Part 2

4 0 0
                                    


Sejak si kembar datang, gubuk Imar lebih ramai. Anak semata wayangnya yang baru berumur enam tahun tampak gembira.

Si kembar yang sudah yatim piatu itu anak perempuan. Keduanya berumur tujuh tahun enam bulan. Jarak kelahirannya cuma terpaut dua jam. Namanya Lili dan Loli. Sama sama cantik, kulit sawo matang. Bedanya, Lili rambutnya lurus sedangkan Lili agak keriting.

Loli dan Lili sudah kelas 1 SD. Keduanya rukun. Setiap sore, mereka selalu ikut Budhenya berjualan gorengan. Kadang mengantuk memasukkan gorengan ke adonan atau cuma sekedar mengambilkan plastik pelanggan.

Saat Imar menatap keceriaan ponakannya itu, ada rasa bangga dan juga terharu. Genap setahun mereka ditinggalkan orang tuanya. Itu artinya, ia juga sudah setahun ditinggalkan suaminya.

Tiga ratus enam puluh hari, Imar sudah menjalani kesendiriannya. Mencari kayu bakar dan menghidupi keluarganya. Anaknya dan si kembar menjadi pneyemangat hidup Imar. Keberaniannya semakin kuat, dan keyakinannya semakin menghujam bahwa Tuhan maha mendengar dan tidak tidur.

* * * * *
Rutinitas Imar di pagi hari adalah ke pasar. Ia menitipkan ketiga anaknya pada emak. Meskipun mata emak sudah kabur, tapi tidak mungkin harus menitipkan pada orang lain.

"Mak, im ke pasar dulu. Titip anak Anak ya. Cuma bentar aja beli tepung"

"Ya cepat, nggak usah lama lama di pasar" Imar jalan ke pasar.

Selama perjalanan, Imar mengingat ingat apa yang harus di beli. Tepung, sayuran untuk bakwan, cabe rawit, minyak dan garam. Persediaan beras juga habis, tapi uangnya menipis. Seketika ia ingat, kalau ketela tambah dibelakang rumah ada yang bisa dipanen. berarti nanti sore, ia bisa masak umbi umbian itu. Lauknya bisa gorengan tempe atau bakwan. Tidak usah tanya rasanya, yang penting perut keluarganya kenyang.

Dua jam berlalu. Sepertinya lama ia di pasar. Untuk mendapatkan  harga grosiran tepung, ia rela ngantri dengan para tengkulak yang belinya karungan.  Dan Imar selalu tersingkir dengan mereka yang belanjaannya lebih banyak. Imar beli tepung cukup empat kilo. Tidak lebih.

Ia pulang saat orang kantoran mulai berangkat. Saat itu pula, dia ingat anak anak dan emaknya yang belum sarapan. Keluarganya tidak ia kenalkan waktu dan pola makan. Ia hanya mengajarkan untuk selalu menahan lapar.

"Ibu...ibu......huhu..hu.." Asrul lari ke arah Imar saat tahu ibunya pulang.

"Ada apa nak ? kalian bertengkar lagi ya?" tanya Imar membungkukkan badan ke Asrul.

"Nenek, Bu....Nenek ..Nenek ngasih cabe ke mulut. Pedas Bu.....Dan Asrul tidak boleh minum"

Imar diam dan menggendong anaknya. Ia membawanya masuk.  Rumah seperti kapal pecah berantakan. Ia tak menemukan emak dan si kembar.
.
.
.
Dimana mereka?
Mengapa Nenek memberi cabe Asrul

**********
semoga suka

KERETA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang