Anyitha: Teriakan yang didengarnya

64 9 1
                                    

Aku kembali mengingat saat pertama kali berjumpa dengannya, seorang anak remaja sepantaran ku yang ternyata memiliki rahasia yang tidak jauh berbeda. Meski awalnya aku mengira dia lebih beruntung, memiliki saudara yang juga menyimpan rahasia yang sama, sedangkan aku melalui semua ini sendirian dengan penuh kebingungan, kebimbangan dan tidak dipercaya.

Pertemuan itu membuat aku mulai menyadari bahwa bukan hanya aku saja yang mengalami ini dan mungkin diluar sana ada banyak anak-anak yang terkurung dengan kebingungan dan ketakutan atas apa yang terjadi dengan diri mereka selama ini dan mungkin lebih menderita dari pada aku saat ini.

~ Aku sedang berteduh didepan ruko yang sedang ditinggal pergi oleh pemiliknya, hujan turun cukup deras siang ini, lebih deras dari biasanya. Sudah lebih dari satu jam aku disini tetapi belum juga ada tanda-tanda hujan akan mereda, malah kelihatannya lebih deras dari sebelumnya.

Semakin lama air semakin meninggi, langit masih terlihat hitam legam dengan petir yang sesekali menembus kegelapan menyambar langit-langit.

Jalanan nampak sepi tak seperti biasanya. Jalanan ini termasuk salah satu yang teramai di kota, tetapi saat ini hanya ada satu dua orang yang lewat beberapa kali sampai benar-benar sepi dan hanya tinggal aku sendiri.

Mungkin orang-orang lebih memilih meringkuk didalam rumah karena hujan yang cukup deras dan hawa dingin yang membuat malas untuk keluar rumah hingga banyak sekali ruko-ruko yang berderet disepanjang jalan akhirnya ditutup oleh pemiliknya.

Saat aku sedang melihat keadaan sekitar, dari kejauhan aku melihat seorang anak laki-laki tengah berjalan santai dibawah guyuran hujan sambil menunduk dengan mengayun ayunkan kakinya, menerjang air yang mengalir cukup deras dijalanan, bajunya sudah basah kuyup, air hujan mengalir bebas di pakaiannya dan terjun menuju aspal jalanan.

Sepertinya dia sengaja membiarkan hujan mengguyur tubuhnya, setelahnya anak itu berhenti dan duduk dibahu jalan yang bersebrangan dengan tempatku berteduh. Dia tidak juga memilih untuk menepi, padahal didekatnya ada tempat yang bisa melindunginya dari derasnya hujan.

Aku menjadi sedikit terheran heran, tidak lama kemudian aku mendengar suara teriakan, aku menengok lagi kearahnya; anak itu berteriak cukup kencang sehingga membuat suaranya terdengar melengking menyatu dengan suara hujan dan petir.

Aku terus memerhatikannya dari kejauhan, aku sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi padanya, ingin mendekat tapi aku masih ragu. Anak laki-laki itu kemungkinan masih seumuranku, tubuhnya lumayan tinggi dan agak kurus dengan warna kulit lebih putih dariku.

Saat itulah aku pertama kali bertemu dengannya.

~ Tubuhnya terlihat mulai menggigil dengan wajah pucat karena kedinginan. Selama disana dia terus menunduk sambil menatap aspal jalanan dengan kedua tangan di lututnya dan jemari yang terus mengepal. Aku terus melihatnya dengan seksama, sepertinya dia juga sedang menangis; airmatanya sudah menyatu dengan hujan, bibirkan sedikit gemetar namun tidak seperti gemetarnya orang kedinginan ̶ seperti orang yang sedang menahan tangis. “Tolong hentikan suara ini, aku capek, please aku mohon, tolong berhentiiiiii.” dia berteriak lagi dengan suara yang cukup kencang yang membuat suaranya mengusir keheningan dijalanan ditambah suara guntur yang mengiringi teriakannya.

“Apakah aku harus mendekat dan mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi padanya?” “Tetapi apakah ini sopan?” Sungguh, rasa penasaranku semakin tinggi dan aku mulai khawatir dengan keadaan anak itu.”

Saat hujan mulai mereda, meski awan masih cukup gelap membuat suasana jalanan menjadi seperti menjelang malam. Angin masih cukup kencang, banyak dedaunan yang beterbangan disekitarku berayun terbawa angin, serta jalanan yang masih dipenuhi air yang mengalir menuju selokan.

Memori: Mereka yang tidak dipercayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang