Casts: YOU & NU’EST Aron
Genre: songfic series, fluff, romance, comedy, friendship & typos
© 2014. shadyhwang.wordpress.com
This fic is dedicated to L.O.V.E or Road Ronners!
*
Ketika itu, langit tengah dihiasi oleh segerombolan awan kelambu. Matahari pun tampak enggan menampakkan sinarnya—walaupun jarum jam tanganku masih menunjukkan pukul 11 pagi. Beberapa kawanan burung yang seharusnya sudah berhibernasi ke tempat yang lebih hangat, terlihat sama sekali tak berkutik dari tempatnya karena cuaca buruk waktu itu. Sementara aku, saat itu sedang duduk termenung sendirian di salah satu halte bus gangwon-do dengan wajah yang mengkerut—kesal karena bus tak kunjung datang juga.
Angin barat berhembus diiringi dengan beberapa tetes air hujan yang mulai turun dari atas sana. Kakiku bergetar, menahan hawa dingin yang seakan ingin masuk ke dalam tubuhku. Kurapatkan mantel buluku, berharap itu bisa mengurangi rasa tidak nyamanku akan udara dingin, meskipun aku tahu kalau usaha itu sama sekali tak membantu. Mataku melirik kesana-kemari, bertanya-tanya dalam hati apakah memang daerah gangwon-do sangat sepi pada jam-jam seperti ini? Spekulasi-spekulasi mengenai mitos aneh saat berada di daerah ini pun bermunculan di dalam benakku. Namun cepat-cepat kutepis pemikiran itu, sangsi akan benar atau tidaknya mitos-mitos tersebut karena well, diriku bukanlah penggemar hal-hal tak nyata seperti itu.
Jalanan yang ada di hadapanku terlihat mulai dibasahi oleh air hujan, begitu juga dengan pohon-pohon pinus yang ada di sekitarnya. Sekali lagi, kuangkat tangan kananku, hendak melihat jam tanganku sambil menebak-nebak sudah berapa lamakah aku menunggu bus berwarna hijau muda yang selalu kutumpangi saat ingin pulang dari tempat kerjaku; sebuah klinik kecil yang letaknya tak jauh dari halte bus. Lidahku pun berdecak heran setelahnya. Apa keterlambatan sebuah bus di daerah terpencil yang diakibatkan oleh cuaca buruk bisa sebegitu lamanya? Maksudku, oh ayolah, selama 5 tahun aku bekerja disini, belum pernah sekalipun bus menuju Seoul terlambat sampai 2 jam lebih! Sungguh. Ini menjengkelkan.
“Udaranya dingin.”
Kepalaku sontak mendongak setelah dikejutkan oleh suara berat khas pria luar negeri yang tiba-tiba datang dari arah kanan. Kemudian, iris mataku terpaku pada sosok tegak bertubuh proposional itu. Dia—seorang laki-laki asing bertubuh tegap—lalu mengambil tempat di sebelahku, mengabaikan tubuh serta wajah dan rambutnya yang basah; sepertinya ia baru saja selesai berhujan-hujanan. Bingung, aku memilih untuk diam, melupakan kalimat pertamanya yang seakan memberi isyarat kepadaku untuk menghangatkannya. Untuk sesaat, suasana dingin saat itu menjadi tambah dingin ketika laki-laki itu datang.
“Tak seharusnya kau diam disini.”
Aku meliriknya sebentar dari sudut mataku. Lelaki itu tampak sibuk dengan jaket kulitnya yang basah.
Kukulum bibirku sedikit demi sedikit, mencegahnya kering, “Hm, ya.” Sahutku setelahnya.
“Jangan melakukan itu.”
Refleks, kepalaku menoleh ke arah kanan—tempat dimana laki-laki asing itu duduk, namun yang terjadi selanjutnya adalah bibirku bertemu dengan bibir tipisnya; dia menciumku. Kontan kedua mataku membelalak kaget. Belum sempat aku sadar oleh apa yang terjadi, wajah laki-laki itu sudah menjauh dan sebuah senyum simpul menjadi akhir dari kelakuan tak terduganya tadi.
“Bukankah itu lebih baik?”
“Apanya yang lebih baik?! Astaga kau ingin membuat jantungku loncat, eoh?!” aku berdiri dari tempat dudukku dengan tubuh yang menghadap ke laki-laki itu, meluapkan segala perasaanku yang sedaritadi kutahan saking malunya diriku saat itu. Laki-laki itu tertawa kecil, memamerkan gigi-gigi serinya yang putih bersih. Aku mencibir kesal.
Di dalam otakku, hanya ada satu kata yang terbesit ketika pertama kali bertemu dengannya; aneh. Hell no, aku benci orang aneh, termasuk lelaki di hadapanku ini.
“Pfft.. baiklah, coba kutebak itu bukan ciuman pertamamu ‘kan?” laki-laki itu tersenyum mesum, membuatku kini percaya bahwa dia benar-benar orang yang sangat aneh.
Tak mau menanggapinya, aku pun mengalihkan perhatianku darinya. Merespon sesuatu yang tidak penting hanya membuang-buang tenagaku saja. Masih banyak hal yang harus kulakukan di apartemenku nanti, begitu pikirku.
“Oh sorry. Hmm.. bahasa koreaku memang belum terlalu lancar. Apa kau tidak mengerti dengan pertanyaanku barusan?” dia kembali menginterupsi, membiarkan bibir pucatnya kembali tergerak hanya untuk mengucapkan sebuah pertanyaan yang pada akhirnya takkan kujawab
“Nama aslinya Kwak Aaron. Nama panggilannya Aron. Kelahiran 1993 di Los Angeles. Dia baru beberapa bulan tinggal di Korea Selatan, dan impiannya saat ini adalah untuk menjadi artist yang sukses di masa depan. Seharusnya dia sudah berada di depan penghangat ruangan gedung agensinya, tapi dia malah terjebak cuaca buruk dengan seorang gadis jutek yang entah mengapa menarik perhatiannya.” Perlahan, kubalikkan badanku lalu menatapnya dengan tatapan mengintimidasi, karena kurasa dia sedang membicarakanku, “Nasibnya sama buruknya dengan cuaca saat ini, bukankah benar begitu, agasshi?”
Kedua tanganku sudah tersilang di depan dada. “Apa maksudmu? Kau mengajakku berkelahi, huh?”
Dia tertawa—lagi. Entah apa yang lucu dari kalimatku barusan. Mungkin sel otaknya sudah tidak berfungsi lagi sehingga ia tidak bisa membedakkan mana yang lucu dan mana yang tidak.
Dadanya yang rata dan abs yang mulai terbentuk terlihat menembus begitu saja dari dalam kemeja putih transparannya yang masih basah. Rambut hitamnya yang teracak, beberapa tetes air hujan yang mengalir di wajah tampannya serta celana panjang hitamnya yang membentuk sempurna kaki proposionalnya membuat wajahku seketika memerah. Dilihat dari sisi manapun sudah jelas kalau laki-laki di hadapanku ini adalah calon artist. Andai saja dia tidak bersikap aneh, pasti aku sudah terpikat dengan wajah polosnya.
Hembusan angin kuat diikuti air hujan yang semakin deras turun layaknya sebuah air bah, seakan menghilang dari pandanganku, menyisakkan matahari dan awan-awan transparannya di atas sana. Darahku berdesir hebat saat tangan kanannya menarikku untuk mendekat hingga akhirnya tubuh itu mendekapku dengan erat. Aku hanya bisa diam karena jujur saja, rasanya sangat hangat dan nyaman. Perlahan kedua kelopak mataku tertutup seiring dengan sapuan lembut tangan halusnya di punggungku. Kubiarkan rambut basahnya menempel lama pada pipi kananku. Bagai air mengalir, aku terhanyut dalam buaiannya. Biar sajalah detak jantungku yang menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini. Persetan dengan identitas dan hubunganku dengannya. Hanya satu hal yang kuinginkan ketika itu: kehangatan.
Wajahku memerah sempurna setelah laki-laki bernama Aron itu melepaskan pelukannya. Ia tersenyum cerah, mengalahkan sinar matahari yang ternyata sudah mulai tampak dari sela-sela awan kelambu di atas sana. Bibir tipisnya bergerak kecil seolah ingin mengucapkan sesuatu padaku. Namun, aku buru-buru berlari menjauh saking malunya untuk hanya sekadar melihatnya berucap—lagi. Masih dengan detak jantung yang berpacu cepat, aku mengulas senyum senang dalam langkah kecil yang pada hari itu membawaku pulang.
“He’s my storybook boy.”—My storybook girl. You’re my girl.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
[SongFic Series] Storybook
FanficMemiliki kenangan indah bersama bias? kenapa tidak? // "He's my storybook boy"-my storybook girl, you're my girl.