05. Pertemuan

32.2K 4.5K 770
                                    

Menenteng ember berisikan penuh air sedang tangan lainnya sibuk memegang tongkat pel membuat Angkasa perlu mengeluarkan tenaga lebih untuk menahan berat tubuhnya. Dilepaskan begitu saja oleh Pak Abraham bukan berarti dirinya tidak akan mendapatkan hukuman sama sekali, semua perbincangannya di ruang konseling memakan waktu yang cukup lama sampai-sampai Angkasa tidak sadar bahwa waktu telah berjalan melewati batas masuk jam pertama.

Angkasa telat 30 menit dan guru killer pemegang mata pelajaran fisika itu tidak memberinya toleransi sama sekali. Yah, lebih tepatnya Angkasa yang tidak meminta, memangnya apa yang bisa ia katakan? Bahwa dirinya telah memukul seorang siswa dengan sengaja lalu tertahan beberapa waktu di ruang konseling sampai telat seperti ini di depan kelas?

Terpaksa Angkasa harus membersihkan selasar lantai tiga tempat di mana ia belajar. Setidaknya ini lebih baik daripada harus menjadi objek yang akan dikritisi—ketika seharusnya tidak perlu—oleh puluhan pasang mata di dalam kelas. Lagi pula, bukan hal yang sulit bagi Angkasa untuk mengejar ketertinggalan pada mata pelajaran berbasis perhitungan—menimbang di situlah kelebihannya.

Sungguh, hari pertama yang benar-benar menyusahkan.

Tepat ketika dirinya berada di depan pintu toilet laki-laki, atensi Angkasa teralihkan oleh suara ribut yang menggema di ruang sebelah. Kaki panjang itu tadinya sudah siap untuk masuk ke dalam—hendak membuang air cucian pel, namun beberapa kata yang terdengar kasar dan tak pantas membuat Angkasa urung sehingga berbalik demi mengecek keadaan.

"Permisi," ucapnya merundukkan kepala dengan hati-hati. Bagaimanapun juga, Angkasa tetap menjaga pandangan.

"Oh, Dear! Lihat siapa yang datang. Sejak kapan kamu jadi pertugas kebersihan di sini, Babe?"

Mengetahui bahwa kondisinya aman, Angkasa pun mengangkat wajahnya kembali. Kedua telinganya sedikit terganggu mendengar ucapan nyaring tersebut. Mendapati sebanyak empat perempuan yang tampaknya sedang terlibat dalam perkelahian mulut.

"Sejak kapan sekolah ini punya pelajaran debat di kamar mandi?" balas Angkasa sarkastis.

"Oh, ayolah." Perempuan yang berdiri dengan angkuh dan terlihat culas tersebut memutar bola matanya malas. "Udah berapa lama kita nggak ketemu? Lo nggak kangen sama gue?" ucapnya melirik Angkasa dengan tatapan manja. 

Angkasa meletakkan embernya asal. Rautnya tak banyak berubah. "Bisa pergi? Kalian cuma bikin lantai kamar mandi jadi lebih kotor."

"Jangan galak-galak, dong, Sayang." Senyum gadis itu merekah. "Tunggu sebentar, ya? Gue masih ada urusan sama dia."

Namanya Ratu—kelas XI-IPA-5, perempuan yang sedari dulu berusaha menarik perhatian Angkasa—namun tak pernah berhasil. Kedua gadis yang berdiri tepat di sebelah samping kanan dan kirinya Angkasa tidak kenal. Mungkin antek-antek Ratu? Angkasa yakin rombongan Ratu memiliki empat personil. Akan tetapi, siswi yang sedang menumpu tubuhnya pada keramik wastafel itu bukanlah salah satu dari mereka. Entah kenapa sosoknya terasa familier. Sayang kerumunan yang menutupi perawakan gadis tersebut menyulitkan Angkasa untuk mengenali.

Sembari menghela napas sendiri, Angkasa pun mengeluarkan titah mutlak untuk membubarkan pertengkaran. Tidak mungkin dia membiarkan hal ini terus berlanjut. "Sekarang gua bilang."

Ratu berdecak, menatap gadis pemilik gelang berwarna-warni tersebut dengan merekatkan kukunya di pergelangan. "Lo beruntung ada Angkasa di sini! Lain kali kita bicara lagi." 

Ratu dan kedua temannya pun melenggang pergi. Melenggak-lenggok bak berjalan di atas karpet merah berharap gaya femininnya dapat memancing perhatian Angkasa. Tepat sebelum melewati laki-laki itu, ia berucap, "Siapa sangka kalau lo punya sisi yang nakal juga, Babe? Saran gue jangan berlebihan, lo terlalu tampan buat jadi gelandangan. Anyway, welcome back!"

AKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang