Bagian 1

195 11 2
                                    

Indonesia, 2021

Namaku Amanda. Amanda Azalea Zhafira. Remaja perempuan berusia 17 tahun. Anak kedua dari tiga bersaudara. Aku adalah calon dokter profesional yang sukses, aamiin.

Hari ini aku senang sekali, karena setelah pusing lima hari fullday, akhirnya besok adalah hari libur.

Semua kesenangan itu sirna saat ada seorang laki-laki mencegatku di koridor. "Man, gue minta tolong ya, kasihin ini ke Ory," katanya sambil menyodorkan sebuah surat. Surat itu dibungkus sebuah amplop yang ditengahnya ada emoticon love. Kurasa itu adalah surat cinta.

Aneh. Laki-laki itu PDKT denganku, lalu mengapa ia malah memberikannya pada sahabatku? Jadi orang yang ia suka itu siapa?

Pasti ujungnya begitu lagi. Batinku

"Heh, gila ya? Si padi itu udah punya pacar," Aku berkacak pinggang. Kesal. Setelah berkata seperti itu, aku lari. Aku sedang berusaha keras untuk menghindari laki laki keras kepala itu. Dia tidak menyerah dan terus mengejar. "Please deh, gausah sok jual mahal. Lo kira lo siapa?"

Aku tersenyum, ternyata tebakanku benar. Aku paham betul arah pembicaraan ini. "Jadi selama ini lo deketin gue cuma karena ini??"

"Iyalah, lo pikir karena apa? Ngapain juga gue deketin lo, cantik juga kagak. Jauh Ory-lah kemana-mana! Kalau bukan karena lo temen deketnya, gue juga ogah deket sama lo,"

Alhamdulillah, aku tidak baper. Sejujurnya, aku risih didekati seorang laki-laki. Entahlah, bahkan saat tanganku dipegang oleh sesama jenis saja aku sudah ogah-ogahan, apalagi sama cowok? Membayangkannya saja aku sudah ngeri.

Terkejut? Tidak. Ini adalah orang ke-10 yang bilang demikian. Sejak aku dan Ory bersahabat dari kelas 1, banyak cowok yang mendekatiku dengan alasan 'biar deket sama Ory'. Aku juga dijadikan 'penghubung' mereka. Mereka nitip surat cinta kepadaku, lalu aku memberikannya kepada Ory.

"Kenapa ga lo kasih sendiri?"

"Ya kalau gue yang ngasih, mana mungkin direspon bego?"

"Lebih bego mana? Gue atau cowok yang ngasih surat cinta padahal tau ga bakal direspon?”

Setelah mengatakan kalimat itu, aku berlari lebih kencang daripada sebelumnya. Kali ini, dia tidak mengejarku. Alhamdulillah, aku bersyukur. Mau pulang ada saja cobaannya.

🌻

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Kamar dengan dominasi warna biru, kecuali sprei warna ungu, buku-buku, dan meja belajarku yang berwarna coklat kayu. Dominan biru, padahal aku suka warna ungu. Mungkin kami tidak berjodoh. Hahaha.

Aku tidur telentang dan menatap langit-langit kamarku yang berwarna biru. Aku masih memikirkan alasan mengapa aku masih memikirkan hal ini. Semakin aku tidak ingin memikirkannya, aku malah makin kepikiran!

Hei, bisa kalian beri tau aku? Bagaimana caranya agar aku tidak larut dalam kecemburuan ini? Aku tidak akan membiarkan kecemburuan ini menjadi membabi buta. Aku ingin mengakhirinya. Tapi gimana?

Belajar. Benar juga. Aku bisa mengalihkan rasa cemburu sosial ini melalui belajar. Aku senang, waaupun rasa ini tidak menyenangkan, tapi ini tidak mengganggu proses belajarku.

Aku mengeluarkan buku-buku. Mengulang materi yang tadi kami bahas di kelas. Daripada memusingkan hal-hal yang tidak penting, sekaligus rumit. Asal kalian tau saja, aku benci kerumitan. Tapi kayaknya kerumitan suka sekali mendekatiku. Apa jangan-jangan ditubuhku ini ada magnet penarik kerumitan?

-

Lohaa,
Enjoy the story? Semoga kalian enjoy and thanks karena mau baca chapter ini.

Kalo ada kekurangan, comment aja ya😍 Tapi please, jangan bilang kurang kasih sayang :"

Huehehehe, next or stop?

SunfollowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang