Mimesis dalam Sebuah Karya Sastra

30 0 0
                                    


Tak bisa disangkal bahwa karya sastra merupakan mimesis dari kehidupan seorang penyair atau cerpenis atau novelisnya. Mimesis adalah imitasi atau representasi dari suatu situasi yang melatari kelahiran karya tersebut. Aristoteles pun menyatakan demikian. Dan, sekali lagi, sulit memang untuk menampik kenyataan aksiomatis tersebut.

Cermati saja berbagai karya besar yang lazim kita baca atau sebutkan. Misal, Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez jelas merepresentasikan alam pikir Amerika Latin. Laila Majnun merepresentasikan alam pikir Timur Tengah. Naguib Mahfoudz menuliskan banyak kisah tentang jagat Mesir. Pablo Neruda juga berjibaku dengan khazanah lokalnya. Hingga Kahlil Gibran, Yasunari Kawabata, Paulo Coelho, Haruki Murakami, Pramudya Ananta Toer, Ahmada Tohari, dan Rendra.

Pada karya Pram, misal, betapa benderang kita menyaksikan semangat heroismenya atas belenggu kekuasaan zamannya. Nuansa pemberontakan berdenyar kencang di dalam karya-karyanya. Nyai Ontosoroh, misal, merupakan cerminan dari sosok perempuan cerdas yang tetap saja bersimpuh di bawah tirani patriarkis zamannya.

Sosok Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, misal, memperlihatkan degan pekat bagaimana nuansa sosiologis masyarakat pedesaan dan korelasinya dengan tradisi ronggeng dan perempuan.

Lain ihwal kalau kita kulik karya perempuan mutakhir, sebutlah Ayu Utami. Jagat pergaulannya yang lebih terbuka, luas, dan menghadiahkan dobrakan-dobrakan dominasi patriaskis membuatnya begitu leluasa meneteli belenggu-belenggu kelelakian, misal. Begitupun pada karya-karya Djenar Mahesa Ayu yang dengan tenang bagai pembunuh berdarah dingin memejakan idiom-idiom tabu sensitif yang muskil ditepikan dari jagat riil kehidupannya atau pencermatannya.

Saya lanjutkan dengan sosok Agus Noor yang kebetulan secara personal saya kenal dekat. Dalam cermatan saya, pencapaian kreativitas Agus Noor terbagi dalam dua babakan: pertama, masa di Jogja, kedua, masa di Jakarta. Era dia di Jogja, karya-karyanya bergaya surealis-realis wong cilik. Ia mengangkat fenomena-fenomena keseharian khas wong cilik yang kerap diekspresikan dalam gaya surealisme.

Serentak, gaya estetis Njogjani itu tergantikan ketika Agus Noor hidup di Jakarta. Pergaulan, intensitas, akulturasi, dan refleksinya sudah berbeda jauh. Ia bergeser secara estetis menuju gaya-gaya cerpen urban-realis. Cerpen "Kunang-Kunang di Langit Jakarta", "Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia", hingga "Selingkuh itu Indah", menarasikan tema-tema urban itu dengan sangat kental. Ada dua mimesis yang melingkupi kekaryaan Agus Noor: mimesis Jogja dan mimesis Jakarta.

Seno Gumira Ajidarma pun demikian adanya. Buku kumcernya Saksi Mata dengan sangat intim menghikayatkan investigasinya pada kekerasan-kekerasan kemanusiaan di Timor Leste. Kemudian, nuansa itu bergeser ke ranah urban-metropolis dalam banyak cerpennya kemudian, sebutlah "Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi", "Sepotong Senja untuk Pacarku", hingga "Pelajaran Mengarang".

Sampai di sini, terang sekali bahwa karya sastra sebagai mimesis yang bersumber dari lingkungan hidup seorang tidaklah bisa dibantah. Benarlah Aristoteles atas fatwanya. Tetapi Jorge Luis Borges jelas tidak menyetujuinya—niscaya saya sitir kemudian.

Dengan kegelisahan yang saya munculkan di awal tulisan ini, apakah lantas sikap mimesis demikian merupakan suatu ketertinggalan, atau sebutlah statisme yang harus didobrak?

Dunia terus bergerak. Kemajuan teknologi telah melumat sekat-sekat lokal dan universal. Donald Trump di Amerika sana sangat mudah diobok-obok oleh orang-orang sosmed asal Indonesia dengan "Om Telolet Om" yang membuatnya pusing tujuh keliling. Suatu keadaan yang muskil terjadi di era Pram, Chairil Anwar, Danarto, dan Hamsad Rangkuti.

Sumber: basabasi.co

Mari Latihan Menulis (untuk Pemula)Where stories live. Discover now