"Hai nona, mengapa kau bermain dengan kubangan? bukanya itu kotor?". Seorang pria muda hendak menuju ke lapangan, hal biasa yang dilakukan oleh pria seumurnya.
"kau pikir ini kotor?". Sang nona hanya bertanya kembali, sembari memainkan telunjuknya ke dalam kubangan tersebut, hanya ujung telunjuknya saja yang bermandi di sana.
"Hmmm... ya, kubangan itu ada di bawah, banyak orang yang lalu lalang, wajar saja kotor". Jawaban polos dari tuan Mochi hanya mampu menarik sudut bibir nona itu, sinis.
"Ya dia memang kotor." Dengan cepat sebuah sandal mendarat di kubangan itu, emosi yang tak terluapkan secara puas.
Sang nona pergi, sedang tuan Mochi masih menatapi kubangan tersebut, mencoba mengorek kubangan dengan kayu, yang didapati adalah kadal yang perutnya sudah hancur.🌾🌾🌾
"Bagaimana bisa alasan suka dipakai untuk membunuh orang, gila!". Sepertinya suasana warung kopi sedang berapi-api.
"Bagaimana bisa seorang pak tua menghamili seorang janda muda ?". Sambung tuan mochi sembari mendaratkan tubuhnya pada kursi panjang yang sudah goyang.
"Hei, kau masih bocah tau apa! hanya tau pacaran saja, tidak usah ikut campur urusan orang tua!". Sepertinya ada yang tersinggung.
"Bukanya kalau berita sudah tersebar di telinga masyarakat, sudah pasti anak kecil sekali pun berhak buka suara?". Pak tua hanya diam.
"Lanjutkan saja pak tua! saya hanya singgah sebentar, ingin makan siang. Pak indomie becek satu!". Tuan mochi tak perduli dengan tatapan ular pak tua, ia hanya memikirkan perutnya yang sekarang sedang mabuk asam lambung, atau di kepalany sedang memikirkan sesuatu?.
"Anak muda zaman sekarang tak punya etika!". Pak tua menggeram seperti kucing yang bermimpi berubah menjadi harimau.
"Etika ada saat orang yang berharap etika itu menunjukkan etikanya!". Senyap, hanya ada suara seruputan kopi panas.
"Upss maaf, saya tak akan bicara lagi". Tutup sang tuan Mochi, Berpura-pura seakan omongannya hanyalah sebuah kentut.
"Ini mienya mas". Sang pemilik warung mengantarkan pesanan tuan mochi sembari memberikan senyum perdamaian. Melihat mie yang ada di mangkuknya, tuan Mochi tersenyum bulan sabit, "Ahhh... dasar nona mie".🌾🌾🌾
Pukul 08.00 pagi, Waktu yang manis untuk berpetualang pada sebaris buku tulis. Kuliah di salah satu kampus favorit memang beda rasanya, seperti pergi ke bulan yang terbuat dari keju asin dan manis, ingin sekali memakannya dengan roti bantal.
Tuan mochi yang sedang bergelut dengan mood nya waktu itu, hanya bisa duduk sembari meminum sebotol milk tea. Tiba-tiba sebuah bayangan pendek menimpa punggungnya.
"Buk, roti manis satu!". Teriak seorang perempuan.
"Gak pake susu neng?". Tanya ibu paruh baya itu, namun sang perempuan hanya menggeleng, tuan mochi masih asyik bergelut dengan botol minumannya.
"Gak seret neng? gak ada rasanya juga neng, kan roti manis cuma ada manisnya neng, kaga ada selai, kaga ada isi, tapi kenapa namanya roti manis ya neng, kan manisnya juga gak ada, cuma dikit doang." Si ibu malah berpuisi, sedang sang perempuan hanya diam dan memberikan uang kepada sang ibu.
Setelah perempuan itu pergi, barulah sang tuan mochi sadar.
"Mau kemana neng? nggak ada jadwal tapi kok malah datang ke kampus". Tanya tuan mochi, namun perempuan itu hanya menatapnya.
"Kita sejak kecil sudah bersama, tapi mengapa kau hanya diam tak mengajakku berbincang?". Tuan mochi menatap perempuan itu dengan tatapan kaca.
"Kau hanya akan menyesal jika bersamaku." jawaban singkat yang diberikan oleh nona tersebut.
"Mengapa? beri aku satu alasan saja nona mie, dulu kau begitu akrab dengan si manis dan gurih, bahkan si pahit yang selalu setia bersamamu sejak bayi." Nona mie hanya berjalan tanpa menjawab pertanyaan nostalgia dari sang tuan mochi.
"Hai kain lap!". "Dasar kumal". "Dekil!". "Kaleng". "wajah reot". "Rambut ijuk!". Setiap wanita yang dilewati nona mie, menyertakan paling tidak 1 atau 2 kata dari kamus rakyat jelata.
"Cantik, tapi munafik, cantik, tapi sikap yang tidak selaras dengan wajah, baik pun tetap saja di dalam diri manusia tidak ada kebaikan hakiki." Wanita dengan wajah manis dan mulus itu hanya terdiam dengan perkataan sang nona mie.
"Begitu juga aku." Nona mie pergi dengan mata elang yang entah ditujukan pada siapa.
"Nona mie, kenapa kau begitu?". Tuan mochi tak sabar lagi menghadapi sifat sang nona mie.
"Kau! sudah kukatakan jangan dekati aku, hanya karena kita berteman dari kecil, ikatan itu membelenggumu, memaksamu harus selalu terhubung padaku, putuskan saja!".
"Tapi....".
"Kau sebenarnya malu, karena aku yang buruk rupa, benar kan? dasar manusia munafik. Kau sendiri lebih parah dari fisikku, hatimu kotor, hanya berpura-pura baik padaku, hentikanlah aku tak suka!".
"Aku sudah berusaha melakukan hal baik padamu tapi ini yang aku dapatkan? sebaiknya kau bersyukur karena masih ada yang mencoba memperlakukanmu dengan baik."
"Mencoba... mencoba ya... seorang tuna wisma yang menderita sakit jiwa juga bisa kalau mencoba. Kau hanya marah pada apa yang aku katakan."
" Ya, semua orang selalu marah dengan kata-kata tajam dan burukmu itu". Sang nona mie tersenyum tragis namun mengikis mata yang bertatapan dengan irisnya.
"Tentu saja, manusia memang begitu, semua orang hanya marah dan benci dengan fakta, apa yang aku katakan adalah fakta, dasar munafik tak berakal yang selalu mementingkan tatapan baik pada dirinya".
"Kau juga begitu!". Tuan mochi tak mau kalah.
"Ya, aku memang begitu, karena aku manusia dan kau sebagai manusia harus terima itu, kalau manusia tidak bisa menerima fakta yang tidak ada dalam norma "manusia berkelas", padahal seburuk-buruknya dirimu, itulah dirimu yang sejati. Tapi, kita ini manusia bukan. Yang tak sesuai dengan keinginan kita, walau itu adalah bagian dari jiwa kita, kita tetap ingin memusnahkannya, begitu juga pada orang-orang yang tak sejalan dengan kita, mereka yang terlalu sibuk memberikan fakta buruk tentang diri kita, sangat patut untuk dimusnahkan, karena dengan adanya mereka, menjadi manusia berkelas akan sangat sulit tercapai."
"Lalu, itu sebabnya kau meninggalkan, manis, gurih dan pahit? karena mereka mengungkapkan sisi sejatimu yang tak kau suka?". Nona mie tersenyum sinis.
"Aku tak meninggalkannya".
"Lalu?". Tuan mochi mengernyitkan dahinya, sembari meneguk liur yang sudah mengepul di ujung kerongkongannya.
"Untuk apa meninggalkannya, kalau kau bisa membunuhnya." Sang tuan mochi terdiam, senyap yang mencekam.
"Dengan hilangnya cahaya di sampingmu, maka kau yang akan menggantikan cahayanya, kau tak akan menjadi yang gelap, karena tak ada yang bersinar melebihi dirimu, tenanglah... aku hanya manusia biasa, yang ingin terlihat sempurna, kau juga sama."🌾🌾🌾
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Seorang mayat lelaki berumur 19 tahun, mati mengenaskan di dalam kubangan yang cukup lebar dan dalam. Berdasarkan hasil autopsi, terdapat sejumlah luka di bagian punggung, luka itu membentuk sebuah tulisan Manusia Sempurna, dan bagian lidah sang korban terdapat lima sayatan mengelilingi lidahnya, sang pelaku masih belum ditemukan.
"Araa raaa.... Cepat sekali masuk berita". Seorang perempuan muda duduk di kursi sambil memainkan seekor semut di dalam gelas berisi air panas.
"Dunia yang naif". Sang perempuan pergi sembari menutupi rambut keritingnya agar tak basah oleh air hujan.🌾🌾🌾
END.
.
.
.
.
.
.@Pc_Petrichor
![](https://img.wattpad.com/cover/192077801-288-k539691.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hierarki Atma
Short Story"Setiap fase kehidupan memiliki orion dan mare yang dirakit oleh sahaya, bukan laksamana semesta" (Hanya sekumpulan cerita pendek dan beberapa potongan puisi)