Semesta terdiri dari hitam dan putih. Dan manusia berada di daerah abu-abu. Mereka samar dan mudah ragu. Satu saja gerakan semu, bisa mengubah apa yang selama ini mereka tempuh. Berbeda jalan, lalu berbalik arah, maka salah langkah akan membuat mereka sangat rapuh.
Dunia diciptakan menurut aturan. Maka ada pula yang namanya pelanggaran. Bukan hanya pelanggaran kecil dari satu wilayah negeri. Tapi juga pelanggaran atas apa yang ditetapkan Semesta untuk dunia, termasuk bumi.
Pelanggaran itu mereka sebut dengan dosa. Dosa ada pada setiap gerakan manusia. Mereka bergumul, menjerat, menempel pada tiap bayangan gelap dari sudut hati mereka yang tak pernah disadari.
Perlahan mereka menguasai apa yang selama ini mereka percayai. Melenyapkan apa yang selama ini manusia pedomani. Menggelapkan setiap cahaya dalam hati.
Semua itu dikokohkan dengan tujuh dosa pokok yang membuat manusia semakin jauh dari apa yang mereka pegang selama ini. Tujuh dosa yang mendasari dosa lainnya. Tujuh dosa yang disebut-sebut sangat mematikan.
Salah satunya adalah rasa malas atau yang disebut dengan Sloth. Manusia menganggap remeh karena terbilang sangat biasa terjadi. Namun karena malas dianggap hal kecil, maka dosa tersebut semakin mudah untuk menyelip di antara ribuan kebaikan yang dilakukan manusia. Perlahan semakin besar dan akhirnya menumpuk. Menimbulkan rasa meremehkan, putus asa, hingga kegagalan.
Kehancuran yang terburuk saat rasa gagal bercampur dengan putus asa. Maka akan menciptakan kejadian mengerikan hingga menghilangkan nyawa.
Kemalasan dianggap hanya serpihan kecil dari beribu dosa. Rasa malas seringkali dianggap hanya percikan kecil dari besarnya api. Maka perlahan akan terus mengalir, mendasari dan menciptakan dosa-dosa mematikan lainnya.
Perlahan dosa besar dianggap biasa, maka dosa kecil dianggap tidak ada. Akhirnya manusia tenggelam dalam lautan darah. Saling nasehat, namun tak saling dengar. Saling merasa benar, namun tak pernah saling mengerti dan sadar.
Tangan saling meronta. Memutus genggaman dalam ketidakberdayaan. Putih tercemar hingga menjadi abu-abu, hingga akhirnya ternoda dan luntur menjadi hitam. Hati saling menduga, pikiran saling curiga. Tak pernah merasa baik dalam prasangka, yang akhirnya hanya mendatangkan pertingkaian dan buruknya bencana.
Maka iblis tertawa. Bahagia atas betapa bodohnya manusia. Meremehkan atas begitu lemahnya keyakinan yang selama ini erat genggamannya.
Tiada habis masanya, hingga semesta bertempur dengan dunia, menghancurkan kepingan kecil kehidupan di bumi yang dijamah manusia.
Karena semuanya saling timbal balik. Semuanya selalu memiliki kebalikan. Segala hal memiliki penyeimbang. Hitam dengan putih, kebaikan dan kejahatan, hingga damai beserta kehancuran.
[☄]
"Breaking news! Senin, xx November 2xxx, tiga puluh dua orang siswa yang menempati satu kelas di SD XXX diberitakan tewas. Tiga puluh diantaranya tewas secara misterius. Dan dua orang lainnya diduga dibunuh oleh seorang siswa yang menempati kelas yang sama. Hingga kini penyelidikan masih terus berlanjut ..."
Beberapa orang berpakaian seragam abu-abu tampak sibuk mondar-mandir. Beberapa memegang kamera, ada yang memegang buku catatan dan pena, dan lain sebagainya. Tak lupa dengan beberapa orang berseragam putih yang tak kalah sibuk mengangkuti berpuluh-puluh tubuh yang telah kaku. Namun dua diantaranya terlihat sangat mengenaskan dengan leher yang koyak dan lubang di perut yang menganga lebar. Mulut mereka dijahit mengenakan tali sepatu yang ikut ternodai oleh warna merah pekat. Mereka yang melihatnya beraut wajah takut, iba, atau pucat.
Seorang gadis tampak menatap datar hal itu. Di kanan dan kirinya terlihat dua orang pria berwajah sangar yang juga mengenakan seragam abu-abu. Tampak lambang dan pangkat di bajunya. Kentara sekali kalau mereka adalah polisi.
Gadis kecil itu digiring menuju lapangan parkir dengan kedua tangan dirantai menggunakan borgol. Tak ada satu pun emosi yang terlihat di matanya. Apapun yang akan dilakukan mereka padanya, gadis itu akan tetap santai. Ia akan menikmati setiap proses kejadian yang menimpanya. Karena ia sama sekali tak peduli.
Setelah dimasukkan ke dalam mobil polisi, mobil melaju dengan kecepatan sedang. Ah, ia duga ia akan segera sampai di kantor polisi. Sedari dulu ia penasaran bagaimana bentuk dari bangunan itu.
Setibanya ditujuan, ia digiring menuju ruang interogasi setelah melewati lautan wartawan dan reporter yang sedang bertugas. Untung saja ia sempat mengenakan masker. Matanya juga tertutupi poni panjang yang sebenarnya menutupi hampir seluruh wajahnya. Walau bagaimanapun juga, ia masih berumur sepuluh tahun, ia tak ingin wajahnya terekspos dimana-mana diumur sekecil itu.
Mau bagian luar atau dalam kantor polisi, semuanya berwarna hitam dan putih. Warna kesukaan si gadis. Namun saat ia masuk ke ruang interogasi, semuanya berwarna hitam. Gelap, sunyi, lembab. Mengingatkannya pada sebuah tempat di rumahnya. Hanya ada sebuah meja dan dua buah kursi yang saling berhadapan. Ia dipersilakan duduk di salah satu sisi dengan tangan yang masih diborgol dan diletakkan di atas meja. Seorang pria duduk di hadapannya dengan wajah datar penuh penilaian yang terlontar ke arah wajah gadis itu.
"Jadi, Saudari Alexi Noella. Benar anda yang membunuh korban bernama Meltyas Johan dan Elizabeth Taylor?" Suara berat mulai mengisi ruangan, membuat gema yang berbayang-bayang saking sunyinya ruang kecil itu.
"Iya." Hanya satu suara mungil nan menggemaskan yang dikeluarkan si gadis.
"Mereka temanmu, bukan?"
"Bukan."
"Baiklah. Apa motifmu melakukannya? Ada alasan?"
"Bosan."
"Apa?"
"Karena bosan." Pria itu menampilkan raut terkejutnya. Ia tak menyangka gadis lucu didepannya membunuh dua manusia karena alasan bosan. Ya, menurutnya setiap anak kecil adalah makhluk yang lucu walau bagaimanapun bentuknya. Gadis itu sendiri berpenampilan seram sebenarnya. Dengan mata yang tertutup poni, kulit pucat, rambut yang sedikit berantakan dan tampak sekali tak terurus.
"Ada alasan lain? Yang lebih spesifik misalnya."
"Tak ada." Lagi-lagi jawaban singkat yang diutarakan gadis itu. Si pria menelan ludah melihat betapa datarnya wajah gadis kecil itu. Tak ada satu emosi pun yang dikeluarkannya. Bak boneka berbicara.
"Baiklah."
Setelah beberapa pertanyaan dan jawaban yang saling terlontar, gadis itu dikawal keluar dari ruang interogasi, menempati jeruji besi yang tak kalah pengap dari ruang tadi.
Setelah beberapa sidang terlewati, beberapa tangisan keluarga korban yang minta si gadis diadili, beberapa waktu juga si gadis tetap tak menyesal atau merasakan emosi.
Bukan dipenjara, tapi hakim memutuskan agar gadis itu direhabilitasi. Empat tahun lamanya. Sempat ada kekacauan, karena keluarga korban tak terima. Mereka menganggap hukuman itu masih terlalu ringan. Namun hakim berdalih jika umur gadis itu masih dibawah umur.
Si gadis tak peduli. Mau disiksa pun ia rela sebenarnya. Tapi ia rasa empat tahun bersenang-senang sudah cukup untuknya.
Keluarga korban mengiriminya tatapan tajam penuh dendam, sedangkan ia sendiri membalas dengan senyuman miring penuh kemenangan yang membuat emosi mereka tak kunjung padam.
Pikiran manusia berbeda-beda. Tak dibatasi umur, akal mereka tetap berjalan. Suatu emosi menggiring mereka untuk melakukan suatu hal. Entah menuju ke perbuatan pada sisi terang, atau sambil mengotori tangan mereka dengan darah kotor penuh dengan kegelapan.
[☄]
KAMU SEDANG MEMBACA
[SDS] Sloth : Behind Of Powerless
FantasySloth • trans • kemalasan ke·ma·las·an 1 n perihal malas; sifat (keadaan) malas: jika datang -nya, ia tidak bergerak dari tempat tidurnya; 2 terlalu malas; malas yang berlebihan [☄] Dunia semakin berevolusi. Dari teknologi, hingga berkembang menjadi...