Prolog

5.8K 158 11
                                    

PAUNG IBLIS
(Horor, Klenik)

Prolog

Terowongan Lampegan (1881)
----

Nyai Sadea, wanita yang selalu membuatku iri. Semua yang ada pada dirinya adalah keindahan. Mata bulatnya, punya tatapan memabukkan ketika ritual nyambat aji tari rasa telah dimulai. Gerak tubuh gemulai, meliuk-liuk, liar, tapi teratur. Para pejabat Hindia Belanda yang turut menghadiri pesta di depan Terowongan Lampegan pun lebih memilih menari bersamanya. Tak ketinggalan, beberapa keping uang logam akan diselipkan ke belahan dadanya yang padat membulat. Dia memang terkenal sebagai ronggeng paling cantik di tanah Priyangan.

Aku tak kalah cantik, hanya saja kata beberapa orang, goyanganku kurang memikat. Entah apa sebabnya. Kami belajar pada guru yang sama, mewarisi mantra serupa, tapi kenapa pesona Nyai Sadea seolah sulit kutandingi?

Pesta masih berlanjut, meskipun gerimis mulai turun. Belum begitu deras, sehingga kami masih terus menari menghibur para penonton. Mereka bukan dari kalangan pejabat saja. Masyarakat kelas bawah melihat kami dari kejauhan. Mereka memakai baju daerah dan sarung sebagai penahan hawa dingin, tanpa alas kaki. Sangat kontras dibandingkan pakaian Gubernur Hindia-Belanda beserta para pesuruhnya. Hadir juga Bupati R. A. A. Prawiradireja dan para punggawanya. Sungguh, ini pesta paling meriah yang pernah diadakan di tempat ini.

Menjelang tengah malam, hujan mulai deras. Pertunjukkan ronggeng terpaksa dihentikan. Aku, Nyai Sadea, dan Sasmi berteduh ke dalam terowongan yang belum selesai dibangun. Entah kenapa sejak sore cuaca mendung dan gerimis, padahal ini bukan musim penghujan. Seakan alam ingin memberitahu sesuatu kepada kami. Beberapa orang serdadu Belanda turut menemani kami, sementara penabuh gendang dan pemain gamelan yang lain berteduh di bawah pohon besar dekat terowongan.

Hawa pengap terasa saat kami masuk ke terowongan. Suara rinai hujan di luar, hampir tak terdengar sama sekali. Tiba-tiba ada angin berembus ke tengkuk, membuat bulu kuduk meremang. Nyai Sadea mencolek bahuku sambil menatap ke bagian dalam terowongan. Seperti ada rasa penasaran yang besar dari sorot matanya.

“Fatima, kamu dengar tidak? Seperti ada yang memanggilku.”

Aku turut melongok ke arah dalam terowongan. “Aku tidak dengar apa-apa, Nyai.”

“Itu ada lampu pijar menyala di tengah terowongan! Aku penasaran.”

Aku menatap wanita itu dengan perasaan bingung. Di mana ada lampu? Yang terlihat di mataku hanya gelap.

“Fatima, temani aku ke sana.” Nyai Sadea menarik tanganku.

“A-a-ku takut, Nyai. Di sana gelap sekali.”

“Di sana terang sekali, aku penasaran ingin melihatnya. Ayo temani aku, sebentar saja.”

Terjadilah adegan tarik-menarik antara aku dan Nyai Sadea. Hingga akhirnya, dua orang serdadu Belanda mendekat menghampiri kami. Mereka menawarkan bantuan untuk menemani Nyai Sadea ke tengah terowongan. Berjalanlah mereka bertiga ke dalam sana, ke tempat yang bagiku hanya terlihat gelap dan pekat.

“Kenapa hawanya aneh sekali ya, Fat?” Sasmi menyenggol lenganku.

“Iya. Aku merasa, seperti ada hal buruk yang akan terjadi.”

Tak lama kemudian, dua serdadu Belanda yang bersama Nyai Sadea tadi lari terbirit-birit ke arah kami. Mereka terengah-engah dan meracau dengan bahasa yang tidak kumengerti. Namun, Nyai Sadea tak tampak bersama mereka. Aku memastikan penglihatan, melongok ke arah dalam terowongan.

“Mana Nyai Sadea?”

Dua serdadu itu masih mengatur napas. Aku dan beberapa orang yang berteduh dalam terowongan mulai panik. Ronggeng kesayangan mereka tak tampak batang hidungnya.

“Tadi, ada kabut tebal dalam terowongan. Nyai Sadea lenyap begitu saja ....” Salah seorang serdadu menjawab.

“Maksudnya, Nyai Sadea hilang dibawa demit?” Sasmi memegang erat bahuku, seakan ingin membagi rasa takut.

“I-i-ya. Nyai Sadea hilang.”

Semua orang dalam terowongan lari terbirit-birit, terburu oleh rasa takut. Kami tak peduli lagi deras hujan dan hawa dingin yang menusuk tulang. Suasana riang gembira karena pesta, kini berganti aura mencekam.

Aku memang sedih karena hilangnya Nyai Sadea. Namun, tak dapat kupungkiri, hatiku juga gembira, karena saingan terberatku sudah tidak ada lagi. Sudah lama aku merencanakan ini, melenyapkan penghalang dalam kesuksesan. Baik sukses dalam dunia ronggeng, maupun percintaan.

Ya!

Aku yang merencanakan semuanya.

Tidak!

Aku tidak sengaja. Semua berawal dari perbincangan pemborong yang memegang proyek pembangunan terowongan. Menggali bukit dengan cara manual, bukanlah hal mudah. Ditambah sering terjadi hambatan dan kejadian-kejadian tak wajar yang seolah menghalangi berjalannya proses pembangunan itu. Mulai dari pekerja yang tiba-tiba hilang, alat-alat berpindah ke tempat yang tak semestinya, juga mimpi-mimpi buruk yang mendatangi malam-malam si pemegang proyek. Para penjajah itu belum tahu akan adanya kerajaan gaib besar di atas bukit itu.

“Bagaimana kalau kita panggil dukun saja?” tanya si pemborong. Aku mendengarnya dengan jelas sambil bersembunyi di balik pohon, tak jauh dari tempat dua orang lelaki itu berbincang.

“Kau tahu dukun paling hebat di sini?” si Belanda balik bertanya.

“Aku juga belum tahu, Mister, tapi akan kuusahakan.”

“Saya tahu!” Tak dapat menahan diri, aku menampakkan diri di depan mereka berdua—yang tampak terkejut karena kehadiranku.

“Siapa kamu?” si Belanda menatapku.

“Saya Fatima. Saya tahu dukun paling sakti di tanah Priyangan.”

Singkat cerita, dua lelaki itu akhirnya memintaku untuk mengantar mereka ke tempat Ki Sengoro, dukun yang terkenal paling sakti di kampung ini. Usut punya usut, ternyata mereka ingin minta bantuan untuk bernegosiasi dengan para makhluk gaib penghuni bukit tempat terowongan itu dibangun.

***

“Ki Razamandala meminta tumbal wanita cantik!” Ki Sengoro berkata setelah selesai melakukan ritual dan—konon—telah bernegosiasi dengan pimpinan kerajaan gaib di atas bukit Lampegan.

“Kalian buat sebuah pertunjukkan ronggeng. Bawa penari-penari cantik. Nanti salah satu dari mereka yang akan dijemput Ki Razamandala untuk dijadikan istri,” lanjut lelaki tua berpakaian serba hitam itu.

Seketika, aku bergidik ngeri, membayangkan jadi istri raja jin. Tiba-tiba terlintas pikiran jahat dalam benakku. Ini bisa jadi kesempatan bagus!

“Saya seorang ronggeng. Dalam kelompok kami, ada ronggeng yang paling cantik, namanya Nyai Sadea.”

“Benar, dia paling cantik?” si Belanda menatapku ragu.

“Ooo ..., Nyai Sadea! Iya, aku pun sering mendengar namanya disebut-sebut sebagai ronggeng terkenal di tanah Priyangan,” sela si Pemborong.

Ya!

Akhirnya aku berhasil bernegosiasi dengan mereka. Kang Dadang—pimpinan kelompok ronggeng—pun senang karena kelompok kami disewa dengan harga di atas rata-rata untuk semalam. Belum lagi jika nanti mendapat uang saweran, kami bisa libur meronggeng selama berbulan-bulan. Mereka tidak tahu, kalau hal itu adalah kebodohan. Ronggeng kesayangan mereka sebentar lagi akan lenyap. Lalu?

Tentu saja, akulah yang jadi penggantinya!

****

Next part akan di-posting oleh RimbaSagaBanua

PAUNG IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang