Sudah dua hari ini Imar memikirkan jualannya. Ia berniat akan menambah jenis jualannya selain gorengan. Dan setelah survei keliling pasar, keputusannya ia jatuhkan pada pecel.
Mengapa ia memilih pecel ? Selain bahan bahannya lebih murah yakni sayuran, kacang, cabai, dan bumbu bumbunya, pecel akan terasa enak kalau dimakan dengan bakwan atau tempe goreng.
Pernak pernik membuat pecel memang membutuhkan waktu. Tetapi Imar mencoba mengembangkan jualan kecilnya agar penghasilannya bertambah. Dan kini, perempuan itu bangunnya lebih pagi. Jam 02.30 sudah sibuk di dapur.
"Bu, Loli boleh bantu ibu?" Pinta Loli pada Imar.
"Loli bantu jualan aja ya. Ibu minta tolong ruangan disapu dan Loli sama Lili belajar melipat baju ".
Setiap melihat wajah kembar, Imar menunjukkan kebahagiaan. Bocah kembar yang bajunya tidak ada yang sama itu lucu. Giginya sebagian menghitam dan kulitnya putih seperti ayahnya. Berbeda dengan Asrul yang kulitnya semakin legam.
Jam dua siang, Imar sudah memulai jualannya. Ia harus bolak balik ke rumah untuk membawa bahan bahan dan memapah emaknya yang selalu ikut di tempat Imar jualan.
Sejak kejadian pagi itu, emaknya beranggapan bahwa Imar bermain mata dengan laki laki. Dan ia memutuskan, untuk selalu ikut jualan meskipun matanya sudah kabur dan susah melihat. Ia tidak peduli dengan kesibukan Imar yang harus menjemput ke rumah dan memapahnya sampai di persimpangan.
"Mak, emak kan bisa di rumah. Istirahat sama anak Anak. daripada kayak gini, jalan lumayan jauh" bujuk Imar suatu sore.
Seperti marah, emak menatap Imar dengan tajam meskipun pandangannya kabur. Tongkatnya ia hentak hentakan kejalan. Tubuhnya ia tegakkan meskipun masih tampak membungkuk gemetar.
Imar langsung minta maaf pada emaknyaan melanjutkan perjalanan.
Sampai di tempat jualannya, orang sudah ramai ngantri. Biasanya mereka ini ibu ibu kantor dan suka diet. Sore hanya makan pecel tanpa gorengan.
Setelah ibu ibu, rombongan bapak bapak ngantri minta dibuatkan pecel dan gorengannya. Menu baru ini sudah lama di sampaikan oleh Imar kepada pelanggannya. Dan seminggu sebelumnya ia sudah bilang bahwa ia akan mulai jualan pecel.
"Bik, nggak pingin nikah lagi? Kan Bi Imar belum terlalu tua juga. Masih kuat" seloroh Ahmadi, sopir truk yang selalu mampir warungnya.
"Hush, mikir gorengan aja udah pusing malah suruh mikir nikah lagi" jawabnya asal, sembari melirik ke arah emak. Takut.
"Siapa tahu malah membantu kan Bik. Atau saya carikan ya"
"Ah kamu ni Mat, nggak usah dicariin. Kalau mau, bibik cari aja sendiri"
Semua tertawa. Satu sama lain saling bersahutan menimpali. Menggoda perempuan perkasa yang sering mangkal ngan gorengannya tiap sore.
Saat orang bubar, memandang adzan magrib terdengar. Ia mulai mengemasi dagangannya. Masih ada sisa 5 gorengan. Ia masukkan ke plastik untuk di bawa pulang. Lauk makan malam.
Dalam perjalanan pulang sambil memapah emak Dan anak anaknya serta menggendong bakul, terlintas suara Ahmadi tadi. Benarkah demikian, bahwa ia lebih baik menikah? bukan untuk memenuhi seksualitasnya saja tapi membantu kesehariannya? tapi bagaimana jika lelaki yang ditemui tidak seperti yang diharapkan? bagaimana emak dan anak anaknya. Seketika Imar menepis pikiran itu, ia télalu percaya diri melontarkan pikiran itu. Belum tentu juga ada lelaki yang mau mendampingi perempuan yang serba kesulitan dengan tanggungan yang banyak.
Imar membenarkan letak gendongannya. Tersadar bahwa hidupnya adalah bersama emak dan ketiga anaknya. Sejenak ia mengelus dadanya dan istighfar.
"Biarlah Tuhan yang menyelesaikannya" Batinnya pasrah.
.
.
* * *Nikah nggak ya?
kritik sarannya ya