Kisah II : PREJUDICE & DELUSION

8 0 0
                                    

"Ikut yuk besok jalan-jalan nanti aku kenalin sama temen-temen aku."
"Ehm... gak ah aku gak enak, malu kalau sama orang baru."
"Ya elah! Ngapain malu orang temen-temenku asik kok orangnya."
"Ehm... ehm... ya... udah deh." Cermin saja tak sudi melihat wajah keledaiku saat ragu.

Bukan maksud hati tidak mau ikut, tapi rasa tidak pantas sering tiba-tiba menyeruak di hati saat berada di sekitar orang asing, terlebih kalau dilihat dari jauh saja dari segi penampilan sudah seperti surga dan neraka.

Kalau dibandrol, Fenni bisa menembus harga sampai $ 1.000 sedangkan aku paling kurang dari seperak itu saja masih ditawar. Jadi tau lah kelas teman-teman Fenni.

Benar saja, rata-rata kalau di bandrol, mereka bisa mencapai $ 1.750 dan aku masih bertahan di bawah satu perak namun kali ini tidak pakai ditawar karena aku sudah pakai kaos ramayana, rok jeans belel denga converse andalan yang selalu aku pakai kalau main ke plaza. Ditambah senalam aku sudah mencatoj rambutku, lumayan lah untuk menaikan bandrol supaya tidak ditawar lagi.

Memang benar teman teman Fenni asik-asik, tapi dengan standar mereka. Aku bahkan tak memahami kata-kata yang keluar dari bibir mereka "Dolce Gabana, Prada, Chanel, Luis Vuitton, Gucci..." dan entah apa lagi yang lainnya.

Satu-satunya yang pernah aku dengar hanya guci itupun aku tak yakin dengan guci yang aku maksud apakah sama dengan yang mereka maksud.

"Ah andai aku bisa seperti mereka." Lamunku sambil terdiam menatap luar jendela. Kicauan mereka berangsur hilang seiring spotlight menyinari gaunku yang gemerlap yang membalut lekuk tubuh indahku.

"Eh mau kemana kita Ri?" Tanya Fenni dengan pakaian yang sudah sering aku lihat. Paling harganya tak lebih dari sepuluh jutaan.

"Aku lagi mau cari sepatu baru deh. Bosan aja sih pake yang itu-itu mulu." Balasku yang sibuk memegang kemudi.

"Yakin? Perasaan minggu lalu kamu baru beli yang baru kan? Sayang kali duit kamu." Jawab Fenni.

Entah bagaimana ada selipan nasihat yang keluar dari bibir Fennie yang dia sendiri memakai pakaian dengan toral bandrol sepuluh jutaan. Belum lagi perawatan kulitnya. Tapi kok di bisa-bisanya menyebut orang lain boros?

"Kali ini beda, aku mau buat pakai nemenin pacar aku..." seketika otakku bertanya pada diriku sendiri siapa nama pacarku itu? Ken seperti Kendoll atau Ryu seperti tokoh game Street Fighter atau Bambang yang lebih bersahaja? 'Ah pokoknya itu lah...'

Halusinasiku semakin membumbung tinggi. Berawal dari membayangkan bahwa aku bisa seperti mereka, hingga memiliki harta tak berseri bahkan hingga wajah Fenni dan sahabat-sahabatnya berubah menjadi tak secantik mereka di dunia nyata.

Bahkan dalam panggung diam ku itu mereka berenutan untuk berjalan di sampingku, membawakan tas belanjaanku bahkan mereka selalu memujiku karena semua mata pria selalu menatapku dan menginginkanku. Aku tersenyum munafik sambil berkata "ah jangan begitu, kalian juga cantik kok."

"Ri... Tari..." aku merasakan tepukan pelan di pundakku yang menarikku kembali dari dunia khayalanku itu.

"Eh... kenapa Fen?"
"Kamu kok diam aja? Ngelamun ya? Kita udah sampai nih. Turun dulu yuk sebentar." Aku lihat mobil berhenti di depan warung makannkaki lima. Aku lihat dua teman Fenni yang lain sudah masuk ke dalam tenda dan duduk di sana. Aku bergegas keluar, dari pintu yang tertutup aku melihat siluet wajahku yang asli jauh tak seperti khayalanku bahkan lebih buruk dari itu.

Di wajahku tertulis "PREJUDICE & DELUSION"

DIAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang