Dunia yang luas dan menyenangkan. Apakah semuanya begitu? Atau semua orang merasakan hal itu? Kehidupan di luar memang tak selalu menyenangkan. Tapi bukan berarti, terlalu menyedihkan. Bukankah kesedihan itu juga memberi warna dalam kehidupan? Namun bukan berarti, kebahagiaan tak layak diperhitungkan. Segala sesuatu yang keterlaluan memang tak baik. Kebahagiaan yang terlalu, membuat kita terlena. Sedikit diberi kepedihan, ia akan mudah runtuh, tak mampu untuk bangkit kembali. Karena memang tak terbiasa menghadapi. Terlalu menjalani hidup dengan kesedihan. Membuat kita tak mampu berpikir jernih, atau kadang selalu bermimpi apa yang akan terjadi jika kebahagiaan datang kepadanya. Tentu kita enggan untuk memeluk rasa sakit terus menerus. Jangan buat dirimu bersedih, jika kamu mampu membuatnya bahagia.
Hal itu tak berarti bagi Devries. Atau lebih tepatnya Daniswara Devries Padmana. Laki-laki keturunan Belanda berdarah ningrat dengan kulit putih bak orang korea. Ia memang keturunan Belanda. Tapi bukankah orang belanda memiliki rahang yang tegas dibanding halus? Tak heran jika ia diberi julukan. "Raden Singo Putih". Singa, karena ia adalah keturunan bangsawan yang kuat, dan putih akan kulitnya.
Hidup dalam keluarga bangsawan amatlah berkecukupan. Makanan yang terjamin, kehidupan sekolah yang pasti diperbolehkan--tentu saja, memang zaman apa ini. Yang tentu disegani dan dihormati.
Nyatanya, tak semua keluarga bangsawan merasakan hal tersebut. Devries salah satunya. Kehidupan yang nyaman, keluarga yang sayang, rasa aman, kulit yang bersinar, wajah rupawan, keturunan bangsawan. Semua ia dapatkan. Tinggal satu hal yang belum, ia masih belum merasakan indahnya itu semua.
Dalam ruangan berukuran 5x10 m² ia hidup dalam 15 tahun terakhir. Waktu yang dapat dikatakan cukup lama. Ruangan VIP dan peralatan medis yang memadai. Disinilah Devries menghabiskan masa remajanya. Penyakit yang dideritanya sejak ia berumur 3 tahun. Bahkan perkembangan alat medis dari tahun ke tahun, masih tidak dapat mendeteksi penyakit yang diderita Devries. Masa remajanya sudah hampir habis. Kini ia akan menginjak usia dewasa.
Laki-laki berusia 18 tahun itu hanya duduk di atas ranjang putih medis. Menatap jendela dan menerima takdir. Devries tak pernah mengeluh soal penyakitnya, apalagi kepada Sang Pencipta. Setiap orang pasti punya mimpi. Begitu juga dengan Devries. Ia menatap jendela lamat-lamat. Oh, bukan! Ia tengah menatap dinding besar di ujung rumah sakit yang terlihat jelas dari jendela Devries.
Devries ingin keluar. Menginjakkan kaki ke tanah sekalipun, belum pernah ia lakukan. Laki-laki itu ingin melihat indahnya ciptaan Illahi. Mencium aroma nektar bunga lebih banyak dibanding ruang VIPnya. menilik taman-taman rumah sakit dan memetik buah, Merasakan embun yang dingin dan kicauan burung. Bukan hanya gemuruh dan dinginnya AC. Sebelum itu semua ia lakukan, hal pertama yang ingin Devries lakukan jika punya kesempatan adalah pergi ke dinding rumah sakit di seberang sana.
Dinding yang lebih tua dibanding lainnya. Lapisan yang terkelupas, lumut bergerumun diatasnya. Juga betapa tak terawatnya lantai gedung. Tentu tak semua itu terjadi begitu saja. Ada insiden dimana Devries mulai memandang dinding itu 2 tahun terakhir.
🌦🌦🌦
Kemarin, ketika Devries tengah menyantap bubur malam. Gendang telinganya menangkap suara. Ia memfokuskan pendengaran, bersiap untuk menguping pembicaraan.
Sepertinya ada sesuatu yang dibicarakan. Bodoh sekali berbicara keras melewati berbagai ruangan disini. Tapi... Kalau mereka tidak berbicara keras seperti ini,
Aku pasti tidak akan tahu apapun disini"Hey! Kau tahu soal gedung seberang itu? Kudengar ada hal mistis yang jadi penyebab utama tragedi itu."
"Kamar bougenville itu, kan? Tentu saja aku tahu. Ada juga saksi yang bercerita kalau ia melihat seorang gadis dalam kamar itu melayang."
"Yaah," seseorang menghela nafas, bersiap untuk melanjutkan kalimatnya , "kuharap gadis itu tidak melayang di kamarku. Sudah 2 tahun sejak tragedi itu. Apakah kau, tahu? "
"Tentu saja tidak. Aku dirawat seminggu lalu. Rumor cepat tersebar, kawan." ia menepuk pundak lawan bicaranya.
"Lagipula, tidak ada yang selamat dari tragedi itu, kan?" Pria itu menoleh pada ruangan VIP milik Defries, " Kecuali penghuni kamar ini. Ia satu-satunya yang selamat."
"Bukankah itu hal bagus? Ia bisa menjadi saksi yang akurat."
"Kau pikir tragedi itu seperti apa?! Seluruh staff, pasien, bahkan keamananpun tak selamat. Bagaimana dengan orang itu? Ia pasti depresi berat atau semacamnya."
"Pelankan suaramu!"
Hanya sampai kalimat itu Devries dapat mendengarnya jelas. Yang tersisa hanya gumaman yang semakin jauh, jauh, dan menghilang. Setiap hari ia mendengar rumor seperti itu. Membuatnya semakin penasaran pada kamar bougenville yang selalu ia pandang.
"Ada apa dengan 2 tahun yang lalu? Katanya hanya aku yang selamat. Tapi, mengapa aku tak dapat mengingat apapun? Atau aku yang salah dengar? Kumohon Tuhan, semoga usia ini adalah kunci."
Devries segera menghabiskan bubur di meja. Memakai sendal dan beralih ke wastafel untuk mencuci muka. Jangan lupakan tiang infus yang setia menemani. Menatap pantulan dirinya di cermin. Mengusap usap wajahnya mengamati setiap inci wajah pucat Defries. Kemudian mundur perlahan untuk melihat keseluruhan.
"Menyedihkan," Ia tertunduk, kemudian menatap cermin kembali, "Apakah aku benar-benar keluarga Daniswara?" Devries berbicara sendiri. Mempertanyakan jati dirinya yang penuh dengan keganjilan.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anemoia
AdventureDibalik sebuah kisah, ada kisah yang lain. Kisah adalah cerita hidup. Hidup adalah tentang misteri. Dan waktu adalah saksinya. Memeluk rasa takut, mencari jejak, dan melewati waktu. Itulah yang dilakukan Devries. Ini bukan sekedar kisah penghibur...