Roman Gelap

3.1K 123 21
                                    

PAUNG IBLIS

--
Part 8
Roman Gelap
---

Kuin, Borneo, 1881

Dalam sebuah bilik, seorang wanita terbaring di atas dipan kayu. Matanya masih terpejam, sementara di dahinya menempel kain putih basah. Seorang lelaki muda, dengan setia menunggu di sampingnya. Ia memandang wanita itu dengan penuh kekaguman. Sesekali ia tersenyum sembari mengelus pipi mulus sang dara.

"Cantik nian, parasmu, Galuh," gumam sang lelaki.

Terlihat di depan pintu, lelaki muda lainnya, berdiri memandang mereka berdua. Dada lelaki itu berdesir. Diam-diam, ia pun mengagumi wanita yang masih belum sadar tersebut. Kulit kuning langsat, hidung bangir, bibir merah alami, membuat hasrat lelakinya meronta.

Perlahan, lelaki berbaju kuning itu mendekat. "Siapa sebenarnya gadis ini? Kenapa dia sendirian?"

"Saya juga tidak tahu, Tuan. Saya kasihan melihat dia tadi sempoyongan di pelabuhan. Sepertinya, dia kelaparan."

Lelaki yang dipanggil Tuan itu menepuk bahu lelaki yang bertelanjang dada. "Kau ini, Wang, sudah kuperingatkan berulang kali, jangan panggil aku Tuan. Panggil saja Adi!"

"Tapi, bagaimana pun, Tuan Adiraja adalah majikan saya. Saya tidak bisa memanggil seperti itu. Tidak sopan rasanya."

"Kalau begitu, panggil saja Kakak. Kau sudah kuanggap layaknya saudara."

Tiba-tiba wanita itu membuka mata. Ia hendak bangun, namun kedua lelaki tersebut menahannya.

"Istirahatlah, Galuh!" seru Tuan Adiraja.

"Saya di mana ini?" Wanita itu memijat kening. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar.

Kamar itu cukup besar dan mewah. Ada lemari kayu di sudut ruangan. Lantainya juga terbuat dari papan kayu. Tampaknya, bukan rumah orang sembarangan.

"Ini rumahku. Namaku Adiraja, dan ini Awang, yang menolongmu tadi pagi di pelabuhan," tutur Tuan Adiraja sambil memegang bahu Awang.

"Terima kasih, Tuan sudah menolong saya. Saya Fatima dari tanah Jawa. Saya ke sini untuk melarikan diri dari serdadu Belanda."

Kedua lelaki itu terkejut. Mereka tak menyangka ada gadis senekat itu demi melindungi diri. Seketika kekaguman dalam hati mereka bertambah. Fatima di mata mereka benar-benar wanita yang tangguh.

Singkat cerita, Fatima akhirnya tinggal di tempat Tuan Adiraja. Ia menjadi pelayan, sama seperti Awang. Fatima yang sudah terbiasa hidup sendiri sejak berumur sepuluh tahun, sudah terampil dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mengurus rumah.

Tuan Adiraja adalah juragan tanah di Kampung Kuin. Selain dikenal kaya raya, ia juga dikenal gemar bersedekah maupun membantu sesamanya. Tak heran, ia amat disegani oleh penduduk kampung.

Sementara Awang, adalah pembantu yang setia menemani keluarga Tuan Adiraja sejak lama. Dulu, Bapak-Ibunya juga telah mengabdi kepada Umah-Abah Tuan Adiraja hingga akhir hayat. Selain menjadi pembantu, Awang juga merangkap sebagai pengawal ke mana pun Tuan Adiraja pergi. Berbekal ilmu kanuragan dari Bapaknya, ia menjelma menjadi petarung yang cukup tangguh melawan perampok di jalanan.

***

Hari berganti, bulan berlalu. Rasa cinta dalam hati Awang kepada Fatima semakin menjadi-jadi. Melihat wanita itu tersenyum, Awang semakin mabuk kepayang. Ditambah tutur kata Fatima yang lembut, ia semakin terpesona. Tak ada semalam pun berlalu tanpa memimpikan sosok Fatima. Bahkan, diam-diam, ia sering mengintip Fatima ketika tidur di waktu tengah malam.

"Fatima ..., Fatima ..., cantik nian parasmu," gumamnya ketika melihat Fatima menyapu halaman.

Awang sendiri tengah memecah batang-batang pohon kering dengan kapak, untuk dijadikan kayu bakar.

PAUNG IBLISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang