Part 1

10 0 0
                                    

Suara tangisan itu belum juga usai sejak subuh tadi. Hampir tujuh hari suaminya meninggalkan kehidupan ini. Ia menatap anak laki laki yang masih berumur lima tahun terlelap disampingnya. Anak yatim. Seketika air matanya tumpah lagi.

Perempuan itu membereskan perkakas di rumahnya. Baru kemarin, keluarganya pamit karena harus bekerja. Kini ia di rumah bersama anaknya yang masih balita dan ibunya yang renta.

Untuk melanjutkan kehidupannya, ia tidak terlalu kebingungan. Saat suaminya masih hidup, pasangan suami istri itu biasa menjual gorengan di persimpangan jalan dekat rumahnya. Dan Kini, dia akan melanjutkan usaha gorengannya itu, meskipun sendirian. Ya, sendirian.

Berbekal keterpaksaan karena dihimpit kebutuhan, perempuan setengah baya itupun memutuskan untuk membuka jualannya. Masa iddah yang sebagian orang digunakan untuk berdiam di rumah, ia harus hilir mudik belanja ke pasar, mencari kayu bakar dan menunggu warung gorengannya yang super mini.

Namanya Imar. Usianya sudah genap 45 tahun. Ia berharap masa iddahnya dinikmati di dalam rumah bersama anak semata wayang dan ibunya yang renta. Tapi kenyataannya ia harus segera bergegas. Ia tak mau menunggu air matanya kering. Sehari tidak jualan, sama saja membiarkan keluarganya tidak makan.

"Budhe, udah mulai jualan to?" Sapa Liyana, tetangganya yang kerap mampir di warungnya.

Imar tidak menoleh. Ia pura pura membolak balikkan gorengannya sambil sesekali menyeka air matanya yang hampir menetes.

"Ee...kalau Budhe nggak jualan, besok mau makan apa Budhe ini. Tabungan juga nggak punya. Makanya kalau sehari nggak kerja, seisi rumah harus puasa" jawab Imar santai.

"Budhe, bungkusin gorengannya campur ya. Lima belas ribu" pinta Liyana.

"Ya, mau pakai cabe kuah atau yang biasa?"
Liyana menunjuk  ke arah cabe rawit, ia sedang asyik telfon.

"Makasih ya budhe. Yang sabar aja lah" Liyana berlalu dengan membawa gorengannya.

Imar tak menjawab sepatah katapun. Ia hanya tersenyum menatap kepergian Liyana. Dan kembali menyibukkan dirinya.

Dua jam sudah berlalu. Gorengannya tinggal dikit lagi. Biasanya ia menyiapkan dagangannya sekira habis sampai malam jam delapan. Tapi hari ini Imar menyiapkan sebaskom sedang. Ia tidak ingin maghrib masih di persimpangan ini. Setiap mendengar adzan magrib, dadanya ngilu, perih mengingat almarhum yang telah pergi. Ia ingin menikmati kesendirian maghribnya di rumah.

Usai maghrib, emaknya mendekati Imar yang sedang membelai anaknya, Asrul.

"Dapat berapa hari ini Im?" tanya emaknya yang sudah menua.

"Alhamdulillah  Mak, dapat dua ratus tujuh belas ribu" jawabnya datar. Dan emaknya berlalu ke kamar.

* * * *

"Assalamualaikum....ini rumah bibi Imar ya" seorang wanita umur belasan tahun sudah ada di depan pintunya.

"waalaikumsalam...ya benar. silahkan duduk. " Imar mempersilahkan tamunya untuk duduk di lantai beralaskan karpet yang sudah lusuh bekas dari tetangganya.
"Nggak usah bi. Saya kesini disuruh sama Mak Tina, mau ngabarin kalau adek ibuk Bi Tia dan suaminya meninggal karena kecelakaan. Dan anaknya yang kembar sama Mak Tina. Katanya Bibi diminta ke sana dan membawa kembar ikut sama Bibi karena  em..emmm....tahu sendiri kan Bi, kondisi keluarga Mak Tina kayak apa"  jelas tamunya polos.

Imar lemas. Ia termangu dan hanya diam. Suaranya hanya sampai di rongga. Baru saja ia kehilangan suaminya, hari ini ia ditinggalkan  adik satu satunya. Dan ia dituntut untuk lebih kuat lagi. Menghidupi  keluarga dan si kembar, anak adiknya itu.

Air matanya meleleh  tak ia hiraukan.

"Dik, saya nggak tau mau ngomong apa. Sampaikan sama keluarga di sana. Saya tidak bisa hadir di pemakaman adik saya. Silahkan dilanjut saja. Dan.....minta tolong antar si kembar kesini. Mereka tanggung jawab saya. Tolong ya dik".  Suara Imar gagap dan gemetar.

Perempuan belasan tahun itu pun diam. Ia hanya mengangguk  angguk sambil sesekali menyeka Air matanya yang mengembang. Dan diapun pamit.

Imar terpaku menatap kepergian tamunya. Semua bayangan berkembang bergantian. Suaminya, adiknya, saudara iparnya, anaknya, emaknya, si kembar, rumahnya uang repot, dan gorengannya. Bergantian, berseliweran di pelupuk matanya. Ia menyandarkan punggungnya di dinding semi permanen.

"Astaghfirullah hal adzim, kuatkan aku ya Allah...."

.
.
.

#Bersambung

KERETA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang