"Sudah dibilang, kalau disuruh beli rokok ya berangkat cepat!", teriak seorang lelaki paruh baya yang berantakan. Seorang anak perempuan berdiri menundukan kepalanya sambil meremas tangannya, dia terlihat muram. "Pergi dasar anak sialan!", teriak lelaki itu sambil melemparkan gelas kaca ke kepala anak itu. Anehnya anak itu tidak menangis dan tetap statis dalam posisinya, mungkin hanya sedikit meringis pegal dan sakit di kepalanya yang mulai meneteskan darah. "Tidak ada uang pak, bu Mega sudah tidak mau dihutangi", jawab lirik anak itu. Pria tua itu terhenyak berdiri dan menarik rambut panjang gadis itu.
(space icon)
Hari ini aku mencari sampur kuningku yang menghilang tanpa jejak. Sampur kuning keberuntunganku. Mungkin sebagian dari kalian bingung apa itu sampur, yah aku paham karena kalian bukan orang seni tari. Sampur itu bahasa yang kami gunakan untuk menyebut selendang tari tradisional. Hari ini penyambutan mahasiswi baru di program studi tari, dan tidak beruntungnya aku ikut terpilih menjadi panitia di dalamnya. Lalu kenapa aku butuh sampurku? Akan ada pentas selamat datang di dalam rangkaian acara. Memang rasanya bukan aku sekali menjadi panitia seperti ini, aku bukan orang yang suka menyibukan diri dalam suatu acara. Seseorang pernah memanggilku introvert, tapi apa iya seseorang yang introvert masuk ke program tari yang memang akhirnya akan menjadi pusat perhatian karena mementaskan tari? Lucu kan? Tidak aku hanya orang biasa yang benar – benar biasa saja. tokoh utama yang membosankan, pikirku.
"Yi, masih lama ga? Aku udah selesai make up nih, tinggal pakai konstum pelengkap aja", ujar Ama. Dia adalah partnerku dalam segala hal sejak aku kuliah. "Ma, sampurku enggak ketemu, kamu tahu engga ini ada dimana?", tanyaku. Dia hanya diam dan aku berbalik menengoknya, ku lihat dia menggunakan sampurku. Ku pelototi dia dan dia perlahan melepaskan sampurku dan mengembalikannya. "Yuk ah, ke pendopo, GR dulu", ujar Tuti yang sedari tadi sudah selesai persiapan. Akhirnya kita pergi ke pendopo dan pentaspun dimulai.
Alunan gamelan yang mengiringi langkah dan gerakan, membuatku terlena. Aku hanyut dalam tari ini dan menjadi satu dengannya. Mungkin ini yang dinamakan melakukan sesuatu dengan setulus hati. Semua sesi dan tarian yang merupakan hasil latihan kami selama seminggu ini berjalan dengan lancar. Walaupun dipentaskan hanya 5 menit, namun kepuasan saat di akhir gong berbunyi dan tepuk tangan semua orang membuatku sangat puas dengan diriku, "good job, Rayi!", ujarku dalam hati.
Kalian mungkin sangat asing mendengar program tari. Program tari bukanlah jurusan yang banyak peminatnya. Bahkan sudah 3 tahun semua peminatnya hanya berasal dari kaum hawa. Mungkin itu juga salah satu alasanku masuk ke sini. Aku tidak terlalu baik dalam berurusan dengan laki – laki. Mereka semua adalah makhluk yang bar – bar dan seenaknya sendiri, tidak bisa lembut dan kasar. Tidak seperti perempuan yang lembut dan penuh perhatian, cantik, penyayang dan anggun. Tidak semua orang setuju dengan itu, toh memang berpendapat selalu subjektif kan?
"Yi, ganti langsung bantu sie acara ya! Rundownnya udah di sekertariat" teriak Aya, ketua panitia penyambutan mahasiswa baru. Aku bergegas memakai kaos polo putih seragam panitia, menghapus make up yang berjam – jam dibentuk, mengalungkan identitas panitia di leher. Kami berbaris untuk masuk ke panggung, semua panitia memperkenalkan diri, begitupula diriku. Kegiatan perkenalan klasik ini berjalan seperti pada umumnya. Namun ada sesuatu yang menarik perhatianku, tahun angkatan ini ada satu laki – laki dalam kerumunan audiences. Mungkin dalam beberapa semester dia akan pindah karena tidak diterima di program pilihannya. Aku tidak peduli. Tapi perasaanku berkata lain, aku memiliki firasat tidak enak dengannya. Aku tidak berfikir kalau itu cinta yang katanya berdebar dalam sekali pandang. Aku mengalihkan pandanganku darinya, jika aku biarkan mungkin aku akan kesulitan bernafas, sesak. Aku merasa sangat aneh dengan tubuhku sendiri.
(space icon)
"Kak, boleh minta tanda tangannya?", pinta beberapa junior yang menghampiriku. Setelah perkenalan tadi mereka diperintahkan untuk mencari tanda tangan seniornya sebanyak – banyaknya, entah memang tujuannya untuk mempererat perkenalan atau memang perpeloncoan saja, menurutku ini tidak terlalu merugikan. Aku balas senyum mereka dan membubuhkan tanda tanganku beserta namaku di buku tulis mereka. Mereka menjawab dengan senyum manis berterimakasih telah dipermudah, tidak seperti yang lain harus melakukan sesuatu terlebih dahulu. "Saya juga kak!", teriak suara laki – laki dari belakang kumpulan perempuan yang tersenyum tadi dan dia menepuk pundakku. Aku berteriak histeris, sangat keterlaluan untuk sekedar kaget. Dengan spontan aku berdiri dan melompat mundur. Jantungku berdegup sangat kencang, hingga aku pusing dan pandanganku berkunang kunang. Aku mencoba mengatur nafasku dan pergi meninggalkan kerumuman yang kecewa menunggu tanda tanganku.