Aku terus memegang cincin yang diberikan Patrick. Pada akhirnya, cincin itu aku jadikan liontin kalungku. Aku sudah berada di London sejak dua tahun yang lalu karena aku akan lanjut magister di London juga. Sehingga aku tidak ingin membuang-buang waktu. Di London, aku tinggal di penthouse pemberian Dad. Tapi beruntung aku ditemani dua asisten rumah tangga yang sudah dipersiapkan untukku. Ah, Harold Michaels memang yang terbaik!
Oh ya, tentang cincin nya Patrick. Teman-temanku disini banyak bertanya tentang cincin nya Patrick ini. Bahkan ada yang mengira kalau ini adalah cincin tunangan. Hmm, kalau cincin tunangan kenapa aku jadikan liontin? Lebih baik di jari manis bukan? Lagipula.. menurutku aku masih terlalu muda untuk tunangan. Bahkan usiaku baru sembilan belas tahun. Kalau diperkenankan, aku ingin menikah di usia dua puluh empat. Semoga saja aku sudah sukses sebelum aku menikah.
Berbicara tentang pernikahan, aku saja belum mempunyai pasangan. Aku sempat menjalin hubungan dengan laki-laki asal Belanda yang sedang tinggal di London. Sayangnya kami harus berpisah setelah satu tahun bersama karena Julian—mantan kekasihku itu harus kembali ke tanah kelahirannya karena kedua orangtua nya membutuhkan Julian untuk mengurusi bisnis keluarga mereka. Aku juga sempat didekati oleh laki-laki yang cukup tampan, namun teman-teman laki-lakiku di kampus berkata kalau si Jack ini tidak pernah mencintai perempuan secara tulus. Beruntung aku belum menyukai laki-laki itu, daripada aku harus berujung sakit hati.
Tapi setelah aku putus dengan Julian, aku terpikir dengan Patrick. Bukan hanya Patrick nya saja, tetapi ucapannya dua tahun yang lalu. Kalau memang dia memegang janjinya, aku harus menunggu delapan tahun lagi untuk bertemu dengannya. Padahal dia berjanji untuk menemuiku di London suatu saat. Atau memang aku harus menunggu delapan tahun lagi baru aku bisa bertemu dengan Patrick? Kalau boleh jujur, dua tahunku di London dipenuhi oleh bayangan-bayangan Patrick. Awalnya aku berpikir mungkin aku kangen sama dia. Tapi aku ingat kalau dia masih dengan Willa. Or not.
Aku memang mendengar kabar Patrick putus dengan Willa dari Mikayla. Kebetulan Willa pindah dari California ke New York lagi dan satu universitas dengan Mikayla. Mikayla bilang Willa sangat patah hati karena Patrick mengakhiri hubungan mereka. Ya, tanpa bertanya aku sudah tau mengapa. Kurasa Patrick melakukan hal yang benar. Anehnya, Willa jadi membenciku karena saat di hari kelulusan kami ternyata Willa melihat aku dan Patrick dengan mata kepalanya sendiri. Tapi aku percaya Patrick sudah mengatasinya.
"Gila lo melamun nya kayak orang kenapa dah." ucap Christabelle, teman baruku di London. "Hah?" ucapku. "Lo melamun atau meditasi sih?" tanya Christabelle. Astaga, aku lupa ada temanku di rumahku dan dia duduk di sebelahku di couch. "Sorry, sorry." ucapku. "Mikirin apa sih?" tanya Christabelle. "Eng—". "Atau jangan-jangan, mikirin orang?" ucap Christabelle yang memotong ucapanku. "Iya, mikirin Vincent. Dia kangen sama gue atau enggak." jawabku. Christabelle tertawa. "Vincent adek lo atau Vincent yang lain nihh?" tanya nya. "Lo nyebelin ih." ucapku. Anehnya gadis itu semakin tertawa. "Gapapa nyebelin, yang penting banyak yang suka." ucapnya. Aku tertawa. Memang Christabelle sangat cantik. Well, bukannya apa, tapi aku dan Christabelle memang disukai oleh banyak laki-laki.
"Emang lo doang." ucapku pada Christabelle. "Hehe iya ampun. Lagian lo melamun nya serem ih." balas Christabelle. "Elle, lo percaya ga, kalo ada orang yang janji dia akan ambil sesuatu yang dia titipin ke lo sepuluh tahun lagi?" tanyaku. "Gue percaya. Maksud gue ya, itu kan bagian dari rencana Tuhan. Kalo lo percaya sama dia, dia pasti akan dateng. Kalo lo enggak percaya sama dia, untuk apa dia dateng lagi ke lo?" jawab Christabelle. Gadis itu benar. Untuk apa Patrick datang lagi nantinya jika aku tidak percaya dengannya. Lagipula, dia sangat amat percaya denganku. Mungkin cincin yang sekarang dekat dengan detak jantungku ini adalah hal yang biasa, tapi bagi Patrick sangat berharga.
"Emangnya kenapa, Vic?" tanya Christabelle. "Eng- enggak. Tanya doang." jawabku. "Victoria, jujur deh sama gue." ucap Christabelle. "Tentang?" tanyaku. "Apa yang lo pikirin." jawab Christabelle. Aku menghela. "Sebenernya kenapa gue tanya begitu ke lo, karena ada seseorang yang ngomong begitu ke gue. Gue percaya sama dia kok, tapi kalo gue udah bosen nunggu gimana?" ucapku. "Inget dia percaya sama lo. Have faith in..?" jawabnya. "Him." jawabku. "Namanya Patrick." ucapku. "Lalu?" ucap Christabelle. "Awalnya kami bener-bener temenan biasa. But the night of our graduation changes everything. Gue kepikiran ucapannya terus. Ever since I got here, I kept thinking about him." ucapku melanjutkan ucapanku.
"Are you telling me you're falling in love with him?" tanya Christabelle. Aku mengedikkan kedua bahuku. "Gue ga tau. Lagipula gue ga pernah ketemu sama dia lagi, jadi yaaaa paling minggu depan gue juga udah lupa sama masalah ini." jawabku. "Jangan sampe kemakan omongan sendiri ya." ucap Christabelle. "Semoga aja.." ucapku dengan volume yang sangat kecil. "Tapi lo tau ga sih? Patrick masih punya pacar waktu dia ngomong begitu ke gue." lanjutku. "Dia kayaknya suka sama lo." jawab Christabelle dengan entengnya. "Jangan ngaco deh." balasku. "Sekarang gue tanya. Kenapa cincin nya dikasih ke lo? Kenapa ga dikasih ke orangtua nya? Atau kakak atau adiknya?" tanya Christabelle.
Aduh, Christabelle ada benarnya loh. Kenapa gue? Kenapa bukan Jackson Ronan dan Marie Ronan? Atau pun adiknya, Phillip.
"Tuh kan lo aja ga tau." ucap Christabelle. "Actually, Patrick said to me he does have an answer but he's afraid that night wasn't the right time to spit it out." jawabku. "Kenapa feeling gue.. entahlah. Ga jadi deh." balas Christabelle. "Ihh, kenapa?" tanyaku. "Yaa, gue yakin dia akan dateng kalo gitu, Vic." jawab Christabelle walaupun aku tau dia sedikit berbohong tapi ada benarnya juga. "Pokoknya percaya sama Patrick, dia akan dateng delapan tahun lagi." ucap Christabelle. "Iya gue percaya sama Patrick." balasku. "Semoga aja gue masih kuat nunggu." batinku.
"Anyway, lo udah bisa lesson 5?" tanya Christabelle. Aku mengangguk. "Mau gue ajarin?" tanyaku. "Mau dong." jawab Christabelle sembari menuju piano yang Dad beli dari entahlah berapa tahun yang lalu.
"Vic, lo yakin nada nya bener?" tanya Christabelle setelah diberi contoh oleh temannya itu. "Ga tau, kok gue ga yakin ya?" jawabku. Aduh, gue jadi bingung. "Vic, lo kenapa sih?" tanya Christabelle. "Gapapa. Tadi ga fokus aja, jadi agak lupa." jawabku berbohong. Ya tidak bohong sepenuhnya, karena sejujurnya aku juga bingung dengan diriku. Mungkin aku belum bilang, sejak malam pemberian cincin nya Patrick untukku, maksudku dititipkan, aku selalu terpikir dengan Peter, Patrick, dan cincin itu sendiri. Aku tau ini sangat membingungkan dan mungkin berlebihan, tapi salah satu sifatku adalah overthinking.
Atau aku memang kangen dengan Patrick?
———————