Maaf, Aku Mencintaimu

123 4 0
                                    

Dentuman solawat terdengar begitu merdu, entah siapa si pemilik suara nan menyejukan hati itu. Choirunnisa akrab dipanggil Ica, hadir diacara syukuran dalam rangka ulangtahun salah satu rekannya. Tak ada perayaan istimewa, tanpa nyanyian selamat ulang tahun ataupun kue tart. Sebuah acara sederhana yang diisi oleh doa bersama dan alunan solawat yang diiringi musik hadroh oleh para remaja yang sama sekali tak ia kenal.

"Ica melamun?" Sapa Sakina, si pemilik hajatan malam itu.

"Eh... enggak kok," jawabnya gelagapan melihat kehadiran sahabatnya secara tiba-tiba.

"Kapan-kapan ikut lagi ya, itung-itung menjalin silaturahmi daripada dirumah bengong aja," pinta Sakina.

"Ikut apa? Mau kemana?" jawab Ica heran.

"Ini lo, acara rutinan remaja, solawatan bersama aja begilir."

"Ah, aku nggak kenal," protesnya.

"Iya nanti kenalan deh," Sakina tetap meyakinkan.

Ica tak bisa menolak lagi, ia pun mengiyakan ajakan sahabatnya itu.
Sesampainya dirumah usai acara malam ini, Ica selalu terbayang suara merdu yang tak sempat ia lihat bagaimana wajahnya itu. Yang pasti suara itu milik seorang laki-laki, dan ia sudah menggetarkan hati Ica secara tiba-tiba.

"Wajarnya jatuh cinta pada pandangan pertama deh," gumamnya mengakhiri hari sebelum ia terlelap.

Pagi menyapa, Ica terbangunkan oleh suara azan subuh yang berkumandang di masjid dekat rumahnya. Bayang-bayang suara merdu itu kembali terbesit saat Ica baru saja memulai harinya.

Ia segera beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, membasuh mukanya dilanjutkan dengan wudhu sebelum melaksanakan solat subuh.

"Ya Allah, suara itu mengapa tak hilang dari ingatanku," gumamnya dalam hati setelah selesai berdzikir usai melaksanakan solat fardhu.

Hari berganti, benar saja Sakina mengajaknya untuk menghadiri acara yang sama malam nanti, hati Ica kembali berdebar entah apa yang terjadi.

Ica jatuh cinta? Pada siapa? Pemilik suara merdu yang misterius itu? Sesingkat itukah rasa cinta berlabuh dihatinya. Sungguh sebuah rasa yang tak pernah ia rasakan sebelum-sebelumnya.

Hatinya berkecambuk, ada rasa gelisah namun ada kebahagiaan menanti petang nanti. Hatinya semakin berdebar saat senja menjelang, ia sudah bersiap bahkan satu jam sebelum waktu yang ditentukan.

Tibalah saatnya Ica dan Sakina menghadiri acara itu, disalah satu rumah teman Sakina yang belum sempat dikenal oleh Ica.

Mereka bersuka cita menyambut Ica sebagai kawan barunya, antusias teman-teman Sakina membuat Ica begitu bahagia. Tak pernah sebelumnya ia disambut sedemikian ramah oleh teman-teman baru seperti malam ini.

Gadis-gadis berbusana muslimah begitu anggun duduk di tempat yang sudah disediakan, begitupun para remaja putra mengenakan pakaian lengan panjang lengkap dengan sarung dan peci ada ditempat yang terpisah.

Begitu sejuknya melihat pemandangan pemuda pemudi bersalawat dengan melestarikan budaya ala pondok pesantren yang diiringi hadroh, mengingat dijaman modern seperti sekarang ini tak banyak lagi remaja yang melakukan kegiatan itu, termasuk di daerah tempat tinggal Ica.

Usai acara, tak sengaja Sakina dan Ica berpapasan dengan salah satu pemuda berpakaian kemeja hitam lengkap dengan sarung dan peci dengan warna senada lewat dihadapannya. Ia begitu santun, menundukan pandangannya sambil bergumam pelan "monggo mbak" sebuah kata yang dalam bahasa Indonesia berarti sapaan "mari mbak".
Tak ada yang istimewa nampak dari diri pemuda itu, entahlah hati Ica memang sudah bergetar sejak mendengar suara tanpa rupa bersolawat sepanjang acara tadi.

Separuh Hati Yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang