Katanya, hari pertama adalah penentuan. Saat penentu bagaimana kesan pertama seseorang dalam menampilkan sikap dan sifatnya. Namun itu tak berlaku bagiku. Karena manusia ahlinya menyimpan rahasia.
---------------------------------
"Gak bisa! Aku yang dapat duluan!" teriak kencang seorang anak laki-laki yang memegang erat benda pipih berbentuk persegi panjang di bagian sisi atas.
"Gak! Yang tua harus ngalah sama yang muda!" balas teriak sang anak perempuan tak mau kalah sambil menarik benda pipih yang berada di genggaman anak laki-laki tadi, di bagian sisi bawahnya.
"Gak mau! Pokoknya, ini. Punya. Aku. Titik!" teriak si anak laki-laki yang sudah merampas benda pipih panjang di tangannya seutuhnya.
Namun, benda itu pun melayang, terlepas dari genggaman si anak laki-laki. "Eits, Mama dulu. Yang beli 'kan, Mama?"
"Mama!" ucap mereka berdua bersama.
"Aku dulu!"
"Gak! Aku dulu!"
Dan mereka pun berebut kembali.
Pagi yang cerah ditemani dengan suara kicauan keluargaku. Bermula dari masalah kecil adik-adikku berebut benda pipih persegi panjang yang berisikan banyak permainan. Ibuku yang harusnya memisahkan mereka, malah ikut berebut benda itu bersama mereka. Yah, realita memang tak semanis ekspektasi.
Tak ingin berlama-lama menonton perseteruan itu, segera aku mengambil tas lalu berdiri dari dudukku setelah selesai mengikat tali sepatu dengan rapi dan kuat.
Kulangkahkan kaki menuju pintu. Sudah siap dengan baju seragam putih abu-abu dan menggendong tas berat yang terisi buku-buku tebal di dalamnya, tanganku pun terulur menekan ke bawah knop pintu di hadapanku.
Angin sejuk menyeruak memasuki indra penciumanku. Langit yang masih berwarna biru abu juga bulan yang masih terlihat, walaupun cahayanya sudah redup dari kejauhan.
Tidak mendung dan tidak panas. Aku selalu menyukai cuaca seperti ini. Selain baik untuk pernapasan, kesehatan, dan rileksasi, juga terdapat banyak kandungan oksigen yang jarang ada di waktu siang hari karena padatnya aktivitas transportasi yang menyebabkan polusi udara sehingga kandungan oksigen di dalamnya kian menipis.
Kulangkahkan kaki keluar dari rumah, kemudian mengeluarkan handphone di dalam kantong yang terdapat di samping rok panjangku. Ibu jariku pun menyentuh lembut layar handphone dengan hati-hati, seolah benda itu sangatlah rapuh seperti hati wanita.
Mengangkat dan menggeser layarnya yang terdapat bermacam-macam logo gambar maupun tulisan berbentuk kotak. Jariku pun menekan salah satunya yang berwarna hijau, berlogo sepeda motor yang berwarna hitam. Kemudian memesan layanan yang disediakan di sana.
Satu pesan pun muncul. Segera kubalas pesan yang berisikan pertanyaan keberadaanku. Aku pun menyunggingkan senyum karena bersyukur langsung mendapatkan driver ojek online--layanan jasa yang tersedia di sana--dengan cepat tanpa harus menunggu lama.
"Pagi-pagi udah senyum-senyum sama handphone, lagi WhatsApp-an sama yayangnya, ya ...." Terdengar suara seorang wanita di seberangku. Bersusah payah aku menahan tawa seraya menggerakkan kepalaku yang awalnya menatap handphone, kini beralih ke arah sang suara. Dia nampak bingung melihatku yang tertawa geli usai menggodaku.
"Yah ... ketahuan. Bu Qoyah bisa aja, nih!" Alih-alih menyangkal, aku lebih tertarik untuk membenarkan godaan Bu Qoyah sambil memberikan ekspresi malu-malu kucing.
Ibu Qoyah adalah tetangga seberangku. Dia selalu muncul saat aku hendak pergi. Padahal, waktunya tak menentu. Namun entah kenapa, dia selalu ada kapanpun dan di mana pun. Sifatnya yang lucu dan suka menggosip menjadikannya gampang disukai orang yang bahkan baru kenal sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Avana
Novela JuvenilDia adalah Ava. Seorang gadis remaja yang hanya mengharapkan kebahagiaan dalam hidupnya. Namun takdirnya berkata lain. Nasibnya yang tidak beruntung membuat dirinya berkali-kali mengalami derita dan hampir kehilangan arah. Harapannya pun kian menja...