Kamu

73 11 0
                                    

Malam itu, malam dimana aku bertemu dengan mu. Dengan sinar bulan yang menerangi, suhu udara yang menemani, dan kelopak Bunga Sakura yang tiap detik nya jatuh ke Bumi. Malam itu, malam dimana pertama kali nya aku melihat mu.

Senyum manis mu melebar begitu kita tak sengaja berpapasan di atas trotoar, kedua netra ku ini tak bisa lepas memandangi wajah mu yang ditimpa sinar bulan, kamu ikut menatap ku dalam. Otak ku seakan berhenti, lalu bekerja dengan sendiri nya—mengingat memori ini.

Aku mulai gelagapan saat kamu berdeham sembari menampilkan senyuman kikuk, sedikit salah tingkah aku ikut tersenyum, menggaruk tengkuk dan mengalihkan pandangan. Rasanya benar-benar lucu, aku tak pernah membayangkan semua ini terjadi. Baru kali ini.

"Mianhaeyo." Kamu menunduk dengan sopan, saat itu aku kembali tersadar, kamu lebih baik dari siapapun, lebih baik dari orang-orang yang ku kenal, lebih baik dari orang-orang asing yang kutemui tempo hari.

"Ani, gwaenchanayo." Aku ikut menundukkan kepala ku, kemudian melemparkan senyum sebisa nya ke arahmu. Tidak di sangka dan tidak di duga, kamu mengajak ku untuk berkenalan, berteman— apa kamu juga tidak mengajak ku berpacaran? Uh, aku terlalu lancang.

"Ne, Aku bersedia menjadi teman mu." Hanya kata itu yang bisa ku berikan sebagai balasan, pikiran ku terlalu sulit untuk merangkai kalimat yang lebih panjang, sementara benak ku berharap kamu mau mencari topik pembicaraan yang baru.

"Ah syukur lah kalau begitu, aku sudah lelah memutari taman untuk sekedar mencari teman untuk mengobrol."

Otomatis aku mengernyit. Ucapan mu barusan memiliki sebuah arti lain, jika otak ku sedang tidak rusak, artinya kamu sudah bersyukur telah menemukan ku, sudah menemukan titik lelah mu, dan juga sudah menunjukkan bahwa kamu seorang kesepian yang membutuhkan teman untuk sekedar berbagi cerita.

Aku mengeratkan pegangan ku pada sweater hangat yang di berikan oleh ibu ku, aku merasa ukuran kuantitatif terhadap temperatur mulai mendingin. Tubuhku merasakan getaran, malam ini aku melupakan sesuatu. Aku belum minum obat ku sama sekali.

"Punya waktu sebentar? Aku tidak tahu harus bagaimana, hari ini aku kabur dari rumah. Dan belum berani untuk kembali," Tutur mu lagi. Suara lembut mu memasuki telinga secara perlahan seakan menghipnotis ku untuk menuruti permintaan mu.

Ku anggukan kepala. Langkah kaki mu menjadi kompas yang harus ku ikuti, tarikan tangan mu menjadi sesuatu yang seakan harus ku turuti. Semudah itu aku bisa luluh pada mu yang entah siapa nama mu, aku tak tahu, yang entah dimana rumah mu, aku tak tahu.

Malam itu kamu bercerita banyak hal, awal nya kamu meminta waktu sebentar, namun aku terlalu nyaman sampai tak bisa mengukur dengan benar, mendefinisikan dengan benar sebuah kata sebentar. Waktu sebentar ku untuk mu bahkan terhitung selama empat jam.

Empat jam bukan berarti sebentar jika sesuatu yang terjadi pada kita bukan lah hal yang menyenangkan. Aku sudah pernah merasakan nya, empat jam bersama sepupu ku yang menyebalkan serasa empat hari. Itu sangat berbanding terbalik saat aku bersama mu.

Sekarang ini aku harus rela kamu pulang ke rumah, karena ini sudah larut malam. Kamu juga terlihat tak tega melihat ku yang menggigil kedinginan —padahal aku sudah menyembunyikan hal tersebut— tapi kamu terlali pintar, aku terlalu bodoh karena tak sadar wajah serta bibir ku yang pucat.

Kedua pasang kaki beehenti tepat di depan rumah ku. Kamu mengantarku sampai ke depan rumah, bahkan kita sempat bertukar nomor telepon. Hei! Kenapa sikap mu sungguh manis, aku tidak bisa menahan ledakan aneh dalam diriku.

"Yeoja chingu hanthe jeonhwahan hue jal kkeoyeyo." ( Setelah menelepon pacar, saya akan tidur. )

Mata ku sedikit melebar setelah kamu berhasil menyelesaikan kalimat itu. Aku tidak menyangka, pria dihadapan ku ini sudah memiliki pacar. Aku bisa mendengar patahan dalam hatiku, payah.

"Ah ne, telepon pacar mu jika sudah sampai dirumah. Kalau kamu menelepon pacar mu sekarang, kau bisa tidur di jalan haha." Aku tertawa, menertawai lelucon ku yang bahkan aku tidak tahu itu masuk selera humor mu atau tidak.

"Ahaha. Ne, meonjeo galkkeyo." ( Ya, saya pergi dulu. )

Seulas senyum setelah tawa itu selalu ku sukai mulai malam ini. Kamu tertawa, tersenyum, lalu pergi. Tak apa kalau esok kita akan berjumpa lagi.

Aku melangkahkan kaki ku memasuki rumah, mata ku yang terasa berat memaksa ku untuk segera jatuh ke dalam alam mimpi. Aku bersyukur orang dirumah sudah tertidur tanpa peduli akan suara deritan pintu karena perbuatan ku.

Baru saja aku selesai mengunci pintu, mencuci kaki dan muka ku, ponsel ku yang berada diatas meja bergetar. Dengan mata setengah terpejam, dan nyawa yang setengah sadar aku mengangkat telepon.

"Yeoboseyo?" ( Halo. ) Suara ku terdengar aneh ditelinga ku sendiri. Lagipula siapa yang menelepon malam-malam begini seperti tidak ada pekerjaan lain yang harus ia lakukan.

"Sillyejiman nuguseyo?" ( Maaf, saya berbicara dengan siapa? ) Tanya ku ulang, orang yang menelepon ku belum merespon sama sekali, hanya terdengar suara deru napas yang tersengal.

"Geurae, jal ja." ( Selamat tidur. )

Aku mengucek mata ku pelan begitu suara mu terdengar di speaker ponsel ku, aku tidak mungkin salah dengar. Ya! Itu benar-benar kamu.

Aku menggelengkan kepala ku, terlalu bingung dengan mu yang tiba-tiba menelepon ku, mengatakan selamat tidur tanpa sebuah kalimat sapa pembuka, terdengar seperti cerita yang tidak bermula, namun langsung bertemu akhirnya saja.

Ah! Sebentar, tadi kamu mengatakan 'setelah menelepon pacar, saya akan tidur.'
Apakah mungkin kamu menganggap ku sebagai pacar mu, tidak mungkin kan?

Malam ini aku akan tertidur nyenyak meskipun aku tidak meminum obat ku sama sekali. Minhyun, Gomawoyo.




Last Spring : with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang