BAB 2

12.3K 593 6
                                    

"APA kamu mencemaskan bayi kita?"

Pertanyaan Terra membuat Afiya menoleh ke arahnya. Afiya lalu menatap kaca jendela mobil di sebelahnya. Menatap ke arah keramaian Jakarta yang masih macet meskipun sudah pukul sepuluh pagi. "Aku cuma berpikir tentang Gabriell." 

"Aku harap kamu tidak perpikir kalau aku berselingkuh dengan dia," kata Terra menahan senyumannya.

Afiya tersenyum dan mencubit lengan kekar suaminya. "Aku? Cemburu? In your dreams, Mister. Aku khawatir dengan Gabriell. You know what? Dia sangat mungil dan rapuh tapi terlihat membawa banyak beban. Enggak sesuai dengan tubuhnya yang kecil."

Terra menarik napas dalam-dalam. Istrinya sangatlah cerdas dan sekuat apapun Terra menutupinya, Afiya pasti bisa melihat kejanggalan dari semua ini. "Kamu ingin tahu sesuatu?"

"Tentang Gabriell?"

"Kamu sangat tertarik dengan dia," kata Terra membaca raut wajah Afiya.

"Aku khawatir."

Terra tersenyum dan sesekali menatap istrinya. "Kamu tahu kenapa dia bertubuh kecil, sayang?"

"Apa ada alasan dari itu semua?" Afiya balik bertanya kepadanya.

"Istriku, mungkin Tuhan menciptakan Gabriell dengan tubuh mungil karena dia harus bersembunyi."

Afiya sangat membenci situasi seperti ini.  Di beberapa situasi, Terra sangat mirip dengan neneknya. Memberi jawaban dalam sebuah teka-teki. "Bersembunyi untuk apa?"

"Bersembunyi dari orang yang sangat ia cintai. Dia sangat takut dengan kenyataan itu."

"Kamu sangat mengenal Gabriell ya?" taya Afiya.

"Aku mengenal dia sebagai Ussyleine jauh lebih baik daripada aku mengenal dia sebagai Gabriell."

"Terra, lebih baik kamu bicara semuanya dari awal. Jangan membuat aku pusing," gerutu Afiya. Dari tadi ia tidak menemukan jawaban apapun dari suaminya. Ia merasa terra hanya memutar-mutar pembicaraan mereka.

"Kamu akan tahu, sayang. Aku yakin. Kamu sangat cerdas dan aku lebih suka melihat kamu tahu dengan sendirinya," kata terra mengecup pelipis Afiya saat mobil mereka berhenti di traffic light.

"Hp kamu mana? Biar aku baca data yang mau di kirim ke kak Giga," kata Afiya sembari menyorongkan tangannya.

Terra merogoh kantong jasnya dan mengerutkan dahi. Ponselnya tidak ada di saku manapun. "Kayaknya aku meninggalkannya di kantor."

"Terra, putar balik. Pasti Kak Giga nungguin."

"Sudah jauh, sayang. Kak Giga pasti bisa menunggu."
***

Empat tahun yang lalu..

Giga tidak pernah merasa sebahagia ini  ketika bicara dengan seseorang. Apalagi seorang gadis berusia dua puluh tahun yang baru saja ia temui di sebuah kafe.

"Kak, apa kakak baru saja memenangkan sebuah tender?" tanya Terra sambil memasuki ruang kerjanya saat ia baru saja duduk di sana.

"Tender masih beberapa bulan lagi, Terra," jawab Giga berusaha menyembunyikan perasaan bahagianya.

"Tapi aku melihat wajah kakak memerah. Berarti bukan tender." Terra tahu kakaknya ini sangat tenang dan pandai menyembunyikan perasaannya. Jika Giga sudah seperti ini, berarti ada ledakan besar dalam diri kakaknya.

"Terra lebih baik kamu katakan apa tujuan kamu ke kantor aku. Setelah itu kamu lanjutkan pekerjaan kamu di kantor papa," kata Giga tegas membuat Terra makin mengembangkan senyumannya.

Ia tidak pernah bisa menggoda kakaknya seperti ini. Maka dari itu, ia tak akan melewatkan kesempatan ini.

"Tadi aku ke kafe di daerah Kemang. Lalu aku melihat kakak bersama seorang wanita."  Terra tersenyum lebar. Giga diam sambil fokus ke arah laptopnya.

"Aku tahu seperti apa Kak Giga. Jadi, setelah Kakak pergi, aku meminta nomor teleponnya." Lanjut Terra sambil mengeluarkan sebuah kertas dari kantong jasnya. "Siapa tahu kakak akan bicara lagi dengannya."

Namun senyum Terra makin mengembang ketika sebelum ia menutup pintu ruangan kakaknya, ia melihat kertas itu sudah berada di genggaman tangan Giga.
***

Meskipun tidak ingin mengungkapkannya, namun Giga sangat senang karena Terra memberikan nomor gadis mungil itu.

Ragu, ia menekan dua belas angka sesuai dengan yang di tuliskan di atas kertas itu. Sesaat ia berpikir, untuk apa ia melakukan ini semua?

Giga akan mematikan sambungan telepon sebelum panggilan itu di terima dari ujung sana. "Hallo?"

Perlahan senyum Giga mengembang. Terra tidak mempermainkannya. Ia benar-benar memberikan nomor gadis itu.

"Ini Giga, ya? Tadi anak buah kamu minta nomor telepon saya," lanjut suara itu. "ada perlu apa?"

"Saya—" cepat, Giga. Berpikir.. ucapnya dalam hati.

"Statistika Ekonomi. Apa kamu kesulitan dengan mata kuliah itu?"

Terjadi hening. Di seberang sana wanita itu terdiam.

Bodoh. Mengapa ia seolah meremehkan kemampuan wanita mungil itu? Mungkin sebentar lagi wanita itu akan marah, mengatainya sok tahu karena mungkin saja wanita itu sangat pintar lalu memutuskan sambungan telepon dan semuanya berakhir semudah itu.

"Ya. Aku cukup kesulitan sebenarnya.."

Astaga.. jantung Giga berdegup cepat. "Saya bisa membantu kamu."

"Oh ya?" tanya suara itu dengan antusias. "Kamu tidak punya pekerjaan, ya? Membantu aku tidak akan membuat kamu mendapatkan uang."

Giga tersenyum. Baru gadis ini yang menganggapnya tidak memiliki pekerjaan. Ia memiliki banyak pekerjaan untuk membangun perusahaan yang sudah ia rintis enam tahun belakangan ini namun bertemu lagi dengan gadis ini adalah keinginan terbesarnya.

"Aku tidak perlu di bayar dan ya aku tidak punya kerjaan," jawab Giga.

"Really? Ternyata masih ada orang baik di dunia ini. Ok. Besok, di tempat dan jam yang sama waktu kita ketemu tadi?"

Sekali lagi senyuman Giga mengembang. Bersyukur karena ia menanyakan tentang Statistika Ekonomi yang ternyata di sambut baik. Ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan gadis ini. Sekali lagi.

*Bersambung*

Begin HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang