Bagian 2

115 15 4
                                    

Lexi bangun pagi ini dengan wajah yang tak karuan, untuk kesekian kalinya bayangan tentang apa yang terjadi pada adiknya membuatnya tak bisa tidur karena penyesalan kembali datang menghantuinya. Hingga suara kenop pintu yang diputar terdengar dan menampilkan seorang wanita paruh baya dengan wajah khawatir akan apa yang dialami anak sulungnya akhir-akhir ini.

"Lexi, ayo bangun dan sarapan bersama-sama. Ayahmu sudah menunggu di meja makan," ucap ibunya pelan yang tanpa sadar melihat foto dengan pigura coklat keemasan berada di samping ranjang anak sulungnya itu. "Itu bukan salahmu, nak. Sama sekali bukan," lanjutnya sambil memeluk Lexi dan menepuk pelan punggung gadis itu.

Tahun lalu, saat liburan musim panas dimulai, Lexi bersama dengan adik laki-lakinya berniat pergi ke rumah nenek mereka di luar kota. Namun tiba-tiba adiknya itu, Felix malah membatalkan rencana liburan mereka itu dengan alasan akan bermain game bersama dengan teman sekelasnya.

"Benar nih, kamu tidak jadi ikut kakak ke rumah nenek?" Lexi membujuk adiknya itu agar ikut dengannya, namun yang diterima hanya penolakan berkali-kali. "Ya sudah, aku akan pergi sendiri. Jangan menyesal ya?" ucap Lexi dengan nada mengejek sebelum mendapat tatapan jengkel dari adik kesayangannya itu.

Akhirnya Lexi pergi dengan rasa gelisahnya itu. Adiknya itu pasti menyembunyikan sesuatu, dilihat dari postingan akunnya yang biasanya akan penuh dengan foto-foto manisnya, kini tidak ada notifikasi bahkan aktivitas akunnya pun tidak berubah sejak Lexi berangkat ke rumah neneknya itu.

Selama seminggu, ia habiskan dengan menikmati pemandangan laut di dekat sana. Bahkan ia sempat memamerkan beberapa foto kepada adiknya lewat percakapan di ponsel mereka. Di sisi lain, adiknya yang sedikit menyesal karena saat ia tidak ikut Lexi seperti ini, pemandangan di dekat rumah neneknya itu menjadi sangat menakjubkan meski dilihat dari foto saja.

Hari itu, Felix sudah membuat janji dengan kakak kelasnya akan bermain bersama di warnet. Jika ia terlambat satu menit bahkan satu menit saja, hukuman akan siap menemuinya saat itu juga. Karena Felix sudah terbiasa, maka dia datang satu jam lebih awal dari jadwal janji mereka. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki dengan perawakan tubuh yang lebih besar darinya itu pun mengambil tempat dan duduk tepat di sebelah Felix.

"Hari ini, kalau kau bisa kalahkan rekorku maka kau akan berhenti menjadi pesuruhku!"

Felix yang mendengar itu pun hampir terjatuh dari kursi saking kagetnya, karena ia tidak mahir padahal ingin berhenti menghadapi penderitaannya selama ini. Mau tidak mau, harus tetap dilakukan meskipun hasilnya tetap sama saja. Ia tidak akan bisa mengalahkan rekor kakak kelasnya yang sudah menghabiskan setiap minggunya di warnet itu.

Belum sempat Felix menembakkan pistolnya ke arah karakter milik kakak kelasnya itu, ia sudah di serang habis-habisan terlebih dahulu dari arah bidikannya. Ia kalah lagi untuk kesekian kalinya. Sebenarnya Felix sudah mengerti kalau permainan itu hanya perbuatan curang dari kakak kelasnya, namun ia tetap tidak bisa mengalahkan bahkan sekali saja.

Kakak kelasnya yang melihat kemenangannya itu lantas terbahak-bahak dan menyuruh Felix membeli minuman untuk dirinya. Bahkan setelah mengabiskan berjam-jam di warnet, ia memaksa Felix untuk membayar biayanya dan memukulnya karena kekalahan yang payah itu. Felix hanya bisa diam, tidak ada yang tahu soal ini bahkan sahabat-sahabatnya sekalipun. Felix tidak mau menyusahkan orang lain, itu alasannya. Akhirnya, ia selalu pulang dengan wajah memar dan beberapa anggota tubuh yang sedikit bengkak. Saat pulang, berbagai pertanyaan yang dilontarkan orangtua dan kakaknya itu hanya ia respon sekenanya saja.

Lexi sering sesekali memperhatikan adiknya itu dan merasa bahwa banyak perubahan aneh yang terjadi padanya. Sekecil apapun itu, Lexi pasti akan segera menyadarinya dan kini saat ia sedang bertukar pesan dengan adiknya itu, ia menjadi khawatir akan terjadinya kemungkinan-kemungkinan buruk.

Akhirnya setelah tiga hari dilewati dengan rasa senang meskipun banyak pikiran yang mengganggu dan membuatnya gelisah, Lexi pulang ke rumah dan orang yang pertama ia cari adalah Felix. Ia pun menekan nomor telepon adiknya yang sedang tidak ada di rumah saat itu. Bahkan orang tuanya yang tadinya menyambut hangat kedatangan Lexi malah ikut kebingungan. Hingga akhirnya sebuah suara dari seberang sana membuatnya menjadi sedikit lega.

"Halo, ada apa kak? Mau pamer lagi?"

"Kamu dimana sekarang? Kakak sudah pulang,"

"Benarkah?! Cepat sekali, padahal rencananya kan seminggu di sana, kenapa malah cuma tiga hari?"

"Sudah, itu dibahas nanti, kamu ada dimana sekarang?"

"Aku sedang menemui temanku di warnet dekat se- Kak, temanku sudah datang, nanti kita akan lanjut berbicara di rumah ya!" seketika sambungan teleponnya terputus.

'Kalau begitu Felix berubah akhir-akhir ini pasti berkaitan dengan temannya itu,' batin Lexi.

Orangtuanya yang memperhatikan anak sulung mereka itu lantas bertanya, "Ada apa, nak?" Lexi yang baru teringat pun terlonjak kaget. "Se-sepertinya aku akan pergi menemui Felix, Yah" Lexi pun langsung meletakkan tasnya di sembarang tempat dan pergi menuju ke warnet dekat sekolah adiknya yang mungkin menjadi tempat bertemunya Felix dan temannya itu dengan langkah tergesa-gesa.

Berkali-kali menghindari orang yang lewat di depannya, hingga akhirnya sampai di depan pintu masuk sebua warnet. Lexi mencari-cari adiknya dari sudut ke sudut. Seseorang tiba-tiba menyeret seorang laki-laki yang mirip seperti Felix dengan menarik kerah kemejanya. Lexi diam-diam mengikuti mereka dan bersiap memanggil bantuan polisi terdekat yang kebetulan tempat pamannya bekerja.

Pukulan keras pada perut anak laki-laki itu dilakukan terus menerus oleh seseorang yang menyeretnya tadi lalu dihempaskan secara kasar ke semak-semak yang memiliki ranting berduri. Anak laki-laki yang ternyata benar Felix itu mengaduh kesakitan dan tidak bisa melawan sama sekali sebelum akhirnya para polisi datang mendekati mereka lalu dengan sigap mencegah seseorang tadi untuk berusaha kabur.

Lexi langsung menghubungi rumah sakit terdekat dan menyuruh mereka mengirim ambulan secepatnya. "Jangan tangani dia dulu, sebelum keluarga korban mendapatkan penjelasan darinya langsung!" kedua pria yang mengenakan seragam polisi itu menundukkan kepala kepada pemilik suara yang datang dari belakang Lexi. Lexi pun menoleh dan mendapati pamannya berdiri disana. Ia pun mendekatinya dan berterima kasih karena tiba dengan cepat.

Sirine dari mobil ambulan pun terdengar semakin mendekat ke arah mereka. Beberapa perawat langsung memapah Felix dengan tandu milik rumah sakit yang langsung didorong masuk ke dalam mobil ambulan dan Lexi pun ikut bersama mereka sambil menggenggam tangan adiknya itu.

Orang tua mereka sampai di depan pintu kamar rawat Felix segera setelah pihak rumah sakit menelepon. Wajah panik, kebingungan serta khawatir jelas tercetak di wajah mereka yang kelelahan itu. Lexi yang duduk di kursi dekat pintu lantas menengok dan memeluk mereka secara spontan. melihatnya lantas Esok paginya, ia mendapat telepon dari pamannya yang mengatakan bahwa pelaku kejadian kemarin akan menjelaskan semuanya pada Lexi, ia takut jika berbicara pada orangtuanya karena takut akan dituntut dan sebagainya.

Pertemuannya berlangsung lama, Lexi yang tidak mau basa-basi dan anak itu yang langsung menjelaskan semuanya sampai tuntas dan meminta maaf atas perbuatannya itu dengan tulus. Rupanya, penyebab Felix diperlakukan seperti itu karena rasa iri dan kurang kasih sayang dari orangtuanya. Lexi yang menyimak akhirnya berkesimpulan seperti itu dan memberi nasihat agar tidak mengulanginya lagi karena bisa saja kembali pada dirinya sendiri. Anak itu pun terlihat lega sekaligus berterima kasih karena ada yang mau mendengarkan cerita meskipun perilakunya yang sudah membuat Felix terkapar di ranjang rumah sakit.

Kejadian itulah yang membuat Lexi bisa memandang Celine biasa saja, tidak seperti teman-temannya. Satu lagi, sekarang Felix ikut berhambur ke pelukan kakaknya itu. Mengingat jarak usia mereka yang terpaut hanya setahun, membuat mereka nyaman satu sama lain.

Setelah acara pelukan di kamar Lexi tadi berlangsung, semuanya bisa sarapan dengan tenang dan berharap tidak mengenang kejadian itu lagi karena bisa jadi trauma untuk Felix sendiri. Terutama Lexi yang masih menyesal padahal sama sekali bukan salahnya. Setidaknya, sudah lega bisa perlahan melupakan.

[Cyberbullying Series] BehindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang