0o0o0
Gray melangkahkan kakinya ke dalam sekolah dengan tatapan datar, ia senang karena ini adalah akhir tahunnya di sekolah menengah atas, di sisi lain Gray tidak suka karena situasi di sekolahnya di hari pertama begitu ramai.
Mereka selalu mengobrol dengan keras dan topiknya juga tidak penting, basa-basi tak perlu seperti membicarakan tentang liburanmu, bahkan ada yang bermain basket di koridor.
“Ugh, melihatnya saja membuatku lelah.” Gerutu Gray dalam hati. “Aduh kelasku di lantai tiga lagi, pasti di tangga banyak orang, energiku bisa terkuras nih, belum sarapan juga, sialan!” Gray kembali mengumpat dalam hati, isi pikirannya begitu penuh, ia marah dengan dirinya sendiri. Meskipun berbagai emosi terpancar di dalam diri Gray, orang melihatnya ia adalah orang yang susah berekspresi.
Baru saja Gray ingin kembali melangkahkan kakinya, tiba-tiba ada temannya yang merangkul mesra layaknya sahabat.
“HALO GRAY BAGAIMANA LIBURAN MUSIM PANAS MU?” dia adalah Robin Davidson, yang terkenal supel dan ramah.
Saking supelnya ia selalu menegur semua orang saat hari pertama masuk sekolah, sepertinya ia tidak memikirkan apakah orang yang disapanya suka atau tidak.“Ugh Robin, I’m fine and bye.” Gray melepas rangkulan Robin yang mengganggunya. Untung Robin langsung teralihkan pikirannya ke orang lain.
Lantai dua tidak seramai yang Gray pikirkan, di ujung lorong lantai dua terdapat satu ruangan khusus tempat anak-anak beristirahat dan menikmati pemandangan bagi yang duduk di dekat jendela.
“Gray!” Panggil seseorang dari dalam sana.
Suaranya tidak asing di telinga Gray, itu adalah Emily Walkinson. Gray menghampiri Emily yang sedang sibuk dengan bukunya.
“Apa kabar Gray? Dan bagaimana kabar Milly kucingmu?” Tanya Emily ceria.
Emily ini anak yang pendiam, tetapi jika bersama seseorang yang ia dekat, maka Emily bisa cukup heboh dan hangat. Mungkin ia merasa bahwa Gray merupakan teman dekatnya.
“Aku baik dan Milly juga baik-baik saja,” Gray hanya menganggukkan kepala.
Tahun lalu mereka berpasangan untuk mengerjakan tugas bahasa Prancis, karena Gray begitu malas berbicara jadilah Emily yang banyak menjelaskan semuanya. Satu lagi, Emily juga yang menyuruh Gray memelihara kucing agar tidak kesepian, dan benar saja karenanya Gray jadi sedikit terhibur di liburan musim panas kemarin.
“Emily aku ke kelas duluan ya.” Pamit Gray, entah kenapa dia ingin segera kembali ke kelas.
“Ah okee, aku masih ingin di sini, duluan saja.” Emily tersenyum dari balik bukunya.Sesampainya di kelas barunya yang masih sepi, Gray langsung memilih tempat duduk yang paling nyaman dan strategis, yaitu di pojok baris kedua dekat jendela.
Baru beberapa menit Gray duduk, ada seseorang lagi yang memanggil namanya, bhaks baru pagi loh ini, sudah ada tiga orang yang memanggil, padahal Gray tidak melakukan apa-apa.
Tetapi panggilan kali terasa berbeda, dan karena itu Gray bisa tersenyum beberapa senti pagi ini.
“RAY! AKU MERINDUKANMU AA AKU DUDUK DI SEBELAH MU YAAA!” Seru gadis itu dengan ceria. Kalau itu bukan Michelle Hartmann, Gray akan sungguh malu ada orang di sampinya yang seheboh itu.
“Iyaa ellleee.” Gray menjawab singkat namun hangat. Gray selalu senang jika berada di dekat gadis itu. Michelle selalu memancarkan energi positif, dan Gray jarang bisa akrab dengan teman. Hanya ada tiga orang yang berhasil dekat dengan Gray selama ia bersekolah yaitu Emily, Michelle, dan satu orang teman laki-laki yang sudah dekat dengan Gray sejak di sekolah dasar yang sudah lama tidak bertemu.
“Oh ya Ray, kau sudah mantap dengan jurusan mu nanti saat kuliah?” Tanya Michelle. Gadis itu mengambil ponsel dari saku roknya.
Satu lagi yang Gray suka dari Michelle, yaitu caranya memanggilnya. Hanya Michelle yang memanggilnya Ray.
“Tentu saja. Biokimia merupakan tujuanku sejak berumur delapan tahun. Kau sudah yakin kan dengan pilihanmu?” Gray menatap Michelle dengan penuh perhatian.
“Tentu saja yakin, tetapi ragu akan bisa masuk sana, kau kan tahu saingannya banyak dan juga nilai ku begitu parah.” Di samping dirinya yang selalu memancarkan energi positif, kerap kali Gadis berdarah Jerman ini selalu overthinking terhadap apa yang akan dia ambil.
Gray tau, impian Michelle ingin masuk ke jurusan kesusastraan. Gray beberapa kali melihat karya Michelle, dan memang karyanya masih apa adanya. Puisi karya Michelle terlalu sederhana pemilihan kosa-katanya. Cerita karyanya juga masih sangat pasaran alurnya. Gray tahu Michelle bisa berubah, ia bisa melihat potensi di dalam diri Michelle.
“Elle.. sudah berkali-kali aku bilang padamu bahwa kau bisa, tinggal kau sendiri yang mengatur pikiranmu. Perintahkan dirimu sendiri untuk bisa berkembang.” Gray menatap Michelle intens. Michelle segera memalingkannya, Gray memiliki tatapan yang tajam.
“Heheheh iya ray I know what should I do, Cuma terkadang banyak saja hambatannya.” Michelle berkata pelan sambil mengutak-atik handphone-nya.
Tak lama kemudian, wali kelas mereka, Mrs. Smithson memasuki kelas dengan tas di tangganya, tak lupa dengan kacamata bundar yang bertengger dihidungnya, tak lupa pakaian yang warnanya sangat mencolok. Teman-teman di kelas Gray memang sudah hafal karakter Mrs. Smithson di awal tahun.
Sekolah hari pertama berjalan dengan lancar, Gray bersyukur dengan itu. Tidak ada hal aneh terjadi. Yang Gray harapkan untuk tahun terakhirnya di sekolah menengah atas adalah: semoga ia bisa mendapatkan jurusan dan universitas sesuai dengan impiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vie Imprévisible
Fanfiction━━━━━━━⊰❖⊱━━━━━━━ Gray merupakan orang yang selalu berencana, ia punya planning kedepan apa yang harus dilakukan. Jika ada yang gagal, dia bisa mencari cara untuk kembali mendapatkannya. Tetapi semua ini berubah sejak kematian mendadak sang ayah, di...