Pagi ini aku terbangun, dengan bayang-bayang 1 kata terlintas dalam kegelapan, SEKOLAH! Mataku terbuka, aku turun dari ranjang dan berdiri begitu cepatnya. Setengah tujuh. Oh Tuhan, TIDAK! Novel sialan itu, tidak, novelnya memang seru, yang jadi masalah, kenapa alarm tidak berdering!? Aku harus cepat-cepat, sejarahku, baru kali ini aku bangun jam setengah tujuh di hari sekolah.
T-shirt hitam, cardigan oranye lembut, jeans, bedak, lip cream, rambut sudah disisir, barulah aku sudah terlihat pantas untuk pergi ke sekolah. Teman-temanku di sekolah selalu menyarankan agar aku pakai perona pipi, lipstik, dan eye shadow agar terlihat lebih menarik. Ya ampun, ini kan cuma sekolah. Kalau ini undangan pernikahan, baru aku berdandan dengan pantas.
Kuambil tas ungu-ku, tidak sempat sarapan, pamit pada Mom. Keluar rumah dan berangkat menggunakan motor. Hanya membutuhkan 30 menit perjalanan, dan tetap saja aku telat.
Sungguh menyebalkan, hari pertama masuk kelas 10, sudah terlambat datang. Aku masuk ke kelas Matematika yang kebetulan salah satu pelajaran yang kusukai. Untung gurunya belum ada. Murid-murid yang lain sudah duduk di tempatnya masing-masing. Karena ini kelas pertama dan hari pertama, masih banyak murid yang canggung terhadap yang lain, namun beberapa sudah terlihat akrab. Aku, murid pindahan dari Neptune City, sama sekali belum mengenal orang-orang yang ada di sekolah ini. Yah, kecuali sepupuku, Mell, kakak kelas senior.
Kulihat ada 1 bangku kosong yang tersisa. Saat aku hendak meraih bangku itu, seorang cowok tiba-tiba menerobos dan duduk di sana. Dia nyengir meledek padaku.
“Hey kau, aku duluan yang melihat bangku ini.” ujarku sambil membelalakkan mata.
“Yah, kalau begitu, sekarang bangku ini bukan untuk ditempati olehmu lagi. Lihat, aku kan duduk di sini.” Dia nyengir.
“Kau ini tak punya rasa menghargai, huh? Berarti, ambilkan bangku untukku!”
“Enak saja. Aku berani bertaruh, kau anak baru kan di sini? Aku orang lama, hormatilah aku.” masih tetap nyengir.
“Well, sungguh, sekarang aku berharap bisa bertemu dengan orang yang lebih sialan daripada kau.” Aku menendang kencang bangkunya dan melenggang pergi keluar kelas untuk mencari bangku. Cengirannya makin lebar.
Cowok memang sialan.
Sekembalinya aku ke kelas, gurunya sudah datang. Aku mencari tempat yang pas untuk duduk, tapi, tempat yang cukup lega untuk ditempati hanya di depan bangku cowok menyebalkan itu. Ya sudahlah, kalau dia macam-macam, akan kupukul wajahnya dengan buku sejarah dari sekolah, yang tebalnya 1700 halaman.
Mr.Rob, itu nama guru matematikanya. Guru yang asik, santai tapi jelas mengajarnya. Tidak seperti saat aku kelas 8 SMP, gurunya bagaikan horror dalam sekolah. Aku berkonsentrasi pada pelajaran matematika, berniat berperilaku bagaikan gadis kecil yang baik. Tapi, cowok di belakangku menendang-nendang dan mendorong bangku ku dengan kakinya. Aku menengok ke belakang, dia mengembangkan cengiran mautnya lagi. Akhirnya aku berbalik dan berbisik, “Ulurkan tanganmu.” Dia mengulurkan tangannya dan aku mencubitnya, keras, hingga ia memekik tertahan.
“Puas mengerjaiku?” tanyaku galak.
“Ha, justru sebaliknya, kita bisa menjadi teman yang sangat amat dekat!” dan dia tertawa. Ya Tuhan, cowok apa-apaan dia?
Istirahat, aku pergi ke kantin. Kantinnya sangat nyaman, seperti food court di mall. Meja-meja yang terbuat dari kaca dan bangku berwarna-warni. Sekolah ini memang punya dunianya sendiri, dan aku suka itu. Aku melihat sekeliling, di seberang sana, ada Melly dan teman-teman kelompoknya. Dia duduk di sebelah cowok yang kutafsirkan adalah pacarnya. Mell melambai ke arahku, aku membalas lambaiannya. Aku mengantri untuk mengambil makanan. Masih memperhatikan sekeliling, mencari meja mana yang ingin ku tempati. Entah mengapa, mataku tertuju pada seorang cewek, sepertinya satu angkatan denganku, putih oriental, berambut merah kecokelatan, panjang dan lurus seperti Barbie.