Pada jam istirahat, ia masih terus diam dengan buku bersampul coklat yang ada ditangannya.
"Lo nggak mau beli makanan?" Tanyaku berbasa-basi dengan rasa sungkan—yang bercampur takut///jika kalian berada diposisiku pasti akan merasakan hal yang sama.
Ia yang terlalu fokus dengan bukunya jadi tersentak kaget saat aku berbicara padanya. Well, mungkin karena ini pertama kalinya ia di ajak bicara sedari tadi pagi—olehku.
Dan reaksi yang diberikannya hanyalah menggeleng dengan sangat pelan. Akupun mengerti. Segera saja aku beranjak menuju kantin untuk bertemu dengan Rian, kembaranku yang kelasnya tepat ada disebelah kelasku.
•_•
"Heh," panggilnya saat melihatku tengah melamun.
"Ck, apaan?"
"Itu nasi uduk lo jangan di aduk-aduk gitu bege. Sini kalo gamau buat gue aja," ucapnya dengan tangan yang terjulur untuk mengambil piring nasi udukku.
"Eits, enak aja, lo! Pesen lagi sono, ini punya gue," tolakku kasar dengan mengangkat piringku menjauh darinya.
"Lah, daripada gak lo makan kan sayang. Mending buat gue aja," katanya masih berusaha menggapai piringku.
Hingga akhirnya,
Prang!
Piring terbang—begitu aku menyebut piring yang ku pegang kali ini—nasi udukku jatuh begitu saja karena tersenggol oleh seseorang yang lewat disamping meja kami.
"Mampus lo. Ganti itu piring bu Sulis, hahaha. Gue cabut duluan dah, bye Rion! Good luck, ya!"
Dasar, kembaran laknat.
•_•
Kecanggungan antara aku dengan murid baru itu semakin dalam. Karena apa? Karena dia adalah seseorang yang lewat disamping mejaku tadi saat dikantin. Dan ya, dia yang menyebabkan piring itu jatuh berkeping-keping.
Saat dikantin tadi, ia semakin menundukkan kepalanya karena merasa bersalah—mungkin.
Dan aku pun berkata padanya, "udah gak apa-apa. Lo kan gak sengaja."
Yah walau pada akhirnya kami sama-sama membersihkan pecahan piring itu dan aku membayar ganti rugi kepada bu Sulis.
"Rei," panggilku padanya yang sibuk mencatat pelajaran yang ada dipapan tulis.
Ia tersentak. Tunggu, kenapa dia sangat sering tersentak? Apa aku adalah bom yang selalu mengagetkannya saat memanggil atau mengajaknya berbicara?
Ia hanya menolehkan sedikit kepalanya ke arahku tanpa menatap mataku.
Ya, tak sekalipun kami pernah bertatap muka. Karena ia terus-terusan menunduk—apa ada koin yang jatuh dibawah sana?—dan poni dari rambut panjangnya menutupi sebagian matanya yang bahkan jika diluruskan bisa mencapai batang hidung.
"Lo bisa liat yang dipapan tulis bagian kanan itu?" Tanyaku padanya. Tunggu, ini bukan modus atau apa, aku benar-benar tak bisa melihat tulisan itu karena silau oleh cahaya matahari—dan sialnya aku duduk di meja paling belakang dan parahnya kacamata minus 1,5 ku tertinggal dirumah.
Dan respon darinya hanyalah keheningan yang menjalar. Aku menghela nafas pelan.
"Yaudah deh maka—"
Tiba-tiba saja secarik kertas hadir di depanku. Tulisan di dalamnya adalah,
Kegiatan ini dilakukan setiap sebulan sekali oleh para warga sekitar demi terjalinnya tali silaturahmi serta meningkatkan solidaritas antarwarga di Kampung Rambutan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert Girl [END]
ContoPernahkah kamu bertemu dengan seseorang seperti Reina? Reina yang pendiam Reina yang kaku Dan Reina yang hanya berbicara lewat telepon Kali ini aku bertemu dengannya. Dengan dia yang bernotabene murid baru dikelas kami dan malah duduk sebangku denga...