Rumah sederhana berlantai satu itu tampak nyaman dipandang mata, halaman yang luas dengan berbagai macam tanaman itu tampak sejuk bagi mata yang melihatnya. Netra coklat madu itu menyusuri halaman luas, tatapan matanya berhenti pada satu titik, di mana seorang laki-laki 10 tahun lebih tua darinya sedang sibuk dengan laptop di pangkuannya. Laki-laki tampan dengan tubuh tinggi, tegap, hidung mancung serta tatapan tajam itu tak bergeming di tempatnya.
Gadis itu tersenyum, semula senyum bahagia, namun lama kelamaan menjadi senyuman miris, mengingat jika Laki-laki itu sangat tidak menyukainya.Suara jangkrik dan hewan malam berderit, membuat dia mengalihkan pandangan matanya. Dia duduk di teras jauh dari tempat laki-laki itu duduk, laki-laki itu duduk di kursi taman, dekat dengan teras, sedangkan dia duduk di teras samping pintu utama.
Angin malam menerpa wajah cantik, dengan bulu mata lentik, hidung yang mancung, bibir tipis serta rambut hitam sepunggung Membuat siapapun tidak akan bisa mengalihkan tatapan mata jika melihat kecantikan alami yang dimiliki gadis itu.
Gadis yang memiliki garis keturunan Arab itu melirik ke arah laki-laki yang tidak lain tidak bukan adalah kakak kandungnya sendiri. Dia sangat menyayangi kakaknya, namun kakaknya tidak menyayanginya. Sebenarnya dia sangat ingin, seperti orang lain yang memiliki predikat yang sama dengannya, yaitu predikat seorang adik. Dia ingin di manja, selayaknya adik yang manja oleh sang kakak, jalan-jalan bersama, menumpahkan keluh kesah kepada sang kakak, namun jika dia bersikap seperti itu, hanya bentakan dan kata kasar yang dia dapatkan.
Gadis cantik itu mengeleng, tidak seharusnya dia iri terhadap orang lain. Dia seharusnya bersyukur, karena masih memiliki keluarga yang sangat lengkap. Dari, Abi, Umi dan sang Kakak.
Elusan di Bahunya membuat dirinya mendongak, dia tersenyum manis saat mata yang sama persis seperti dirinya itu menatapnya dengan lembut penuh kasih sayang.
"Kenapa Anak Abi di luar? Sudah malam, tidak baik angin malam untuk kesehatan Putri, Abi," ujar Laki-laki yang berusia empat puluh Sembilan tahun itu dengan lembut. Gadis itu tersenyum manis, senyum yang membuat siapapun enggan mengalihkan tatapannya.
Laki-laki keturunan Arab itu menatap sendu sang anak. Dia tahu dibalik senyuman gadis cantiknya ini menyimpan sejuta kesakitan yang mendalam.
"Nisa lagi lihat Abang, Abi. kayaknya Abang lagi sibuk banget ya? Sampai-sampai jam segini masih kerja," ujarnya dengan menatap sang kakak yang masih sibuk dengan laptop.
Abi Fariz, mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. "Dia lagi sibuk, kata Abang mu tadi ada masalah di kantornya." Nisa mengangguk mengerti.
Azzam, kakak laki-laki Nisa adalah seorang sekertaris yang bekerja disalah satu perusahaan besar yang ada di kota ini. Perusahaan itu tak lain dan tak bukan adalah perusahaan milik teman Azzam sendiri.
"Umi buat cemilan, kamu ambil kan untuk Abang mu. Dia pasti senang."
Nisa tersenyum dan segera mengikuti Abinnya. Keluarga Nisa bukan keluarga yang kaya, bukan juga keluarga miskin. Abi dan Umi, adalah pengusaha di bidang restoran. Banyak tempat makan yang sudah mereka buka di kota tempat mereka tinggal dan di beberapa daerah lainya.
"Umi?" Panggilnya saat sampai di dapur. Umi Maryam tersenyum menatap sang putri. Wanita berusia empat lima tahun itu adalah wanita asli pribumi. Terlihat masih sangat cantik dengan balutan gamis yang membungkus tubuhnya
Nisa tersenyum saat mengingat cerita dari kedua orang tuanya mengapa mereka bisa dipertemukan. Mereka dipertemukan saat Umi Maryam mengambil pendidikan di Arab, dan dengan tidak sengaja mereka bertemu di salah satu wisata yang ada di sana. Awalnya mereka tidak terlalu menggubris pertemuan mereka, namun saat Abi mendengar suara lantunan ayat Al Qur'an yang di baca seseorang di salah satu tempat makan yang ada di sana dengan lirih membuat hati Abinnya itu mengagumi sosok sang umi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Ratu Kedua
RomanceBacaan untuk 17 ke atas ya. Enggak ada adegan yang gimana-gimana, tapi konfliknya terlalu berat untuk anak-anak ✌✌✌✌ laki-laki tampan dengan mata memerah karena pengaruh alkohol membuat Anisa iba. Hatinya yang selembut sutra, dengan rasa sedikit tak...