Don't Say Goodbye [2/2]

618 72 22
                                    

20 Juni 2014. Seoul Hospital. Seoul

Sudah seminggu aku dirawat di rumah sakit ini. Rasa sakit masih bisa kurasakan disekujur tubuh. Tapi segala kesakitan itu masih tak bisa mengalahkan rasa sakit di hatiku.

Aku mengumpat. Mengutuk dunia atas ketidakadilan yang harus kujalani. Aku kehilangan keluargaku semenjak kecil. Itu penderitaan terberat dan sekarang penderitaan baru harus kualami. Aku cacat.

Kenapa aku tak mati saja dalam kecelakaan itu. Lebih baik mobil itu menggilas tubuhku sampai hancur sekalian. Itu lebih baik ketimbang hidup dalam ketidaksempurnaan. Aku bagaikan sampah yang teronggok, hendak dibuang tetapi tak ada yang mau melakukannya karena jijik.

Dalam kondisiku sekarang, sudah dipastikan aku harus mengubur impianku menjadi penyanyi. Perusahaan tempatku bernaung mana mau mendebutkan seorang cacat sepertiku. Mereka membutuhkan bintang yang sempurna.

Masa depan yang kuharapkan indah, hancur sudah. Hancur seperti jari-jari kaki kiriku. Aku bahkan merasa jijik ketika melihat kakiku yang sudah tak utuh itu.

“Menangislah jika itu membuatmu puas. Tapi kau pasti tahu, kau tak bisa menangis selamanya. Hidupmu masih berlanjut, Choi Yuna. Kau harus mensyukuri itu.” Pesan ibu kepala panti yang mengunjungiku.

“Benarkah?” tanyaku ragu.

“Tentu.” Ibu kepala membelai kepalaku. Dia kemudian tersenyum pada SinB yang menjagaku selama aku dirawat.

“Banyak hal baik yang akan terjadi selama kau bersabar menghadapi cobaan ini. Kau pasti bisa, anakku.”

Aku tak mau mempercayai ucapan ibu kepala. Aku sudah terlalu banyak bersabar menghadapi hidup ini. Tapi tak ada keajaiban yang terjadi. Apa aku harus menunggu semua masalah muncul dengan tetap bersabar sampai aku mati? Kurasa aku sudah tak sanggup. Tapi jika aku mengatakan pada mereka tentang apa yang aku pikirkan, itu pasti akan membuat mereka cemas.

“Kau dengar kan? Banyak hal baik yang akan terjadi jika kita bersabar. Aku yakin, kau pasti bisa. Kau gadis yang kuat. Kau akan kembali bangkit. Aku percaya itu.” Kata SinB setelah ibu kepala panti pulang.

“Apa kau akan selalu bersamaku sampai aku bisa bangkit kembali?” tanyaku.

“Tentu. Bukankah kita sudah berjanji tak akan berpisah?”

“Tapi, aku cacat SinB-ah.” aku menangis lagi.

“Bagiku, kau tetap sama.”

Dia menyeka airmataku.

“Setiap tahun, banyak hal yang berubah Yuna-ya. Tubuh kita tak akan sama selamanya. Tapi, kau harus percaya padaku. Perasaanku padamu tak pernah berubah. Aku menyayangimu semenjak kita bertemu, selamanya akan selalu seperti itu.”

Aku tahu, dia memang paling pintar berkata manis untukku. Kata-katanya itu adalah obat terampuh dari penyakit hati yang disebut keputusasaan yang kini kurasakan.

Paling tidak, aku akan bertahan demi dia.


****

25 Agustus 2014. Studio SBS. Seoul.

Apa-apaan ini?! Aku tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Inikah kejutan yang ingin dia tunjukkan padaku?

Sinju FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang