"Victoria Gail Michaels!" ucap salah satu guru sekolahku. Aku pun maju dengan percaya diri tanpa merasa ragu, karena ya sudah dipastikan aku lulus. Aku pun berjabatan dengan kepala sekolah dan kedua guruku sebelum diberi topi toga. Setelah itu, aku pun kembali ke tempat dudukku bersama teman-teman. Setelah nama kami dipanggil, sebenarnya kami boleh foto-foto, atau pun beramah tamah. Tapi aku lebih memilih untuk mengobrol dengan kedua sahabatku. "Vic, lo jadi ke London?" tanya salah satu sahabatku, Mikayla. "Fix." jawabku. "Kalo udah jadi London Girl jangan lupa gelar lo disini." sambung sahabat keduaku, Harold. Sejujurnya, aku bahkan tidak tau apa artinya "London Girl" dan "New York Girl". "Hahaha, iya deh. Gue ga ngerti maksud lo apa." ucapku pada Harold.
"Kalo udah punya pacar, boleh kali dibawa kesini." ucap Mikayla yang sukses membuat aku tertawa. "Ya ampun, Mik. Terus kalo dibawa kesini mau di apain?" balasku "Ya dikenalin ke sahabat-sahabat tercinta lo ini, Victoria Sayangkuuu." jawab Harold sambil merangkul Mikayla. FYI, kalau kalian berpikir Harold semacam gay atau melambai, kalian salah besar. Harold adalah salah satu laki-laki yang banyak dikagumi oleh banyak kaum hawa di sekolahku. Dia bahkan pernah.. menyatakan cintanya buat aku. Sayangnya aku hanya menganggap dia sebagai kakakku walaupun dia lebih muda daripada aku. Itulah mengapa kami sekarang bersahabat. "Nanti lo suka lagi!" ucapku pada Mikayla. "Enggak lah. Aku tuh ga suka jadi orang ketiga loh ya." balas Mikayla yang membuat aku dan Harold tertawa. "Sorry guys, Victoria nya Tante pinjem dulu ya. Belum foto keluarga soalnya." ucap Samantha yang adalah mamaku. "I'll be right back!" ucap aku pada Harold dan Mikayla.
"Lagi omongin apa? Kok seru banget kayaknya." tanya mamaku sembari kami berjalan menuju photo booth. "Kuliah, Mom." jawabku. "Ohh. Sahabat-sahabat kamu pada kuliah dimana?" tanya mamaku lagi. "Mikayla tetep di New York. Harold ke Jerman." jawab aku. "Wow, Jerman?" balas mamaku. Aku pun hanya menganggukkan kepala. Beruntung photo booth tersebut tidak antre sama sekali. Well, more like hanya aku yang mengantre karena salah satu teman baik aku, Patrick sedang foto bersama keluarganya juga. Entah kenapa aku berpikir kenapa Patrick tidak foto bersama Willa, kekasihnya. Ah, ngapain juga aku pikirin.
"Eh.. hai Vic." sapa Patrick setelah aku dan keluargaku akan berfoto. "Hai Patrick." jawab gue. "Duluan ya." ucap Patrick. Aku pun hanya mengangguk. "Cieeee." ledek Vincent, adik laki-lakiku. "Bawel." ucapku sambil mencubit pipinya. Kami pun sudah pada posisi yang benar dan siap untuk difoto. Kami diberikan tiga kali foto untuk berganti gaya. Setelah itu, barulah kami mendapat cetakan foto kami. Aku tersenyum saat melihat kebersamaan kami. Well, I am not a broken kid. Belakangan ini kami semua sibuk dengan urusan kami masing-masing, terlebih Harold Michaels, papaku. Iya, papaku namanya Harold sama seperti sahabatku.
"Ya udah, aku ke Harold dan Mika lagi ya." ucap gue pada orangtuaku. "Sebentar, Dad mau kasih sesuatu." ucap papaku. Aku pun menunggu dua menit, dan ternyata papa memberikan aku satu buket bunga mawar pink. FYI, pink warna favorit gue. "Waaa, thank you Daddd!" ucapku sambil memeluk papaku sebelum keningku dicium sama dia.
"Cieee, bunga dari siapa itu?" tanya Harold. "Harold." jawabku yang membuat Harold dan Mikayla bingung. "Ohh, Harold Michaels." ucap Harold yang membuatku tertawa. "Nih, gue sama Mika lagi ngobrol sama Patrick." ucap Harold kemudian. "Ohh, oke." balasku. Aku baru sadar ternyata Patrick duduk di depan aku. "Lo kuliah dimana?" tanyaku pada Patrick. "Austria." jawab Patrick. "Wahhh, kapan-kapan main ke London dong kalo gitu." balasku. "Oh iya, lo di London ya? Boleh, boleh." ucap Patrick diakhiri senyumnya yang harus diakui sangat manis. "Serasa jaraknya tiga kilometer ya." ucap Mikayla yang membuat Patrick, Harold, dan aku tertawa.
"Mikayla, ayo foto dulu." ucap mamanya Mikayla yang menghampiri kami. "Harold, tadi papa kamu juga suruh kamu foto." lanjut Tante Julie. "Oke. Be right back, Vic." ucap Harold. "Iya." jawabku. "Gue liat-liat, lo dapet bunga banyak nih." ucap Patrick. "Ah.. itu dari Dad, Vincent, Mom, Harold, sama Mika." jawabku. Patrick mengangguk-angguk. "Yahh, gue ga bisa kasih bunga ke lo nih." ucap Patrick. "Ya ampun, santai aja sih." balasku. "Gue kasih lo cincin aja ya." ucap Patrick sambil melepas cincin yang berada di jari tengahnya. "Eh, eh. Ga usah gapapa." ucapku. "Gapapa, ini kenangan dari gue." balas Patrick. "Kenapa ga kasih ke Willa?" tanyaku dengan heran. Patrick menggeleng. "Gue lebih percaya cincin ini aman sama lo." jawabnya. "Lah? Ini cincin apa sih? Jangan bilang jimat lo lagi?" tanyaku.
"Enggak. Mungkin keliatan nya biasa aja. Tapi cincin ini berarti banget buat gue." jawab Patrick. "Ya kalo berarti banget buat lo kenapa di kasih ke gue?" tanyaku. Demi apa pun gue bingung banget. "Vic, ini cincin almarhum kakak gue. Lo inget Peter 'kan?" jawab Patrick. Oh damn. Peter.. gue kangen sama dia. Singkat cerita, Peter itu mantan pacarku, dan kami putus karena Peter mau gue mulai hidup tanpa dia karena penyakit kanker darah. "Cincin yang punya gue hilang, Vic. Sebelum Peter 'pergi', dia kasih cincin nya ke gue." ucap Patrick.
"Vic.." ucap Patrick sambil memegang tangan gue. "I have faith in you to take care of this ring. It means a lot to me. I promise you ten years from now, I'll be back for the ring." lanjutnya. Oke, aku tau ini aneh. Tapi kenapa aku kayak ada di drama-drama gitu ya? "If this ring means a lot to you, why don't you take it with you?" tanyaku. "I do have the answer, but I'm afraid right now is the not best time to spit it out." jawab Patrick. Pada akhirnya, aku pun setuju dan mengambil cincin itu. Cincin itu tentu saja kebesaran untuk jariku, sehingga aku memilih untuk menyimpannya di tasku terlebih dahulu.
"Remember, I'll be back for the ring." ucap Patrick. Aku mengangguk paham. "Sepuluh tahun dari sekarang." ucapku. "Jangan kasih tau siapa-siapa." ucap Patrick. "Kenapa?" tanyaku. "Nanti Willa tau." jawab Patrick. "Kalo gue ga kasih tau siapa-siapa tapi kalo dia tau gimana?" tanyaku. "Bilang ke gue." jawab Patrick sebelum dia bergegas. "Ehh, tunggu." ucapku. "Apa?" tanya nya. "I know this is none of my business but.. are you guys gonna break up?" jawabku. Patrick tersenyum. "Ga akan lama lagi. Gue capek sama Willa." jawabnya. "Keberatan ga kalo gue cerita sedikit?" tanya nya kemudian. "Eng- enggak kok." jawabku. "Mungkin lo udah tau dari banyak orang Willa itu gimana." ucap Patrick. Sejujurnya tanpa orang kasih tau ke aku, aku tau Willa bagaimana orangnya.
Berlebihan. Overprotektif. Cari perhatian. Ugh. Untung aku tidak berteman sama dia.
Aku pun mengangguk setelah mendengar Patrick. "Gue juga tau lo udah capek. Tapi selama ini lo tutupin semuanya. Gue tau banget, Pat." ucapku. "Lo peka banget ya." ucap Patrick. "Well, that's Victoria." balasku. "Gue udah cukup sabar sama Willa. Tapi dia bener-bener ga ngerti perasaan gue. Malah orang lain jauh lebih ngerti gue. Terlebih lo. Gue tau empati lo besar banget, bahkan lo bisa liat sifat seseorang atau apa pun itu dari wajah orang." ucap Patrick. Aku tersenyum. "Tau ga? Disini banyak temen-temen. Mereka pasti bingung kenapa kita berduaan. Pasti ada temen-temen nya Willa juga. Yang ada gue yang dihujat, diomongin. Bukan lo." ucapku. "Gapapa, biar gue yang tanganin. Justru gue mau mereka liat." balas Patrick.
Geez. Patrick kenapa sih? Ngomong nya ga bisa di luar sekolah aja gitu? Ini auditorium tuh rame sekaliiii.
"Hmm.. terus? Jadi? Gimana?" tanyaku. "Yaa, mungkin besok. Atau besoknya lagi." jawab Patrick. "Ngapain?" tanyaku. "End this shit." jawab Patrick. "Woah, woah. Are you serious?" ucapku. "Lebih dari yakin." jawabnya. "Well, I can only say good luck then." balasku. "Itu udah cukup kok buat gue." ucap Patrick. Aku tersenyum lagi. "Well, see you when I see you." ucapku. Patrick ikut tersenyum. "See you in London Eye." ucap Patrick. "Wait, what?" ucapku tidak mengerti. "Ga ada pengulangan." jawab Patrick. "I know. See you in London Eye?" balasku. "You'll see, Vic." jawab Patrick. "Well.. okay." ucapku sebelum Patrick menghampiri orangtua nya.
Aku kembali teringat dengan cincin yang dia berikan. Apa benar dia akan datang lagi untuk cincinya sepuluh tahun lagi? Kapan? Dimana? Lalu apa yang akan terjadi setelah itu? Ah, Patrick memang penuh dengan kejutan. Aku rasa aku hanya harus menunggu kedatangannya sepuluh tahun lagi.
———————