Lee A ra as Chika Anastasya
.
.
.
.
.Hiruk pikuk Yogyakarta tidak kalah dengan ibukota. Hilir mudik kendaraaan dari pribadi hingga umum memenuhi sepanjang jalan, apalagi di pagi hari, penuh sesak dengan pemuda pemudi yang hendak mencari ilmu, bekerja, ataupun sekedar menikmati semilir angin Yogyakarta.
Langit namanya, mahasiswa yang saat ini berada pada semester ketiga tersebut sedang beradu dengan padatnya jalanan Jogja pagi hari. Berbekal motor matic yang didapatnya dari orangtua dan angin pagi yang bersahaja, Langit menjalankan rutinitasnya. Bukan menuju universitas untuk menuntut ilmu karena jam perkuliahannya rata rata siang hari, namun menyambangi sebuah bangunan tua yang mungkin tak terlihat oleh masyarakat sekitar. Sebuah bangunan dengan cat merah khas yang sekarang sudah nampak usang, dengan papan kayu di dinding depan sebagai tanda pengenal, bertuliskan 'Rumah singgah sang pengembara'.
Langit memarkirkan motornya didepan bangunan tersebut, menatap bersahaja ketika seorang gadis cilik berusia enam tahun berlari dari dalam rumah singgah menuju kearahnya. Langit turun dari kamal- nama motornya, dan dengan segera menggendong si gadis cilik.
"Mas Langit!" Gadis cilik itu tertawa lebar saat Langit menghujaninya dengan kecupan bertubi-tubi di seluruh wajahnya, Chika namanya, seorang gadis yatim piatu yang sudah tiga tahun tinggal di rumah singgah. Orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat dan kedua belah pihak keluarga tidak bersedia mengurus Chika hanya karena masa lalu dengan orang tua Chika terbilang buruk, ironi. Siapa yang berbuat, siapa pula yang harus bertanggung jawab.
Geram masih tertanam kuat dihati Langit mengingat pertemuannya dengan Chika pertama kali. Gadis itu masih amat belia, berumur tiga tahun, dan sangat amat polos ketika keluarganya membawa Chika ke rumah singgah, Langit masih mengingat dengan jelas ketika Chika menangis meratapi keluarganya yang dengan tega meninggalkannya sendiri, dan Langit semakin tergagu melihat gadis cilik itu menanyakan kapan keluarganya akan menjemput setiap kali Langit menyambangi rumah singgah. Namun itu tiga tahun yang lalu, sekarang gadis cilik itu telah menjadi kesayangan Langit dan gadis itu pun tidak pernah merindu dengan keluarga kejam yang tega membuangnya.
"Chika sudah mandi belum?" Langit berjalan perlahan ke dalam rumah singgah sembari sesekali mengecup pipi gadis cilik digendongannya, tertawa geli melihat wajah Chika yang mengeruh ketika Langit bertanya tentang mandi, memang Chika benci sekali dengan air, kata Chika air itu jahat karena air pula yang merenggut nyawa kedua orangtuanya.
"Chika ndak mau mandi kalau ndak ada mas Langit! Air suka jahat sama Chika, cuma mas Langit yang bisa jaga Chika dari mereka" Chika menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Langit, memeluk erat kakak tersayangnya itu, seolah-olah jika Chika melepaskan pelukannya Langit akan hilang dan tidak kembali lagi.
Langit hanya tersenyum, menepuk pelan punggung si gadis cilik untuk menenangkan. Iba menyelimuti relung hatinya setiap kali Langit memandang mata gadis itu ketika melihat air, begitu tampak rapuh dan lemah, bagaimana bisa bocah sekecil itu mendapat semua kesialan yang tak berujung?
"Iya mas Langit mandikan Chika." Chika memekik senang didalam dekapan Langit, teriakan gadis kecil seperti 'sayang mas langit' 'mas langit yang terbaik' memenuhi seluruh penjuru rumah singgah yang tampak lenggang.
-
-
-Chika sudah rapi dan tampak manis dengan dress bergambar elsa frozen. Langit berdecak puas melihat tatanan rambut Chika yang tampak cantik, ya walaupun tidak begitu rapi karena Langit pun sedang belajar cara menata rambut anak gadis, untuk berjaga jaga jika kelak dirinya memiliki buah hati seorang gadis cantik.
Langit melirik jam dinding yang berada di dinding kamar Chika, sudah pukul sembilan. Artinya ada satu jam sebelum kelas pertamanya dimulai.
"Chika? Mas langit pulang dulu ya? Besok akan datang lagi dan main main dengan Chika." Chika yang sedang bermain dengan boneka beruangnya seketika merenggut, namun tetap mengangguk karena dia tau jika mas Langitnya tidak pernah berbohong.
Langit tersenyum lembut, mencium kedua pipi gadis kecil tersebut dan mendekapnya sekali lagi sebelum memutuskan keluar dari kamar Chika.
Baru saja menutup pintu kamar Chika, Langit dikagetkan dengan sentuhan dipundaknya. Langit menoleh dan mendapati wajah yang tampak tak asing di pengelihatannya.
"Apa kabar?" Langit memandang wajah dengan gurat sendu dihadapannya, yang dimana juga meremas hatinya dengan getaran menyakitkan.
"Tidak apa. Memang saya bukanlah orang yang pantas mendengar suaramu, semoga sehat selalu." Langit mengusap lembut rambut seseorang dihadapannya, dengan senyum yang lemah Langit meninggalkan orang tersebut, yang tanpa Langit sadari telah mengalir aliran sungai kecil dari pelupuk matanya.
"Aku rindu kamu"
______
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengelana
FanfictionManusia hanya bisa merencanakan, yang menentukan adalah tindakan, usaha, doa, dan kehendak Tuhan. Bukankah begitu? jalani, jangan mengeluh, istirahat bila lelah lalu kembali berjalan. Merangkak lah jika memang diperlukan, jangan berhenti, sang penge...