Prolog

12 0 0
                                    

Seorang gadis dalam sebuah studio musik pribadinya di tengah kota London tengah memainkan pianonya dengan khidmat. Tangannya bergerak berirama dengan tekanan yang berirama kuat atau lembut. Terkadang matanya tertutup menikmati bunyi senar yang dipukul martil dari tuts yang ditekannya. Kakinya bergantian menginjak pedal di bagian bawah piano untuk mengatur nada menjadi lembut atau bergetar. Suara sang gadis menggema di seluruh ruangan sembari menyelaraskan dengan lagu yang di mainkannya dengan pianonya.

Gadis itu larut dalam permainan nada yang diciptakan oleh alat musik yang dimainkannya serta lagu yang dibawakannya. Seakan dirinya benar-benar melebur bersatu dengan gelombang bunyi yang dihasilkan dan memenuhi ruangan studio musik yang hanya berukuran 5X4 tersebut.

Tak ada yang istimewa dari ruangan segi empat sempit tersebut. Ruangan tersebut didominasi dengan warna putih di dindingnya dan coklat pada karpet yang menutupi seluruh lantainya. Dipenuhi dengan berbagai alat musik seperti 3 gitar berjejer rapih di sudut ruangan disamping piano yang kini tengah dimainkan, 2 buah biola yang digantung bersama tasnya berjejer tepat diatas gitar, 2 buah keyboard disisi lainnya yang di pasang bertingkat untuk menghemat ruang, meja besar disisi lainnya yang didominasi dengan 2 buah komputer serta jeroannya dengan laci tanpa sekat yang dapat ditarik menjadi meja tambahan untuk menyimpan beberapa alat musik digital dibawahnya juga alat elektronik lainnya untuk merekam lagu. Tak ketinggalan headset, mic dan standing mic rapih di dekat meja.

Sebuah sofa panjang minimalis disisi lainnya tepat disamping pintu berwarna coklat dengan selimut dan bantal tertata rapih diatasnya. Sebuah laci kecil disampingnya dengan beberapa buku bacaan dan buku jurnal diatasnya juga setumpuk gelas kertas dan kettle listrik. Dindingnya dipajang beberapa cover album yang di print dalam kanvas untuk mempercantik ruangan ditambah sebuah rak gantung yang berisi beberapa kaktus dalam gelas transparan. Sebuah kursi dorong yang bisa diatur ketinggian dan gerakannya digunakan gadis itu untuk duduk saat ini sembari menyelesaikan lagunya.

Ruangan itu cukup terang untuk ukuran sebuah studio musik, namun sepertinya gadis itu menyukainya. Sebuah tas tergeletak di sofa coklat tersebut berdampingan dengan Coat abu-abu milik wanita itu. Tepat diatas sofa ada sebuah kertas di frame dengan tulisan :

Regulations in Wild Studio by Elevhant
1. Take off your shoes.
2. No alcohol allow here.
3. Using freely (except when I using here)
4. Make sure the room still clean before you out.
5. Make sure all electrical things was off before you out.
DON'T MAKING OUT HERE!!!!

Remember, the one who has this room is Moslem!

Lagu selesai dimainkan, kini gadis itu termenung di kursinya sembari menatap hamparan tuts piano yang baru saja dimainkan. Gadis itu kemudian tersenyum dan mendorong kursinya sehingga mendekati sofa dan meraih tasnya. Mengaduk sedikit kedalam tas kemudian mengambil sebuah ponsel yang diperiksanya. Beberapa notifikasi terlihat dilayar ketika dia menghidupkan ponsel tersebut dari keadaan terkunci. Diperiksanya satu-satu notifikasi tersebut sembari membalas yang perlu dibalas serta menanggapi hal yang perlu ditanggapi.

"Tok.. tok.. tok.." Ketukkan dari pintu menginterupsi gadis itu dari ponselnya. Gadis itu berdiri meraih daun pintu dan membukanya. Seorang pria dengan tinggi 179 terlihat dengan wajah khas kebarat-baratan dengan rambut blondenya terlihat tersenyum menatap gadis itu dan berkata dengan santai.

"Hana, can you help me to finishing my song?"
"Now?"
" If you don't mind"
"Okey" Hana kemudian keluar mengikuti pria itu dengan mengambil tasnya sebelumnya dan membalik papan didepan pintunya menjadi used dan menutupnya.

"Tapi aku pulang pukul 8 ya Sean? Aku harus belanja bulanan" ujar Hana sembari melangkah menuju studio lain di lantai 3 sebuah gedung yang cukup megah itu.
"Aku akan mengantarmu ke store dan ke apartemen mu kalau begitu" balas Sean sembari menepuk pundak Hana pelan.
"Oh, you are the best!" Hana menggoda dengan kedipan sebelah matanya.
"Always for you!"
"Bagaimana dengan sekalian belanjaannya?" Tambah Hana dengan cengiran lebarnya.
"Sepertinya kamu mulai tidak tau diri ya?" Seru Sean dengan agak sebal.

Keduanya berlalu memasuki studio ketiga dari studio wild milik Hana di lantai itu.

»18 june 2019«
|Pojok Penulis|
Aku ingin mencoba menulis lagi, tapi jangan mengharapkan hal apapun pada tulisan ini karna sepertinya ini menjadi ajang pelampiasan lamunanku.

Sonic blossoms diambil dari karya Lee Ming Wei yang merupakan seniman Taiwan Amerika dengan melibatkan performance dalam karyanya, karya ini merupakan sebuah karya participant dengan pengunjung yang dipilih oleh seorang penyanyi untuk diberikan sebuah hadiah berupa sebuah lagu. Orang tersebut diajak duduk disebuah kursi kayu kemudian sang penyanyi akan menyanyikan salah satu lagu Leider karya Schubert secara langsung dengan diiringi instrument dari sebuah pemutar musik.

Seluruh karya Lee Ming Wei memiliki kisah dibaliknya, dalam Sonic blossoms Ming Wei menceritakan masa kecilnya dulu dimana dia seorang anak laki-laki yang aktif sehingga ibunya menyetel lagu ini dengan suara yang kecil. Ming Wei harus diam dan tenang untuk dapat mendengarnya. Kemudian ketika dewasa saat ibunya sakit, Ming Wei kemudian menyetel lagu yang sama kepada ibunya. Bagi Lee Ming Wei, lagu tersebut adalah sebuah hadiah dimana kenangan akan terus terpaut didalamnya.

Leider sendiri terdiri dari 5 lagu aransemen Schubert seorang pemusik dari Austria. Kelima lagu tersebut berbahas Jerman.

Sonic blossoms kupilih menjadi judul cerita ini karena bagi hana, musik menjadi hadiah terbesar bagi hidupnya.

Sonic BlossomsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang