4. Email Pertama Kak Syakheil

70 2 0
                                    

Email Pertama Kak Syakheil

Abi memanggilku. Ketika itu aku baru saja selesai shalat Ashar. Ia mengatakan bahwa ada kejutan. Setelah mendekati Abi yang sedang tersenyum-senyum di depan komputer, akupun tau, kejutan apa dan kenapa pula Abi tersenyum-senyum. Ternyata ada e-mail dari orang yang sangat aku rindukan. Kak Syakheilku sayang.

[Assalamu'alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakaatuh.



Dear Adikku tersayang, Mashel Althafunnisa.



Apa kabar Abi sama Ummi? Juga kabarmu, Cantik? Kakak rindu sama semua yang di Indonesia.



Alhamdulillah di sini Kakak sehat-sehat aja Mashel. Dan Kakak harap Mashel sama Abi juga Ummi sama sehat dan baiknya. Jangan khawatirkan Kakak di sini. Alhamdulillaah meski iklim cuaca dan makanan di sini berbeda dengan Indonesia, tapi Kakak bisa beradaptasi.



Mashel, sebelum Kakak berangkat ke sini, Kakak selalu merasa heran atas sebutan orang-orang bahwa kehidupan di sini adalah kehidupan yang tanpa gemerlap duniawi. Kakak sempat berpikir itu hanya kiasan belaka. Kakak tak percaya sama kata itu dan masih ragu akan hal itu.



Tetapi, baru saja Kakak turun dari pesawat, begitu tiba di sini, Kakak langsung sadar itu bukan kiasan. Bandara Internasional di sini saking sederhananya sampai mungkin lebih mirip disebut sebagai terminal secara zhohirnya. Keadaan di sini tak ada kemewahan sama sekali. Semua tampak bersahaja.



Saat di Bandara, Kakak disambut oleh para senior. Mereka adalah para mahasiswa magister yang sedang melanjutkan studi S2 mereka di kota Mukalla. Mereka ramah, mungkin merasa bertemu dengan saudara sebangsa.



Kakak dan calon mahasiswa baru (CaMaBa) lainnya langsung diarahkan untuk menuju ke bus Abu Khomsin (bus yang kuota kursinya ada 50 set). Mirip bus pariwisata yang ada di Indonesia. Kaca sampingnya luas jadi Kakak bisa melihat berbagai pemandangan sepanjang perjalanan. Cie, jangan pengen. Haha



Bangunan yang terdiri dari tanah liat menjadi rumah, gedung madrasah, toko dan lain sebagainya. Di sini tak ada padang rumput hijau, hanya hamparan pasir yang menjadi bagian dari tanah-tanah kosong. Pepohonan di sini tak sebanyak di Indonesia.



Setelah satu jam perjalanan dengan bus, rombongan Kakak tiba di gedung asrama Mukalla. Para mahasiswa senior di sini ternyata sudah memajang rapi pembagian nama kami di papan pengumuman. Gedung asrama lima tingkat ini terdiri dari 30 kamar. Tiap kamar berisikan tujuh orang. Kakak dapat kamar di bagian paling atas. Capeeek naiknya.



Di kamar inilah Kakak bertemu dengan teman-teman sekamar Kakak. Ada yang berasal dari Aceh, Palembang, Pekalongan, Tulung Agung, Banjarmasin dan Sulawesi. Kerennya, latar belakang budaya dan bahasa pastinya akan berbeda kan? Juga tentang pondok yang berbeda pula. Ada yang dari pondok Jawa, pondok modern dan pondok habaib. Kakak kira semua yang kuliah di sini dari pondok dengan pengasuh Habaib semua, ternyata tidak. Haha.

Kakak kemudian berkenalan dengan mereka. Berhubung kita semua laki-laki, jadi walaupun berbeda dan asing tetap saja cepat akrab. Kita masing-masing juga pernah mondok, pernah merasakan yang namanya hidup bareng orang asing. Tau enggak? Tiba-tiba paginya Kak Syakheil ditunjuk sebagai kepala kamar. Sempat Kakak tolak, sedikit malas karena kepala kamar harus membuat segudang to do list demi kebaikan bersama. Tapi mereka maksa, tau alasannya? Karena Kakak yang paling tua! Padahal beda beberapa bulan aja. Mendadak sadar Kakakmu ini emang semakin menua (emoticon sebal).




Program yang jadi list utama Kakak adalah melengkapi perabotan kamar dan perlengkapan kuliah kami. Kakak mengajak mereka ke pasar Mukalla untuk membeli berbagai barang yang akan diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari perlengkapan makan, minum, dan alat bersih-bersih. Enggak, alatnya bukan yang gambar bunga-bunga kayak yang Mashel sama Ummi biasa beli, wkwk. Setelahnya kita ke toko buku alias toko kitab, apa lagi kalau bukan beli perlengkapan kuliah?

Sepenggal Nafas Rindu (SNR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang