Lantunan merdu ayat-ayat suci Al-Qur'an menggema di seluruh ruangan serba biru itu. Air matanya kian luruh kala ucapan sang ibunda yang meminta untuk dirinya berjilbab terngiang lagi.
Ada rasa bersalah yang menggerogoti hatinya, namun apa daya dia belum siap. Nisa mencium Al Qur'an tersebut, dia Telah selesai melakukan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Dan sekarang dia bergegas ke dapur untuk membantu ibunya, yang pasti masakan Uminya hampir selesai. Uminya tidak pernah menuntut dia melakukan apa-apa di rumah, namun dia tetap ingin membantu sang Umi dengan mengerjakan pekerjaan rumah sebelum berangkat kuliah.
Uminya juga tidak marah jika dia kesiangan untuk membantunya kala pagi.Saat dia membuka pintu, saat itu juga pintu kamar yang berada tepat didepan kamarnya terbuka. Nisa tersenyum menatap sang Abang, beda halnya dengan Azzam, dia menatap adiknya dengan tatapan tajam, matanya menatap penampilan adik, hanya mengenakan kaos hitam polos dan celana selutut, membuat dia berdecak jijik.
"Mau belajar jadi jalang, huh!"
"Abang!" Itu bukan suara Nisa, itu suara umi yang kebetulan tadi ingin membangunkan Azzam.
Gadis itu menunduk kepalanya, air matanya sudah luruh mendengar hinaan Abangnya. Apa salahnya, di rumah hanya ada Abi, Umi dan Azzam. Apa salah dia mengenakan pakaian ini."Jaga bicara Abang! Enggak pantas Abang berbicara seperti itu kepada adik kamu!"
Azzam memutar bola matanya malas, seraya berkata, "belain saja dia, Umi terlalu memanjakan dia, jadinya seperti ini. Gaya pakaiannya tidak sopan! Apa salah Azzam bilang seperti itu, memang benar kan? Kalau dia mau belajar jadi jalang!"
Nisa menggigit bibirnya menahan Isakan yang ingin Keluar.
"Jaga mulut kamu, Bang. Nisa adik kamu--"
"Dari dulu Umi selalu belain dia, apa pun kesalahan yang dia buat, Umi selalu membela dia. Lihatlah Umi, pakaiannya Azzam hanya ingin dia tidak memakai pakaian seperti ini."
Umi menatap anak laki-lakinya dengan sendu, dia tau maksud Azzam baik tapi tidak dengan cara dia berbicara dengan sang adik. Terlalu kasar dan tidak pantas."Azzam--"
"Sudah, Umi. Nisa yang salah. Umi, Nisa ke kamar dulu, sebentar lagi Nisa ke dapur." Tanpa menunggu balasan dari Umi, Nisa segera berbalik dan masuk ke dalam kamar.
Umi menatap nanar pintu kamar anaknya yang sudah tertutup. Tatapan matanya yang sudah berkaca-kaca menatap anak pertamanya dengan kecewa. AQAzzam Menghela nafas saat melihat tatapan kecewa dari sang Umi.
"Kamu ini sebenarnya kenapa Azzam, kamu dulu sangat menyayangi Nisa. Tapi kenapa sekarang kamu seperti ini, astaghfirullah." ibu dua anak itu menghela nafas, percuma berbicara dengan Azzam, sudah berkali-kali untuk menjaga sikap terhadap sang adik namun tidak pernah didengar oleh laki-laki itu.
Azzam menatap punggung Uminya dengan pandangan sulit diartikan. Dia menghela nafas dan segera mengikuti sang Umi.
***
Suara ketukan pintu membuat Nisa mendongakkan kepalanya. Posisinya saat ini sungguh memprihatinkan, dia duduk bersandar di pintu, dengan wajah dia tenggelamkan di lutut. Sudah satu jam dia menangis dengan posisi seperti itu, hingga membuat matanya bengkak dan merah."Sayang? Buka pintunya." Suara lembut Abi membuat Nisa menghapus air matanya, tubuhnya lemas tetapi tetap dia paksa berdiri untuk membuka pintu. Pintu dia buka, menampakkan wajah Abi Yang terlihat sangat khawatir akan keadaannya. Nisa menatap Abi-nya dengan senyum yang dia paksakan.
"Abi, boleh masuk?"
Nisa mengangguk dan dia berjalan menuju pinggiran ranjang. Dia duduk di sana dengan tatapan kosong, Abi ikut duduk samping putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Ratu Kedua
RomanceBacaan untuk 17 ke atas ya. Enggak ada adegan yang gimana-gimana, tapi konfliknya terlalu berat untuk anak-anak ✌✌✌✌ laki-laki tampan dengan mata memerah karena pengaruh alkohol membuat Anisa iba. Hatinya yang selembut sutra, dengan rasa sedikit tak...