Dukun Beranak

18 1 0
                                    


⌚⌚⌚

   Dinginnya AC membuat Devries terjaga dari mimpi. Ia menguap, meregangkan tubuh, lantas meminum air putih yang telah disediakan. Merogoh-rogoh laci meja cepat, mencari sesuatu. Devries segera meminum 4 buah pil sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.

Devries menghela napas lega. Jantungnya baik-baik saja sekarang. Setidaknya untuk 12 jam ke depan.

"Tak adakah perawat atau keluarga yang menyediakan sarapan untukku? Cacing ini sungguh berisik dan bergemuruh dari tadi. Belum lagi bubur kemarin yang tak cukup mengenyangkan." Devries sedikit menekan perutnya, berharap jika rasa lapar tertunda.

Cklek!

  Retina Devries menangkap sosok pria paruh baya. Dengan tongkat dan baju khas jawa--lurik. Rahangnya tegas dengan wajah yang berkharisma. Jika ditengok rambutnya, tampak beberapa uban yang sedikit menghiasi.

"Ooh, Bopo!" Devries terbelalak. Dengan segera ia duduk di sofa dekat Sang Ayah. Lelaki disampingnya tersenyum.

"Tumben, Bopo kesini. Lah Bune kemana?"

"Mumpung luang, Le. Kebetulan ibumu itu tengah membetulkan kebun sebelah. Katanya capek, jadi titip salam saja buatmu."

"Ooh, begitu." Laki-laki itu mengangguk angguk mengerti," Bisa buka sarapannya sekarang, Bopo?" Devries terkekeh.

"Yo mesti!" Ayahnya tampak bahagia. Senyum sumringah terpancar dari wajah pria berusia hampir setengah abad itu. Devries ikut tersenyum. Kerutan di pinggir matanya terlihat.

"Piye kabarmu, Le? Ndak usah banyak pikiran, yoo. Biar sembuh cepat, Oke?" sang Ayah mengusap usap paha Devries yang tengah melahap semur jengkol buatan ibu tercinta.

    "Masih sama saja, Bopo." Devries meletakkan sendok, mengambil sebuah kalender dan menimangnya, "Sampai bosan Devries disini. Gak ada perkembangan, gak bisa keluar, cuma bisa lihatin pasien lalu lalang. Apa ndak bosan, dokter sama perawat lihat Devri terus?"

Bapak Devries tertawa sebentar, "Oalah, Le, Le. Hal seperti itu tidak perlu kamu pikirkan. Kamu cukup fokus pada kesehatanmu saja. Devries kan, anak pertama Bapak. Jadi harus sehat, biar bisa jadi pengganti bapak nanti." Ia mengusap halus punggung Devries. Mengerti maksudnya.

"Bapak, kok masih pengen Devries jadi pengganti Bapak?. Kan, masih ada Jewar dan Tille. Joko Bapak bukan hanya Devries saja, Pak."

"Entahlah, Le" Bapak menghela napas.

"Kedua adikmu itu. Bapak tidak suka perangai mereka. Jewar selalu ingin menang sendiri. Mengeyel jika diberi tahu. Menyombongkan diri karena ialah yang paling besar badannya di keluarga. Tapi percayalah, Nak. Ia hanya beruntung pada fisiknya. Fisiknya yang besar, tak sebesar hatimu, Nak. Sedangkan Tille. Bapak sama sekali tak tahu jalan pikirnya. Dia asyik berdiam di kamarnya. Memakan semua buku yang ia beli tiap kali keluar. Tille hanya keluar saat makan. Bapak suruh sembahyang di masjid tidak mau. Katanya mau sembahyang di kamar saja. Salah Bapak juga bangunkan kamar luas nan lengkap seperti itu. Membuat mereka sulit sekali keluar. Sekedar bercengkrama atau semacamnya. Apalagi setelah Bapak belikan HP. Beehh--"

"--semakin tak mau lagi mereka keluar. Diajak ngobrol bareng, tak mau. Diajak makan bareng, diam. Dijamu minum teh, menolak. Lantas siapa yang Bapak ajak cerita kalau bukan kamu? Bapak sangat suka perangaimu. Hanya karena kamu lebih lama disini dibanding di rumah. Bukan berarti Bapak tak tahu sifatmu. Kau ini Joko Bapak. Suatu saat, pasti Devries akan jadi pemimpin keluarga Daniswara. Itu pasti, Nak. Pasti! Anggap saja ini adalah impian Bapak."

AnemoiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang