil yang bisa kamu bujuk begitu?! Aku punya uang sendiri, akan tersisa banyak walaupun aku membeli seluruh hotel mewah di negara ini."

"Bagus, muridku. Aku suka kesombonganmu," sahut Suho.

Mereka tertawa. Menghalau sedikit kabut sendu yang sedari tadi pekat terasa. Irene tahu tawa itu hanya sesaat. Nanti akan tergantikan lagi dengan rasa bersalah, sedih, hancur, dan kesepian.

"Jangan khawatir, aku ada janji bertemu Yuta dan Johnny malam ini, tidak akan kesepian." Taeyong meyakinkan Irene.

"Ya sudah. Aku membawa makanan. Jangan melewatkan sarapan dan ... apa perlu aku belikan obat pereda mabuk?"

Taeyong menggeleng. "Tidak perlu. Aku beli sendiri nanti, sekalian membeli beberapa persediaan dapur yang habis."

"Manis sekali. Giliran suaminya sakit disuruh beli obat sendiri."

Irene menatap tajam Suho yang meringis. Sebelum pergi, ia menyempatkan diri menata bekal yang ia bawa di meja makan. Namun, dia tidak punya waktu untuk membereskan kekacauan di lantai.

Sejak Jisoo pergi, hidup Taeyong jadi berantakan begini. Padahal Taeyong terbilang rajin bersih-bersih dan tidak bisa melihat ruangan berantakan. Justru Irene ingat, dulu Taeyong sering mengomel pada Jisoo yang suka menumpahkan minuman di lantai dan membiarkannya begitu saja. Membuat Taeyong sering terpeleset. Irene juga ingat, Taeyong akan berhenti mengomel hanya dengan satu kecupan dari Jisoo. Dulu, mereka pasangan yang sangat manis dan serasi. Berhasil membuat banyak orang iri.

Sepeninggalan Irene dan Suho, Taeyong kembali dirundung sepi. Ketika Jisoo dan Minji masih tinggal bersamanya, Taeyong merasa apartemen mereka sangat sempit. Berpikir dia perlu membeli rumah yang luas agar anak-anak mereka lebih leluasa bermain di rumah. Kini, ia merasa ruangan ini terlalu luas dan hampa.

One-Two Shot Stories: A Collection | Jisyong ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang