15.05.18
"Boleh aku duduk di sebelah kamu?" Bennedict mengangkat kepalanya. Mendapati dirinya seakan dipertemukan kembali dengan bintangnya. Secepat kilat Bennedict meraih tubuh perempuan itu, masuk ke dalam dekapannya.
"Zora..," Bennedict mengelus puncak kepala rambut perempuan itu. "..makasih sudah kembali.." ada nada rindu yang menyakitkan terdengar.
Perempuan itu membalas pelukan Bennedict. Berusaha mengerti apa yang laki-laki itu rasakan. Mulutnya tak berhenti mengucapkan kata penenang. Tanpa seizinnya, air mata mengalir begitu saja.
Bennedict melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menangkup pipi perempuan itu, "Jangan pergi lagi.." Bennedict menghapus jejak air mata dari wajah perempuan itu. "Aku mohon."
Perempuan itu terenyuh mendapati tatapan dalam dari lelaki yang tidak ia kenali. "Boleh aku tahu nama kamu?"
Bennedict kaget. "Zor, kamu gak inget aku..?" Perempuan itu menggeleng ragu. "Bennedict."
Perempuan itu mengangguk perlahan, masih dengan wajah lugunya. "Bisa ceritain pengalaman kamu sama Zora?"
Bennedict mengangguk cepat. "Biar aku ceritakan.."
**
15.05.08
"Halo!" seseorang muncul dengan tiba-tiba di hadapan Bennedict. "Ih, kok, aku didiemin?" perempuan itu mengambil posisi duduk di sebelah Bennedict sambil memamerkan senyum simpulnya yang indah.
Bennedict diam bergeming. Baru kali ini, dia mendapati perempuan seperti itu.
"Lu siapa?" Bennedict gusar. "Murahan banget."
Hening. Bennedict tiba-tiba merasa bersalah ketika ia menyadari kalimat terakhir yang ia ucapkan. Rasanya ia ingin pindah bangku saat ini juga, tapi tidak bisa. Perempuan itu seperti medan magnet, yang bisa membuat Bennedict tertarik ke medan kuasanya.
Perempuan itu mengulurkan tangan kanannya, "Zora!" katanya sembari menyuguhkan senyum manis dalam wajahnya yang mungil.
Sesaat Bennedict seakan tersihir oleh visual nyata perempuan itu. Perempuan itu seakan menghentikan waktunya. Lalu ia tersadar, ia telah masuk dalam perangkap. Bennedict menggelengkan kepalanya cepat sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ih, bales donk! Kamu kira aku patung?" perempuan itu menarik paksa tangan kanan Bennedict, membuat mereka bersalaman. "Nama kamu?"
Bennedict kaget setengah hidup menyaksikan hidupnya yang dipertemukan dengan orang aneh nan absurd.
"Kamu belum sikat gigi, ya?" celetuk Zora yang langsung mendapat tatapan tajam dari Bennedict. Lelaki itu tertawa getir setelah mendapat pertanyaan se-random itu. "Kata abangku, kalau orang gak sikat gigi, dia jarang ngomong. Karena napasnya bau, atau takut ada bekas makanan yang nyangkut di giginya." Zora menjelaskan dengan antusias.
"Enyah lu!" dengan kasar Bennedict melepas jabatan tangan mereka dan meninggalkan Zora sendirian di taman kota.
16.05.08
Sore itu, hujan kembali menyerang bumi bagian barat, membuat sebagian besar penghuninya kesal. Termasuk Bennedict yang sedang bersembunyi di halte yang tak jauh dari taman kota.
Entah sudah kesekian kalinya, Bennedict merutuki hujan yang kian menderas. Dosanya bertambah banyak! Dan entah ini hari sialnya atau bukan, seseorang menarik tangannya dengan lembut. Bukannya marah, Bennedict mengikuti gerakan orang itu.
"Ketemu lagi, hehe.." tawa renyah keluar dari mulut orang yang menariknya.
"Lu –?" benar, perempuan yang kemarin. Bennedict tertawa gusar, senyumnya tidak pernah tersedia untuk perempuan itu. Ya, setidaknya untuk dua hari ini. "Lu bisa waras dikit, ga?"
YOU ARE READING
[2] Friedreich
Short StoryTentang perempuan yang memiliki banyak ambisi dan laki-laki yang memiliki banyak waktu. "kalau kamu rapuh, coba keluar di malam hari, cari aku, ya..!" Sekuel dari SembilanBelas. Cerita ini akan dilombakan.