Bau gosong dari arah dapur yang tercium hingga teras membuat Anik segera berlari masuk rumah. Ia baru saja ingat kalau sebelum membalas chat WA dia meninggalkan kompor yang menyala dengan rebusan telur di atasnya.
"Astaga, sampe lupa. Untung gak kebakar," gerutunya.
Buru-buru perempuan setengah baya yang masih terlihat cantik dan bertubuh sintal itu mematikan kompor, lalu memindahkan panci yang sudah berkerak itu ke wastafel di sebelahnya. Mengucurkan air agar mudah saat dicuci nanti.
Setelah memastikan kompor dalam keadaan mati, ia beranjak kembali ke teras masih dengan tangan menggenggam ponsel.
[Lama banget sih, balasnya.]
[ Masih angkat panci gosong gara-gara balas chatmu. Untung gak kebakaran] jawab Anik.
[Tenang kalau cuma panci. Entar aku belikan yang baru.]
[Beneran? Awas janji adalah hutang!] jawab Anik lengkap dengan emotikon lidah menjulur.
[Iya, emang berapa, sih harga panci?]
[Pancinya gak mahal, tapi kecewanya gak jadi makan telur itu, lho!] Kali ini dengan emotikon menangis berderet tiga.
"Pa, mau makan sekarang? Aku sudah siapin rawon kesukaanmu," Suara Andini yang tiba-tiba, mengejutkan lelaki yang sedang tiduran santai sambil memainkan ponselnya itu.
Ia segera meletakkan hp-nya, berusaha senetral mungkin agar keterkejutannya tak diketahui istri.
Namun, usahanya gagal. Andini telah terlebih dulu menangkap kegugupan suaminya, tapi ia berpura-pura tak tahu.
"I-iya, bentar lagi aku makan," jawab lelaki itu agak gugup.
***
Andini memanglah sosok perempuan sekaligus istri yang sangat baik. Tak pernah sekali pun ia tak menunjukkan kesabaran menghadapi sikap suaminya yang terkadang kasar.
Perempuan itu selalu memaklumi, apalagi dengan pekerjaan yang menyita banyak pikiran suaminya, pasti ia sangat lelah. Jadi dia menyediakan diri sebagai pelampiasan kekesalan dan kemarahan suaminya tanpa pernah membalas dengan kemarahan apalagi mengomel panjang kali lebar sampe panci melayang bersama tutupnya.
Ia selalu telaten melayani sang suami mulai dari melek mata hingga tertidur di malam harinya. Tak pernah terdengar capek atau keluhan dari mulut perempuan berusia 45 tahun itu.
Bagaimana pun juga ia sadar akan kekurangan dirinya. Perempuan yang sedang mengidap sakit diabetes itu sudah merasa bahagia jika melihat suaminya tepat waktu sampai di rumah.
Beberapa minggu terakhir, suaminya mulai tak teratur jam kerjanya. Ia selalu sibuk di kantor, hingga terkadang sulit dihubungi lewat ponsel sekali pun.
Andini selalu percaya pada lelaki yang telah menikahinya selama hampir tiga puluh tahun itu.
Dikarunia dua orang putra-putri membuat kebahagiaan Andini semakin lengkap.Hari ini badannya terasa sangat lemah. Dari pagi ia hanya banyak berbaring. Tubuhnya akan letih berlebih saat melakukan aktifitas. Matanya nanar memandang kosong ke atas langit-langit kamar yang berukuran 4 x 4 meter itu. Hatinya gelisah. Sejak pagi suaminya tak bisa ia telepon. Wa pun hanya centang satu.
''Kasihan, pasti dia sangat sibuk hari ini,'' gumamnya.
Sementara di kantor, Roni sedang menata berkas yang berserak di atas meja kerja. Lelaki itu nampak buru-buru. Matanya berkali-kali menuju ke benda kecil berbentuk bulat yang melingkari tangan kanannya.
Suara notifikasi WA terdengar. Tangan dan matanya beralih ke benda pipih yang juga tergeletak di atas meja kerja. Rupanya, Anik yang mengirim pesan ke ponsel Roni.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Bukan Perempuan
General FictionAndini seorang perempuan yang sangat sabar. di pernikahannya yang hampir 30 tahun ia harus menerima kenyataan yang menyakitkan. suaminya berselingkuh dengan wanita lain yang lebih cantik dari dia. Andini yang selama ini percaya pada suaminya, akhir...