Prolog: Dear Mom

22.5K 1.3K 21
                                    

Edinburgh, June 1st

Dear mama,

Ayla ada di depan University of Edinburgh. Tempat ini masih sama seperti yang ada di foto peninggalan mama.Tidak banyak yang berubah, hanya mahasiswa-mahasiswa yang sekarang memenuhi taman di sekelilingnya. Gedung tua itu masih sama kokohnya dengan yang aku lihat di foto.

Namun, tidak ada mama dan papa berdiri di tangganya.

Berdiri di tangga ini sambil melihat foto mama dan papa membuatku merasa mama ada di sini.

Kalau mama ada di sini, mungkin mama akan memarahiku karena masih menunda waktu sampai saat ini.

Seminggu sudah aku di Inggris. Bukannya langsung menghampiri papa, seperti tujuanku yang seharunya, aku malah pergi ke tempat lain. Aku belum menginjakkan kaki di London sampai detik ini. Entahlah, Ma. Rasanya belum siap.

Aku membayangkan hal terburuk. Papa akan mengusirku atau tidak sudi bertemuku. Atau pemikiran terburukku, papa tidak mengakuiku.

Sejujurnya aku bisa mengerti. Dua puluh dua tahun aku tidak pernah mengenal papa, hingga akhirnya diari peninggalan mama membuatku mengenal sosoknya. Papa tidak mengenalku, jadi wajar kalau dia tidak percaya kepadaku.

Lagipula, aku tidak punya keberanian untuk datang ke hadapannya dan memberitahu aku anak dari pacarnya semasa kuliah yang tidak pernah ditemuinya selama 22 tahun ini.

Rasanya sungguh tidak masuk akal.

Berada di sini pun sungguh tidak masuk akal. Ini seperti mimpi buruk. Kehilangan mama adalah mimpi buruk. Aku masih membutuhkan mama. Aku tidak sanggup ditinggal sendirian di dunia ini, Ma.

Apa yang harus kulakukan?

Aku tahu, hanya papa satu-satunya orang yang kumiliki. Namun, dia tidak pernah tahu akan keberadaanku.

Ini sangat sulit, Ma.

Mama mungkin masih ingat ketika kita terpisah sewaktu jalan-jalan ke kebun binatang di ulangtahunku yang kelima. Aku menangis sampai akhirnya putus asa. Namun aku tahu, di balik rasa putus asa itu, aku yakin mama pasti akan menemukanku.

Mama pernah berjanji, di mana pun mama berada, mama akan selalu menemukanku.

Sekarang, aku merasa tersesat, Ma. Aku ingin mama menemukanku. Tapi, bagaimana bisa? Karena kita tidak lagi berada di dunia yang sama.

Mama telah pergi. Aku masih belum bisa menerimanya, meski sudah tiga bulan berlalu. Aku masih berharap mama ada di sini, menemaniku. Tentunya aku tidak akan memulai perjalanan ini. Untuk apa? Aku memiliki mama, bagiku itu sudah cukup. Aku tidak membutuhkan papa yang tidak pernah hadir di hidupku.

Namun, aku hanya bisa berharap, kan, Ma?

Mama pernah bilang. "Tidak semua yang kamu harapkan bisa terwujud, Ayla. Kadang, apa yang kamu harapkan tidak selamanya baik untukmu. Bisa saja apa yang kamu dapatkan itulah yang terbaik, meskipun kamu tidak menyukainya."

Aku tidak menyukai situasi ini. Sendirian dan terlunta-lunta sambil berharap sesosok ayah yang belum pernah kutemui seumur hidup mau menerimaku.

Aku tidak mengharapkan hal ini.

Mungkin mama benar. Mungkin kenyataan ini memang yang terbaik untukku.

Aku percaya kepada mama.

Tapi, maaf, Ma. Beri aku waktu beberapa hari lagi. Aku akan menemui papa jika aku siap.

Tapi, tidak hari ini.

Salam sayang,

Ayla

**

Aku menutup buku diari itu dan menghapus air mata yang mulai menggenang dengan lengan baju. Aku menengadah, menatap bangunan tua yang sangat klasik di depanku. Jendela yang tinggi, bata cokelat dengan pilar-pilar tinggi tampak kontras dengan manusia yang berlalu lalang di depannya.

Di suatu masa puluhan tahun yang lalu, mama pernah berdiri di tempat yang sama denganku sekarang. Namun dia tidak sendiri.

Ada papa bersamanya.

Sayang, papa hanya sekadar panggilan karena aku tidak mengenalnya. Aku baru mengetahui siapa dia sejak enam bulan lalu, ketika kondisi mama semakin parah dan dia mulai putus asa melawan sel kanker yang menggerogoti tubuhnya. Mama memutuskan untuk membuka lembar pahit di hidupnya. Dia memberikanku diari berisi kisahnya semasa kuliah. Hanya ada satu nama yang memenuhi diari itu.

Richard John Wright.

Pria yang membuatnya jatuh cinta.

Mereka saling mencintai, terlepas dari perbedaan usia, budaya, dan status yang membentang jelas di antara mereka. Mama hanya mahasiswa perantauan yang berusaha mendapatkan ilmu demi kehidupan yang lebih baik di kampung halaman. Papa dari keluarga terhormat sekaligus dosen yang dikaguminya.

Namun, cinta telah menyapa mereka.

Hingga akhirnya aku hadir di antara mereka.

Namun, perbedaan di antara mereka begitu besar. Mama mengalah. Dia membawaku pulang, tanpa memberitahu papa soal keberadaanku.

Selama dua puluh dua tahun aku mempertanyakan siapa ayahku. Aku punya banyak bayangan soal beliau. Mungkin dia salah satu bangsawan di Inggris. Mungkin dia seorang bajingan yang meniduri mahasiswanya demi kenikmatan sesaat. Mungkin dia seorang suami dari perempuan lain yang bermain api demi mama. Mungkin dia seorang politikus yang punya image bersih sehingga tidak mungkin mengakui keberadaan seorang anak di luar nikah.

Semakin dewasa, pemikiran itu semakin liar. Namun, aku tidak pernah mendapat jawabannya.

Hingga enam bulan lalu, ketika mama terbata-bata menceritakan soal papa di balik rasa sakit yang menguasainya.

"Temui dia. Mama menyesal tidak pernah memberitahunya soal kamu, sehingga sekarang kamu harus sendiri ketika mama pergi nanti."

Itu pesan terakhir mama.

Aku bisa saja mengabaikannya. Namun, aku tidak bisa.

Jauh di lubuk hatiku, aku ingin bertemu dengannya. Ada harapan di hatiku bahwa dia akan menerimaku dan membimbingku, karena sekarang aku merasa kehilangan arah setelah aku kehilangan mama.

Namun, ketika kakiku mendarat di London, aku merasa gamang. Sejenak, aku menyangsikan keputusan ini.

Alih-alih menemuinya, aku malah menuju Edinburgh dengan alasan ingin mengetahui tempat mama dan papa saling jatuh cinta.

Aku menghela napas.

Waktuku tidak banyak. Aku tidak bisa berlama-lama di sini dan terpaksa pulang sebelum tujuanku terpenuhi.

Aku menengadah, menatap langit Edinburgh yang kelabu. Mama, tolong Ayla.

Three Little WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang